SEBELUM bulutangkis jadi cabang resmi di olimpiade pada 1992, All England jadi patokan prestasi paling bergengsi. Publik mengenang Rudy Hartono, Liem Swie King, atau Haryanto Arbi sebagai langganan juaranya.
Namun, sedikit orang yang mengenal satu legenda lain yang juga “jawara” di All England: Johan Wahyudi. Namanya yang lama terbenam oleh waktu baru mencuat lagi pada Jumat, 15 November 2019. Namun, dalam kabut duka. Johan dikabarkan tutup umur di usia 66 tahun di kampung halamannya, Malang akibat demam berdarah yang diperparah kondisi lemah jantung.
Johan lahir dengan nama Ang Joe Liang di Malang, 10 Februari 1953. Mengutip Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982, Johan merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Mangku Prayitno, mengajarinya bulutangkis sejak umur empat tahun. Sang ayah yang pedagang itu merupakan pebulutangkis amatir tingkat kota.
Selepas lulus sekolah dasar di usia 13 tahun, Johan lebih serius mendalami bulutangkis dengan masuk klub Gajah Putih. Ketika usianya masuk SMA, Johan kian bergabung dengan klub Radjawali, Surabaya –yang juga melahirkan maestro Rudy Hartono– untuk makin mengasah skill-nya.
Di situlah Johan yang mesti memilih antara bulutangkis dan pendidikan akhirnya menetapkan jalan hidupnya. Dia meninggalkan pendidikannya yang sudah semester satu di Universitas Trisakti untuk lebih giat di berlatih bulutangkis di klubnya dan mengikuti berbagai kejuaraan lokal.
Baca juga: Keluar dari Bayang-Bayang Liem Swie King
Kerja kerasnya tak sia-sia. Malang-melintang di beragam kejuaraan junior se-Jawa Timur, arek Malang itu kerap menjadi juara. Ia bakan sampai jadi salah satu idola Liem Swie King muda.
“Aku sebetulnya bercita-cita bertemu dengan Johan Wahyudi, pelajar SMA di Malang yang juara bulutangkis yunior se-Jawa Timur. Tetapi sayangnya tidak kesampaian karena POPSI (Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia) se-Indonesia tak digelar lagi. Nama Johan Wahyudi sangat populer, dalam bulutangkis Johan ‘adik seperguruan’ Rudy Hartono, Muljadi, Indra Gunawan di Radjawali Surabaya,” sanjung Swie King dalam otobiografinya, Panggil Aku King.
Langganan Juara Bersama Tjun Tjun
Johan sudah jadi pemain ganda putra berpasangan dengan Ganda Wijaya sejak 1971. Di turnamen Wahono Cup, tahun itu juga, ia jadi runner-up. Prestasi itu membuat Johan dipanggil ke pelatnas PBSI, Jakarta untuk mengikuti seleksi jelang Djakarta Badminton Open Tournament, turnamen kejuaraan dunia pertama dengan label “invitasi”.
Di Pelatnas itulah Johan bertemu Tjun Tjun. Dalam persiapan tim, Tjun Tjun akan dipasangkan dengan Rudy. Namun Rudy ingin lebih fokus di tunggal putra agar tak pecah konsentrasi gara-gara ikut di dua nomor. Johan akhirnya dipilih sebagai “super-sub”, alias pemain pengganti yang gemilang.
Pasangan Johan/Tjun Tjun langsung bikin kejutan. Duet jawara All England 1972 Christian Hadinata/Ade Chandra dibekuk di final turnamen yang lantas jadi cikal bakal Kejuaraan Dunia BWF itu.
Baca juga: Gelar Juara Dunia Christian Hadinata yang Tak Disangka
Partai di final itu jadi permulaan rivalitas Johan/Tjun Tjun dengan Christian/Ade. Sempat keok pada All England 1973 dari bebuyutannya itu, Johan/Tjun Tjun menebusnya di All England 1974, 1977, 1978, serta 1980. Tidak hanya di All England, Johan/Tjun Tjun pun sukses “mengangkangi” Christian/Ade untuk jadi juara dunia pertama asal Indonesia.
