BELUM habis pemberitaan tentang kepergian Diego Maradona, dunia sepakbola kembali ditinggal satu bintangnya, yakni Paolo Rossi. Pahlawan Timnas Italia di Piala Dunia 1982 itu mengembuskan nafas terakhirnya di usia 64 tahun pada Rabu (9/12/2020) di Roma, Italia. Pihak keluarga menyebutkan, Rossi wafat setelah lama berjuang melawan kanker paru-paru.
Sejumlah rekannya di skuad Gli Azzurri (julukan Timnas Italia) 1982 pun meluapkan kepedihannya.
“Saya tak tahu mesti berkata apa, seperti petir di siang bolong. Kami selalu punya hubungan baik dengan Paolo. Sosok yang ramah dan pintar. Kabar ini sesuatu hal yang sulit saya cerna,” kata kiper sekaligus kapten Italia Dino Zoff, dikutip La Gazzetta dello Sport, Kamis (10/12/2020).
Baca juga: Obituari: Diego Maradona dalam Kenangan
Menimpali Zoff, bek kanan Pietro Vierchowod merasa kabar duka itu jadi pukulan yang menambah pahit dalam situasi negerinya di masa pandemi COVID-19.
“Dia pemain hebat di Piala Dunia 1982 dan lebih dari itu, ia pribadi yang sensitif dan baik. 2020 menjadi tahun yang diawali dan berakhir dengan buruk. Sebuah kehilangan besar bagi sepakbola dunia,” ujarnya.
Nama Rossi memang tak setenar Maradona. Namun bersama Garrincha (Brasil) dan Mario Kempes (Argentina), Rossi punya catatan rekor dalam sejarah Piala Dunia yang belum bisa disamai bintang manapun hingga kini.
Transformasi "Pablito"
Seperti anak-anak di Italia di zamannya, Rossi sudah mengenal si kulit bundar sejak dini dan memainkannya di jalanan sepulang sekolah. Pria kelahiran Santa Lucia, dekat Kota Prato, 23 September 1956 itu sudah meretas karier sepakbolanya di usia muda dengan bergabung ke klub amatir Coiano Santa Lucia, kemudian Cattolica Virtus.
“Ibunya Paolo Rossi bekerja di perusahaan saya. Pablito (julukan Rossi) menendang bola pertamanya dengan dilatih saya sebelum pindah ke Cattolica Virtus. Malam di mana ia mencetak tiga gol ke gawang Brasil, saking girangnya saya sampai kena serangan jantung,” kenang Rodolfo Becheri, bos sebuah perusahaan perdagangan sekaligus presiden Coiano Santa Lucia, kepada La Repubblica, 25 April 2012.
Baca juga: Obituari: Gol Terakhir Ricky Yacobi
Kala menginjak usia 16 tahun, pemuda kurus itu terdeteksi radar pencari bakat klub Juventus, Italo Allodi, kala menengok kompetisi U-16 di Prato. Rossi bermain sebagai spesialis winger (sayap) kanan. Allodi segera menawarkan Rossi untuk mempertajam skill-nya di akademi Juventus dan bersambut. Rossi bahkan sudah menembus skuad utama Bianconeri (julukan Juventus) pada 1973.
Namun, Rossi tipe pemain yang rentan cedera lutut sehingga jarang dimainkan. Akibatnya, Juventus meminjamkannya ke Como selama semusim (1975-1976). Sialnya, Rossi juga gagal bersinar.
Titik balik karier Rossi terjadi semusim kemudian saat klub Serie B Vicenza Calcio meminjamnya dari Juventus tak lama dari kembalinya Rossi dari Como. Oleh allenatore (pelatih) Giovan Battista Fabbri, karakter bermain dan posisi Rossi diubah dari pemain pelari dari sektor sayap menjadi penyerang tengah.
