ADA Sandiaga, ada olahraga. Di sela kesibukan politiknya jelang Pilpres 17 April 2019, cawapres nomor urut dua bernama lengkap Sandiaga Salahuddin Uno itu tak pernah lepas dari olahraga. Entah itu lari, senam aerobik, renang, atau basket.
Dalam Debat Cawapres yang digelar KPU pada 17 Maret 2019, pasangan capres Prabowo Subianto itu bahkan mengangkat program promotif preventif 22 menit per hari berolahraga untuk masyarakat Indonesia. Gaya hidup semacam ini sudah lama diterapkan dalam keluarganya.
“Sejak dini saya sudah mengajarkan kepada Sulaiman (putra bungsu Sandi, red.) pentingnya berolahraga. Dari kecil saya sudah merutinkan Sulaiman untuk les renang,” kicau Sandi di akun Twitter-nya, @sandiuno, 4 Oktober 2018.
Kendati hobi renang, sosok kelahiran Rumbai, 28 Juni 1969 itu memang tak pernah punya prestasi membanggakan. Namun, hobi itu pernah bikin heboh ketika dia ikut memeriahkan Festival Danau Sunter, 25 Februari 2018. Sandi berduel dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Danau Sunter. Dalam perlombaan itu, Sandi berenang sementara Susi berkayak dengan paddle board-nya sejauh 2x500 meter.
Dalam olahraga basket, Sandi rutin sparring dengan para sahabatnya atau terkadang dengan kolega politik. Menjelang debat 17 Maret 2019, Sandi bermain dengan Agus Harimurti Yudhoyono di Bulungan, Jakarta Selatan. “Mudah-mudahan ini juga menjadi motivasi untuk muda-mudi yang hadir, bahwa menempuh jalur politik itu banyak kebaikannya dan tentunya harus diperjuangkan setiap saat dengan cara-cara yang baik pula,” ungkapnya, dikutip Kumparan, 17 Maret 2019.
Dorongan Orangtua
Sedari dini, Sandi sudah menjajal olahraga renang dan basket. Aktivitas itu berasal dari dua faktor: keturunan dan dorongan orangtua. Ibunda Sandiaga, Rachmini Rachman alias Mien Uno, sejak belia sudah terobsesi dengan banyak jenis olahraga.
“Berawal dari kemampuannya berlari cepat, ia mudah mengakrabi bidang atletik, termasuk lompat jauh dan lompat tinggi. Tak ketinggalan, ia juga piawai bermain voli. Bisa dipastikan, nilai rapor Mien untuk mata pelajaran Pendidikan Djasmani selalu tinggi cemerlang. Jadilah ia langganan mendapat rupa-rupa piala dan piagam,” tulis Herry Gendut Janarto dalam Mien R. Uno: Menjadi Wanita Indonesia.
Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu
Namun, Mien Uno anti terhadap satu olahraga yang justru disenangi Sandi, yakni renang. “Gara-gara guru olahraganya pernah bernasihat bahwa otot-otot untuk lari cepat akan terganggu bila ia juga berenang. Karena itu, Mien enggan berlatih renang, di samping karena merasa jijik melihat kolam yang amit-amit dicemplungi banyak orang,” lanjut Herry.
Maka itu, hobi renang Sandi berasal dari ayahnya, Razif Halik ‘Henk’ Uno. Selain memperkenalkannya, Henk mengajarkan Sandi renang sejak masih tinggal di Rumbai. Kian intensnya renang Sandi membuatnya dimasukkan ke klub renang setelah pindah ke Jakarta.
“Setiap pagi sehabis salat Subuh, dia bersama kakaknya (Indra Cahya Uno, red.) berlatih renang, setelah itu baru mereka berangkat sekolah. Ketika masih SD, ia lalu didaftarkan ayahnhya menjadi anggota klub renang,” tulis Bintang Wahyu dalam Ketika Mimpi & Usaha Berbuah Manis.
Saking intensnya berlatih renang, baik di klub maupun oleh ayahnya, Sandi dan Indra pun sempat jenuh. Namun, Henk bergeming. “Supaya kalau tercebur ke sungai tidak tenggelam,” cetus Henk. Setelah sekian lama Sandiaga baru insyaf bahwa kata-kata ayahnya punya makna dalam: belajar berenang ibarat belajar survive dan menyesuaikan diri di lingkungan yang berbeda.
Baca juga: Kolam Renang Pertama di Indonesia
Faktor lain yang membuat Henk terobsesi terhadap renang adalah Lukman Niode. Putra Gorontalo itu merebut tiga medali emas renang di SEA Games 1977. Di SEA Games 1979 dia bahkan meraih lima emas.
