Badminton World Federation (BWF) mengeluarkan keputusan yang mengejutkan dan merugikan Indonesia. Tim bulu tangkis Indonesia dipaksa mundur dari turnamen All England 2021.
Alasannya, otoritas kesehatan Inggris menyatakan ada penumpang yang positif Covid-19 dalam pesawat yang sama dengan tim bulu tangkis Indonesia. Tim bulu tangkis Indonesia pun harus menjalani isolasi sampai 23 Maret 2021.
Melalui media sosial, rakyat Indonesia menyuarakan kekecewaannya kepada BWF. Mereka melambungkan tagar #BWFMustBeResponsible dan #AllEngland2021UnFair. Ada juga warganet yang mengajak boikot BWF.
Dalam sejarah, Indonesia pernah berusaha untuk tetap mengirimkan tim bulu tangkis ke All England, sementara negara-negara anggota Asia Badminton Confederation (ABC) memboikotnya.
ABC menyerukan boikot All England 1976 karena China ditolak keanggotaannya oleh International Badminton Federation (IBF). Pasalnya, China meminta agar Taiwan dikeluarkan dari IBF. China menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsinya, tapi Taiwan menempatkan diri sebagai negara berdaulat. Pada 1974, ABC telah mengeluarkan Taiwan dan menerima China sebagai anggota.
“Salah satu buntut itu adalah ajakan pemboikotan turnamen All England oleh ABC yang dijurubicarai oleh Thailand. Organisasi yang bisa disebut ‘ujung tombak’ China ini mengajak anggota-anggotanya memboikot All England 1976, dengan tidak mengirimkan pemain-pemainnya ke turnamen itu. Ajakan ini tentu saja ditolak oleh PBSI,” kata Suharso Suhandinata dalam biografinya, Diplomat Bulu Tangkis.
Baca juga: All England dari Masa ke Masa
Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) punya kepentingan mengirimkan pemainnya agar Rudy Hartono bisa memecahkan rekor juara tunggal putra All England delapan kali, melampaui Erland Kops dari Denmark yang memegang tujuh kali juara tunggal putra.
“Pemecahan rekor inilah yang menjadi obsesi utama para pengurus [PBSI] di tahun 1976 itu,” kata Suharso.
Pengurus teras PBSI, Suharso Suhandinata dan J.C. Tambunan, kemudian diutus untuk memberikan penjelasan kepada seluruh anggota ABC, terutama Presiden ABC Letjen Pol. Chumpolt Lohachala.
“Misi khusus yang kami tugaskan kepada Suharso dan Tambunan berhasil dengan gemilang. Bahkan, Chumpolt memberi dukungan atas pengiriman Rudy ke All England dan dia berharap, kalau Rudy menang agar mampir ke Bangkok dalam perjalanan pulang ke Indonesia dan akan disambut serta dirayakan,” kata Sudirman, ketua umum PB PBSI.
Baca juga: Sudirman Bukan Sembarang Piala
Setelah pertemuan IBF di London pada Juni 1975, pada bulan yang sama ABC mengadakan rapat anggota untuk membahas penolakan IBF terhadap keanggotaan China. Rapat yang dihadiri oleh sebelas negara anggota dijurubicarai oleh mantan bintang Piala Thomas Thailand, Charoen Wattanasin. Charoen menyerukan demi solidaritas sesama negara Asia, seluruh anggota ABC agar memboikot All England sebagai proyek Inggris. Menurutnya, tanpa partisipasi pemain-pemain Asia, All England tidak ada artinya. Hampir seluruh delegasi mendukung kecuali Indonesia dan Jepang.
Suharso kemudian mendekati Charoen dan wakil dari China. Suharso mengatakan, “Seratus tiga puluh juta rakyat Indonesia berkeinginan keras agar Rudy Hartono meraih gelar juara All England yang ke-8 kalinya. Bagaimana pendapat Anda terhadap keinginan rakyat Indonesia itu?”