Baca juga: Balada Klub Antah Berantah Como 1907
Dari Fabbri pula Rossi mendapat tempaan teknik finishing dan positioning di kotak penalti. Hasilnya, di akhir musim Rossi mendapat anugerah sepatu emas sebagai top skor dengan 21 gol sekaligus mengantarkan Vicenza meraih juara Serie B musim 1976-1977.
“Fabbri sudah seperti ayah buat saya. Sosok family man klasik dan selalu memberi nasihat, serta selalu melindungi Anda. Dia juga bisa memastikan persatuan yang solid di antara pemain. Saya berutang banyak padanya karena dialah yang mengubah saya dari winger menjadi penyerang tengah,” kenang Rossi dalam wawancaranya dengan Tutto Juve, 23 September 2013.
Prestasi itu membuat pelatih Timnas Italia Enzo Bearzot memanggil Rossi ke skuad jelang persiapan Piala Dunia 1978. Di turnamen itu, skuad Italia didominasi pemain muda. Sebagai hasil besutan Fabbri di Vicenza, Rossi jadi lebih fleksibel untuk bertukar peran dari penyerang tengah kembali jadi pemain sayap dengan dua rekannya di lini depan: Roberto Bettega dan Franco Causio.
Di Piala Dunia 1978 pula Rossi mendapat julukan “Pablito” (Paolo kecil) dari fans tuan rumah Argentina. Julukan itu disematkan padanya berkat aksi-aksi ciamiknya yang mengundang decak kagum. Lewat tiga gol dan empat assist yang dibuatnya selama turnamen, Rossi sebagai debutan muda meraih penghargaan bola perak alias pemain terbaik kedua sepanjang turnamen.
Habis Skandal, Terbitlah Trofi Piala Dunia
Selepas Piala Dunia 1978, Rossi dibeli Vicenza dari Juve dengan banderol selangit, 2,6 miliar lira. Nilai transfer itu mendaulat Rossi jadi pemain termahal pada masanya.
Namun sial bagi Rossi karena lagi-lagi dibekap cedera lutut. Akibatnya Vicenza di musim 1978-1979 jatuh lagi ke Serie B. Rossi akhirnya dipinjamkan ke Perugia.
Di Perugia, Rossi diterpa cobaan paling getir dalam kariernya. Ia terkena imbas Skandal Totonero atau pengaturan skor di musim 1979-1980 yang melibatkan lima klub Serie B dan delapan klub Serie A, termasuk Perugia. Dari penyelidikan Guardia di Finanza, dinas khusus di bawah naungan Kementerian Keuangan Italia, didapati ada dua pelatih dan 20 pemain dari 13 klub yang terlibat aktif dalam aktivitas perjudian sepakbola dan pengaturan skor. Rossi termasuk di antara 20 pemain itu.
“Rossi selalu menyanggah keterlibatannya dan bukti-bukti terhadapnya sebagian besar hanya berdasarkan kata ‘si anu’ dan ‘si anu’. Mungkin saja dia dijadikan kambing hitam karena reputasinya atau bisa saja memang dia benar-benar terlibat. Terlepas dari itu, dia tetap disanksi larangan berman tiga tahun yang kemudian dikurangi menjadi dua tahun,” tulis Nick Holt dalam Mammoth Book of the World Cup.
Baca juga: Obituari: Kerikil Bernama Nobby Stiles
Meski masih dihukum larangan bermain, Rossi masih diminati Juventus yang merekrutnya kembali pada 1981. Setahun kemudian setelah terbebas dari sanksi, Rossi kembali dipanggil Bearzot ke Timnas Italia. Keputusan berani Bearzot memasukkan nama Rossi ke skuad Italia di Piala Dunia 1982 Spanyol itu membuatnya kebanjiran kritik.
Namun, Rossi mampu memberi bukti bahwa keputusan Bearzot bukanlah blunder. Mark Ryan mengungkapkan dalam Lowdown: A Short History of the World Cup, di balik buruknya penampilan Italia di babak grup, tim asuhan Bearzot itu masih bisa lolos dan bahkan mencapai partai puncak. Dari total 10 gol di sepanjang turnamen, enam di antaranya diciptakan Rossi.
