PANDANGAN Donald Trump fokus tertuju pada tengah arena. Sesekali Presiden Amerika Serikat (AS) itu menangkap penjelasan koleganya Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe tentang apa yang ditatapnya dari kursi kehormatan Stadion Ryogoku Kokugikan, Tokyo, Minggu (26/5/2019). Trump begitu antusias memelototi laga sumo, olahraga nasional negeri sakura, di hari terakhir turnamen akbar sumo itu.
Eksisnya “orang bule” di arena sumo terbilang langka. Apalagi di akhir pertandingan ia diberi kehormatan menyerahkan trofi pemenang kepada Asanoyama yang memenangi laga tadi.
“Malam yang hebat dalam turnamen sumo. Kami membawakan trofi yang indah dan semoga bisa Anda miliki selama ratusan tahun. Untuk menghormati pencapaian luar biasa Anda, saya anugerahkan Trofi Presiden Amerika Serikat ini,” kata Trump kepada Asanoyama, dikutip The New York Times, Minggu (26/5/2019).
Trump memang bukan pembesar dari negeri Paman Sam pertama yang berkenalan dengan sumo. Di akhir masa Sakoku atau kebijakan isolasi Jepang pada 1853, Komodor Matthew Calbraith Perry selaku utusan AS mendapat suguhan pertandingan sumo. Olahraga itu dianggapnya sekadar permainan bangsa yang belum beradab alias barbar.
Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
“Olahraga adu banteng ketimbang olahraga kontak fisik manusia. Dan tampaknya permainan yang sangat bodoh,” kata Perry mendeskripsikan sumo yang ditontonnya dalam The Japan Expedition 1852-1854: The Personal Journal of Commodore Matthew C. Perry.
Asal-Usul Sumo
Sampai detik ini, belum ada arkeolog maupun sejarawan yang mampu menetapkan kapan sumo pertamakali dipraktikkan di Jepang. Penjelasan yang paling dipercaya masih sekadar legenda atau cerita dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Sumo diyakini pertamakali eksis dua ribu tahun yang telah lewat, persisnya di masa Kaisar Suinin memerintah Jepang pada tahun ke-23 sebelum Masehi (SM).
Harold Bolitho dalam catatannya, “Sumo and Populer Culture: The Tokugawa Period” yang terangkum dalam Sport: The Development of Sport, menguraikan pertandingan sumo kali pertama dilakoni seorang jago beladiri Nomi No Sukune. Disebutkan ia merupakan salah satu titisan Dewa Amaterasu. Ia lantas diminta Kaisar Suinin untuk meladeni Taima No Kehaya, jago beladiri lain yang mengklaim sebagai manusia terkuat di kolong langit.
“Keduanya berhadapan di Izumo, pesisir Pulau Honshu. Kedua petarung saling mengangkat kakinya dan saling menendang. Dalam pertarungan itu Nomi No Sukune mematahkan tulang rusuk dan tulang pinggang Taima No Kehaya hingga tewas,” sebut Bolitho mengutip serat Nihon Shoki.
Nomi No Sukune pun tidak hanya dihadiahi tanah kekuasaan mendiang Taima No Kehaya di Desa Koshioreda namun ia juga dijuluki “dewa” sumo. Seiring zaman, sumo lantas dikaitkan dengan sejumlah ritual agama Shinto, seperti di Periode Nara (tahun 710-794 M) di mana pertandingan sumo acap digelar dalam rangka perayaan pesta panen.
Dalam setiap pertandingan, sumo selalu diawali ritual menyebar garam dan menepuk kedua tangan sebelum masuk dohyo atau arena berbentuk bulat. Sebelum terlibat kontak, para rikishi (pesumo) menghentakkan kaki beberapa kali. Ritual itu berasal dari mitos agama Shinto bahwa Dewa Amaterasu melakoninya sebelum menghadapi adiknya sendiri, Susanoo.
Para pesumo pun diharuskan tanpa pakaian dan hanya menggunakan mawashi yang menutupi kemaluan. Wasitnya seringkali merupakan pendeta kuil Shinto setempat. Pertandingannya dilakukan dengan tangan kosong dan hanya bisa menang dengan mengenyahkan lawan ke luar garis batas dohyo baik dengan bantingan, lemparan maupun dorongan.
Pada periode Morumachi, abad ke-14, sumo dijadikan olahraga yang lebih bersifat profesional meski tetap butuh dua abad ke depan untuk menyebarluaskan sumo sebagai olahraga di segala penjuru Jepang. Pada Periode Edo, abad ke-19, sumo makin marak lantaran selain menawarkan kehormatan, juga mulai melibatkan uang dan memberi penghasilan besar.
Di periode Edo pula turnamen akbar sumo se-Jepang mulai digelar. Sumo pun perlahan jadi olahraga nasional. Di awal abad ke-20 bahkan sampai muncul dua asosiasi sumo, yakni di Tokyo dan Osaka. Pada 28 Desember 1925, keduanya dilebur menjadi Dai-Nihon Sumo Kyokai alias Asosiasi Sumo Jepang, yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Baca juga: Yasuke Si Samurai Hitam
Di era itulah di Jepang mulai kebanjiran pesumo lantaran sumo merupakan satu-satunya wadah “pengungsian” para samurai. Pada era Meiji, akhir abad 19, status samurai dihapuskan. Sejumlah tradisinya pun dilenyapkan. Salah satunya terkait kehormatan jambul khas samurai. Hanya dalam olahraga sumo-lah para bekas samurai itu bisa mempertahankan kehormatan jambul mereka.
Wanita di Arena Sumo
Bergulirnya zaman membuat sumo mulai dikenal dunia luar. Tapi bagaimana dengan wanita? Pasalnya, kehadiran wanita sempat ditabukan karena dianggap akan menodai kesucian dohyo. Pun begitu, serat Nihon Shoki pernah menyebutkan adanya pesumo wanita.
Serat yang berasal dari tahun 720 M itu menguraikan bahwa pertamakali wanita berlaga dalam sumo tahun 469 di masa Kaisar Yuryaku. Kala itu kaisar memerintahkan dua wanita bertarung sumo tanpa sehelai pun pakaian. Perintah itu bertujuan untuk membungkam kearoganan seorang tukang kayu yang mengklaim tak pernah melakukan kesalahan.
Laga sumo wanita bugil dilakoni untuk mengalihkan konsentrasi si tukang kayu. Ketika akhirnya si tukang kayu bikin kesalahan lantaran fokusnya terganggu, ia pun dieksekusi sang kaisar. Namun seiring waktu, disebutkan wanita dilarang terlibat dalam sumo. Larangan itu baru dicabut pada 1873 (periode Edo).
Setelah Restorasi Meiji (1868-1889), wanita kembali dilarang ikut sumo lantaran dianggap tidak pantas untuk budaya baru Jepang. “Tapi sumo wanita profesional berkembang di Jepang pada 1948 dan meluas lagi pada 1955,” sebut Joseph Svinth dalam Martial Arts of the World: An Encyclopedia of History and Innovation volume I.
Baca juga: Permainan Kabaddi dalam Lorong Zaman
Meski sumo wanita tetap eksis hingga kini, diskriminasi tetap bergulir. Contoh kontroversialnya adalah saat Gubernur Osaka Fusae Ohta acap dilarang masuk ke arena untuk menyerahkan trofi pada pemenang dalam turnamen sumo tahunan di Osaka. Pada April 2018, seorang paramedis wanita yang hendak menolong salah satu pesumo yang cedera juga diusir ke luar arena meski pada akhirnya petinggi asosiasi sumo meminta maaf.