“Mereka jadi pasangan yang diperhitungkan dalam setiap pertandingan internasional. Bahkan ketika regu Indonesia terpukul parah dalam Kejuaraan Dunia 1977 di Malmö, Swedia, pasangan andalan ini tetap pulang memboyong gelar,” tulis buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982.
Baca juga: All England dari Masa ke Masa
Ajang itu jadi Kejuaraan Dunia pertama di bawah IBF (kini BWF). Hampir semua pebulutangkis Indonesia yang mengikutinya berguguran sebelum semifinal. Wakil tunggal putra Iie Sumirat pun hanya berkalung perunggu.
Namun, pasangan Johan/Tjun Tjun dan Christian/Ade mampu mencapai final ganda putra. Di partai puncak, Johan/Tjun Tjun kembali mengalahkan rivalnya itu dengan 15-6 dan 15-4.
Selain Kejuaraan Dunia, prestasi Johan/Tjun Tjun antara lain medali emas Asian Games 1974, dan dua emas SEA Games 1977 (kategori individu dan beregu). Prestasi beregu paling prestisius yang digapai Johan/Tjun Tjun adalah Thomas Cup 1976 dan 1979.
Namun, kisah Johan/Tjun Tjun tak melulu kisah manis. Di semifinal All England 1979, Johan/Tjun Tjun nyaris tak membawa pulang gelar gegara dinyatakan kalah WO (walk out). Beruntung keputusan itu dibatalkan berkat peran pengurus PBSI dan BAC (Badminton Asia Confederation) RAJ Gosal.
“Rayuan mautnya kepada honorary referee, Herbert Scheele dalam final All England 1979, berujung sukses Indonesia memboyong empat gelar. Rayuan terpaksa diluncurkan Gosal yang kala itu bertindak sebagai manajer tim, karena keterlambatan Tjun Tjun/Johan Wahyudi masuk lapangan pada gim ketiga, pasangan itu dinyatakan kalah WO oleh umpire. Berkat diplomasi Gosal, pertandingan bisa diteruskan dan setelah umpire diganti, Tjun Tjun/Johan akhirnya juara,” ungkap Jurnalis olahraga Broto Happy Wondomisnowo dalam Baktiku Bagi Indonesia.
Baca juga: Public Enemy Bernama Scheele
Setahun sebelumnya, Johan/Tjun Tjun juga bikin gerah hati sejumlah pengurus PBSI dan Kemenpora gara-gara “mengadu” kepada sejumlah media bahwa kompensasi yang mereka dapatkan untuk kehidupan mereka tak berbanding lurus dengan prestasi mereka. Johan/Tjun Tjun lantas dicoret dari tim dalam persiapan pelatnas jelang Asian Games 1978 Bangkok.
PBSI punya pernyataan lain soal itu. “Pengurus PBSI mengatakan ia, ‘tidak menghiraukan panggilan pengurus’, sementara Han (panggilan Johan) bercerita bahwa ia sudah datang ke (pelatnas) Senayan, tapi tak menemukan siapa-siapa. Lalu ia ke Surabaya, menjenguk kakaknya yang akan menjalani operasi,” sambung Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982.
Karier Johan mulai terbenam pada 1981. Johan/Tjun Tjun gagal mencetak rekor tujuh gelar All England setelah di final dibekuk duet Kartono/Rudy Heryanto. Johan lantas memilih pensiun tahun berikutnya.
Sempat menjauh dari dunia bulutangkis, pada 1986 Johan berkenan jadi manajer tim pada All England 1986. Namun, kiprah ini tak berjalan baik lantaran wakil Indonesia, Ardy B. Wiranata dan Hermawan Susanto hanya memijak perdelapan final. Sempat pula di masa senjanya Johan “turun gunung” dengan menjadi anggota tim pencari bakat Audisi Umum Beasiswa PB Djarum pada 2015.
Namun, penghargaan terhadap kiprah pasangan Johan/Tjun Tjun justru lebih dulu diberikan dunia internasional ketimbang pemerintah Indonesia. BWF memasukkan pasangan itu ke Hall of Fame pada 2009. Sementara, Kemenpora baru mengakui kiprahnya pada 2013 dalam rangka Haornas 2013, dengan penghargaan barupa hadiah rumah.
Selamat jalan, Johan Wahyudi…