“Terlepas dari bintang-bintang Amerika Selatan yang sedang bersinar seperti Maradona (Argentina), serta Paulo Falcão dan Zico (Brasil), Paolo Rossi yang justru mencuri perhatian. Menarik karena Italia sebenarnya tampil buruk di fase grup sampai media-media Italia mencibir agar Bearzot sebaiknya membawa tim pulang dari Spanyol. Tetapi entah bagaimana Italia mampu melaju ke fase berikutnya,” tulis Ryan.
Baca juga: Paul Breitner si Pemain Kiri
Rossi jadi kunci keberhasilan Italia melaju. Di perempatfinal kala bersua Brasil di Estadi de Sarrià, Barcelona, 5 Juli 1982, Rossi membalikkan cacian publik Italia menjadi sanjungan lewat hattrick untuk mengunci kemenangan 3-2.
Rossi lantas mengubur cap skandal suapnya dengan mencetak sebutir gol dalam kemenangan 3-1 Italia atas Jerman Barat di partai final yang dihelat di Estadio Santiago Bernabéu, 11 Juli 1982. Namun ketika laga berakhir, alih-alih bereuforia dengan berlarian seperti rekan-rekannya, Rossi justru mengunci pandangannya ke arah papan skor.
“Saya melihat papan skor. Saya memandangi kerumuman penonton dan rekan-rekan yang merayakan. Tetapi di dalam hati saya terdapat rasa pahit. Saya berkata dalam hati: ‘Sekarang kamu harus menghentikan waktu.’ Itu adalah momen yang takkan saya alami lagi sepanjang hidup saya. Saya merasa, di sinilah akhir perjalanannya,” tutur Rossi kepada Storie di Calcio, 4 Juli 2015.
Itu jadi trofi Piala Dunia ketiga Italia setelah tahun 1934 dan 1938. Rossi sendiri dianugerahi sepatu emas karena menjadi top skor dengan enam gol, dan bola emas sebagai pemain terbaik. Tiga prestasi yang digapai secara bersamaan itu: trofi Piala Dunia, bola emas, dan sepatu emas, mensejajarkan Rossi dengan Garrincha (Brasil) dan Mario Kempes (Argentina) yang masing-masing meraihnya di Piala Dunia 1962 dan Piala Dunia 1978.
Di antara para bintang sepakbola Italia, Rossi jadi pemain ketiga yang meraih Ballon d’Or (1982). Rossi juga tercatat sebagai pemain tersubur timnas di Piala Dunia (1978 dan 1982) dengan total sembilan gol. Rekor tersebut baru bisa disamakan oleh Roberto Baggio dan Christian Vieri beberapa tahun kemudian.
Di senjakala kariernya, Rossi mulai sering dicadangkan Juventus gegara rentan cedera. Meski begitu, ia turut berandil mengantarkan Juventus menyabet scudetto Serie A musim 1981-1982 dan 1983-1984, Coppa Italia 1982-1983, Piala Winners 1983-1984, Piala Champion 1984-1985, dan UEFA Super Cup 1984.
Setelah dilepas Juventus dan ditampung AC Milan pada 1985, Rossi lantas menutup kariernya di Hellas Verona setahun kemudian. Setelah pensiun, Rossi tetap tak bisa jauh dari sepakbola. Hingga akhir hayatnya, Rossi eksis sebagai komentator di berbagai media seperti Sky dan Rai Sport.
Atas dedikasinya terhadap sepakbola dunia, pada 2007 Rossi dianugerai Golden Foot. Namanya juga dimasukkan ke dalam daftar Hall of Fame FIGC (otoritas sepakbola Italia) pada 2016.
Addio! Riposare in Pace, Paolo Rossi!
Baca juga: Obituari: Adiós Lorenzo Sanz!