Charoen terdiam mendengar pertanyaan di luar dugaannya itu. Beberapa saat kemudian, wakil dari China menjawab, “Ya, kalau begitu kirim saja Rudy.”
Setelah Rudy Hartono lolos, Suharso mengatakan, “Indonesia juga memegang supremasi ganda putra (Tjun Tjun/Johan Wahjudi). Bagaimana ini?”
“Baiklah! Kalau begitu Indonesia dikecualikan dalam persoalan pemboikotan All England ini,” kata wakil China itu.
Namun, pada minggu ketiga awal tahun 1976, PBSI menerima surat dari honorary secretary ABC, Teh Gin Sooi. Surat itu menyebutkan pernyataan Herbert A.E. Scheele, sekjen IBF, di salah satu media di Singapura: “Seandainya negara-negara lain di Asia termasuk Indonesia dan Jepang ikut memboikot, All England tetap berjalan terus dan sedikit pun tidak akan memusingkan saya, karena di luar benua Asia masih banyak pemain bulu tangkis yang baik.”
Pernyataan Scheele itu dianggap telah meremehkan seluruh anggota ABC termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia diminta meninjau kembali keputusannya.
Menanggapi surat tersebut, PBSI mengutus Suharso dan Tambunan untuk meyakinkan para petinggi ABC bahwa Indonesia tetap harus mengirimkan pemainnya ke All England.
Baca juga: Indonesia dan Kejayaan All England
Dengan cerdik, Suharso mengatakan bahwa ABC-lah yang harus memaksa Indonesia untuk mengirimkan pemainnya karena kemenangan Rudy adalah kemenangan bangsa-bangsa di Asia.
“Bila Rudy berhasil menjuarai All England delapan kali, ini akan menjadi riwayat yang akan terpatri dengan tinta emas. Seorang putra dari benua Asia akan menjadi ‘raja di benua kulit putih’,” kata Suharso. “Dan untuk itulah, saya minta pendapat Jenderal Chumpolt.”
Setelah berbicara serius dengan Charoen Wattanasin, Chumpolt mengatakan, “Saya mengakui kebenaran Anda dan sependapat dengan pemikiran itu, bahwa kemenangan Rudy adalah kemenangan bangsa Asia.”
Rudy Hartono berhasil menjadi juara tunggal putra All England 1976 setelah mengalahkan Liem Swie King (15-7 dan 15-7). Dengan demikian, Rudy menjadi pemain pertama di dunia yang memecahkan rekor sebagai juara tunggal putra All England delapan kali. Rekor ini belum terpecahkan hingga kini.
Baca juga: Keluar dari Bayang-bayang Liem Swie King
Sekembalinya ke Indonesia, Liem Swie King ditanya banyak orang, apakah dia “mengalah” demi Rudy dapat memecahkan rekor. Banyak penggemarnya tidak percaya, apalagi setelah dia berhasil mengalahkan Rudy, Iie Sumirat, dan Tjun Tjun, dalam uji coba menjelang Piala Thomas 1976.
“Aku memang sangat menyesal tidak menjadi juara All England 1976. Padahal aku merasa berada di puncak prestasi dan kondisiku sangat fit… Aku menyesal tidak bermain sampai berdarah-darah dalam partai final All England itu,” kata Liem Swie King dalam biografinya, Panggil Aku King karya Robert Adhi Ksp.
Sementara itu, ABC tak berhenti sampai memboikot All England 1976. China didukung Hongkong dan Thailand mendirkan badan bulu tangkis dunia baru. World Badminton Federation (WBF) dibentuk pada 1978. “ABC inilah yang menjadi inti pembentukan badan dunia baru WBF,” kata Suharso.
WBF dan IBF kemudian bergabung pada 1981. Rapat umum luar biasa pada 2006 menetapkan organisasi bulu tangkis dunia itu bernama BWF.