Pilih Basket Terinspirasi Magic Johnson
Sandi tak pernah benar-benar menseriusi renang. Ayahnya pun pasrah setelah Sandi jatuh cinta pada basket. “Saya tidak ingin menjadi Lukman Niode. Cukup satu Gorontalo saja yang mengharumkan nama bangsa di kolam renang. Biarkan Gorontalo yang satu ini mengibarkan Sang Merah Putih di arena bola basket,” papar Sandi dalam otobiografinya, Kerja Tuntas, Kerja Ikhlas.
Sandi kepincut basket saat duduk di kelas lima SD PSKD Bulungan. Saking seriusnya menekuni basket, dia tidak hanya sekadar berlatih di sekolah tapi juga masuk ke klub basket Tunas Junior pada 1980. Idolanya, Earvin ‘Magic’ Johnson. Sandi acap membayangkan dirinya dengan bintang NBA itu setiapkali bermain.
“Saya ingin menjadi Magic Johnson. Dengan tinggi badan 206 sentimeter, Johnson seharusnya bisa jadi center yang kokoh tapi memilih menjadi point guard untuik tim LA Lakers. Cincin NBA pertamanya bersama Lakers didapatkannya bersamaan dengan mulainya saya bermain basket pada 1980,” kenang Sandi.
Di timnya, Sandi pun memilih posisi yang sama dengan idolanya, point guard. Baginya, posisi itu punya peran besar menciptakan visi permainan dengan menjaga keakuratan passing, menciptakan peluang mencetak angka, dan menjaga penguasaan bola. Saat bertahan, orang di posisi itu jadi yang pertama menghadang serangan lawan.
“Posisi ini memberikan banyak pelajaran hidup untuk saya di masa depan. Saya belajar bahwa kita butuh kerjasama tim dan strategi untuk mencapai kemenangan. Di luar lapangan, terutama setelah divonis mengidap HIV, Johnson juga tak kalah ajaibnya. Lewat basket, saya belajar dari Magic Johnson bahwa kita tidak boleh berhenti berlari bahkan ketika waktu tak lagi berpihak pada kita semua,” sambung Sandi.
Menukil otobiografi Johnson, My Life, ia pertamakali mengetahui dirinya mengidap HIV medio November 1991. Saking down-nya mental Johnson, ia sampai berniat pensiun. Johnson mengakui bahwa ia terkena HIV karena seks bebas. Beruntung, istri dan anak dalam kandungan istrinya tak ikut terpapar HIV.
Namun, Johnson akhirnya batal pensiun. Kariernya tetap cemerlang hingga dia dipercaya memegang ban kapten The Dream Team alias timnas Amerika Serikat di Olimpiade 1992. Namanya tetap populer di kalangan generasi muda penggila basket.
“Banyak orang memanggil saya pahlawan karena saya kemudian mendedikasikan hidup saya untuk mengedukasi generasi muda tentang HIV dan bagaimana mereka bisa terlindungi. Saya katakan, saya bukan pahlawan karena saya mengidap HIV, karena saya melakukan seks yang tidak aman. Tapi kini saya hanya bisa menatap ke depan. Saya akan berjuang dan berbagi pada generasi muda tentang apa yang sudah saya alami,” ujar Johnson.
Hal itu amat inspiratif buat Sandi. Tapi, Sandi akhirnya gagal jadi atlet basket profesional. Begitu bersekolah di SMP 12 dan di SMA Pangudi Luhur, Sandi beralih minat ke olahraga lari yang tak lain bermula dari kewajiban dari mata pelajaran Pendidikan Jasmani.
“Ketika cita-cita basket redup, saya berkenalan dengan cinta baru yang kelak jadi rutinitas saya. Guru olahraga kami, almarhum Bapak Bobby, selalu mewajibkan seluruh siswanya menempuh lari jarak jauh sebagai syarat kelulusan ujian olahraga,” kenang Sandiaga.
Kala itu, olahraga lari belum booming seperti beberapa tahun belakangan. Lari seolah hanya jadi formalitas di setiap sekolah atau pelengkap sesi pemanasan macam-macam olahraga lain. Tapi, Sandi memandangnya berbeda. “Ibu” dari berbagai cabang olahraga itu lantas kemudian terbukti jadi tren baru di berbagai daerah di Indonesia.
Baca juga: Enam Pelari Terbaik Indonesia
Pada akhirnya, Sandi tak mengentaskan cita-citanya jadi atlet basket. Tapi antusiasmenya terhadap basket dan renang tak hanya sekadar rutinitas. Sandi ikut mengurus timnas basket putri sebagai manajer jelang SEA Games 2005 dan sempat jadi ketua umum Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) periode 2013-2017.