UNTUK pertama kali sejak dua dekade, Prabowo Subianto bisa masuk kembali Amerika Serikat (AS). Sejak tahun 2000, Prabowo kena “cekal” masuk Amerika.
Larangan itu sekonyong-konyong dicabut pemerintah AS selepas Prabowo dilantik jadi menhan pada Oktober 2019. Dalam kapasitasnya sebagai menteri pertahanan (menhan) inilah ia bersua koleganya, Menhan AS Mark Esper di Pentagon (markas Kemenhan Amerika), Arlington County, Virginia, 16 Oktober 2020 guna membahas tiga hal.
Menukil laman resmi kemenhan AS pada 16 Oktober 2020, tiga hal yang dibicarakan Esper dengan Prabowo yakni: dukungan modernisasi alutsista Indonesia, niat kerjasama keamanan maritim, dan kesediaan Indonesia membuka akses untuk mencari para kombatan Amerika yang masih hilang dari masa Perang Dunia II.
“Menhan Esper dan Menhan Prabowo menandatangani Memorandum of Intent (semacam kesepakatan menuju perjanjian penuh, red.) mempercepat upaya Defense Prisoner of War/Missing in Action Accounting Agency (DPAA/Dinas Tawanan Perang dan Prajurit yang Hilang) memulai kembali tugasnya di Indonesia untuk mencari sisa-sisa personel Amerika yang hilang di Indonesia selama Perang Dunia II,” ungkap Kemenhan AS.
Sejak 1942, wilayah Indonesia jadi salah satu panggung terpenting dalam Perang Dunia II di front Pasifik antara Sekutu dan Jepang. Baik di darat, laut, maupun udara, pasukan Amerika terlibat dalam sejumlah pertempuran, mulai dari Laut Jawa, Laut Makassar, hingga Papua.
Satu contoh terpenting adalah para awak kapal penjelajah berat USS Houston (CA-30). Setelah kapal itu karam oleh torpedo Jepang dalam Pertempuran Selat Sunda (28 Februari-1 Maret 1942), sekira 696 krunya masih hilang di dasar laut. Upaya untuk mengenang mereka sempat dilakukan dua kali oleh Angkatan Laut (AL) Amerika lewat upacara larung bunga di Selat Sunda pada Juni 2014 dan Maret 2019.
“Kami senang dan merasa terhormat bisa mengenang mereka. Sampai sekarang banyak pahlawan perang Amerika yang hilang di sana,” tutur komandan kapal penyapu ranjau Amerika USS Chief (MCM-14) Mayor Laut Frederick Crayton saat hadir dalam diskusi bertajuk Defense of Java and the Dutch East Indies: World War II di @America, Jakarta, 26 Februari 2019.
Baca juga: Melindungi Kenangan Kapal Perang Amerika
Di wilayah Indonesia timur, sejak 1944 pasukan Amerika sudah berada dalam posisi ofensif. Mereka terus mendesak pertahanan-pertahanan Jepang di pulau-pulau sekitar Papua. Salah satunya di Pulau Biak.
Dalam situs resmi DPAA, per 16 Oktober 2020, total kombatan Amerika yang masih dinyatakan hilang (Missing in Action/ MIA) dalam Perang Dunia II mencapai 72.559 orang. Lebih dari setengahnya, 47.163, hilang di beragam front Pasifik. Di Pertempuran Pulau Biak, 13 personil AS tercatat masih MIA.
Pertempuran Pulau Biak (27 Mei-17 Agustus 1944) merupakan satu dari rangkaian pertempuran dalam kampanye Sekutu di Papua Barat yang dikomando Jenderal Douglas MacArthur. Kampanye ofensif itu dimulai dengan pendaratan di Aitape dan Hollandia (kini Jayapura) pada 22 April, lalu dilanjutkan dengan Pertempuran Bukit Pohon Tunggal (Wakde-Sarmi) pada 17 Mei, dan Pertempuran Pulau Wakde pada 18 Mei sebelum Sekutu loncat ke Pulau Biak.
Neraka di Pulau Biak
Nyaris tak ada hal yang diketahui Kolonel Harold Riegelman tentang Pulau Biak. Perwira unit kimia dari Corps I Angkatan Darat (AD) Amerika itu ditugaskan ke Pulau Biak pada pertengahan Juni 1944. Ia harus mengevaluasi mengapa manuver ofensif dua divisi AD Amerika yang diturunkan hampir sebulan lalu tak jua mencapai tujuan strategisnya: membangun lapangan terbang guna menyokong kampanye ofensif ke Kepulauan Mariana.
“Yang saya tahu tentang Biak hanyalah ia sebuah pulau satu derajat ke selatan dari garis Khatulistiwa, salah satu pulau Gugusan Schouten (kini Kepulauan Biak) yang terletak di utara Teluk Geelvink (Teluk Cendrawasih) yang menghadap ke arah ujung barat Papua,” tulisnya dalam Caves of Biak: An American Officer’s Experiences in the Southwest Pacific.
Dari serangkaian pertempuran dalam Kampanye Papua Barat, Biak jadi satu dari sedikit sasaran yang akan direbut sepenuhnya oleh serdadu Amerika. Penyerbuan Biak tak seperti pertempuran-pertempuran lain yang turut mengikutsertakan pasukan Australia dan Selandia Baru. Dalam Pertempuran Biak, Australia sekadar membantu sokongan bombardir lewat kapal-kapalnya, seperti kapal penjelajah HMAS Australia, HMAS Shropshire, atau kapal perusak HMAS Warramunga.
Jenderal McArthur, panglima Sekutu di Pasifik, menyerahkan tanggungjawab ofensif ke Biak ke pundak Panglima AD ke-6 Amerika Letjen Walter Krueger. Krueger lantas mengandalkan Komandan Korps I Letjen Robert Lawrence Eichelberger, atasan Riegelman, untuk merancang skema ofensif di lapangan.
Baca juga: Gedoran Pasukan Jepang di Corregidor
Jenderal MacArthur berharap operasi di Biak bisa rampung dalam kurun satu minggu. Tingginya kepercayaan diri MacArthur tak lepas dari laporan intelijen Sekutu yang menguraikan Biak hanya dipertahankan oleh sekira dua ribu serdadu Jepang. Dari laporan intelijen di darat dan pengintaian udara, disebutkan dua ribu personil Jepang itu hanya dipimpin kolonel AD Kozume Naoyuki dan Laksamana AL Sadatoshi Senda.
Namun, menurut sejarawan militer Laksamana Samuel Eliot Morison, ada yang tak diketahui MacArthur dan stafnya. Jepang, kata Morison dalam New Guinea and the Marianas: March 1944-August 1944, ternyata masih bisa mengirim ribuan pasukan bantuan dari Mindanao, Filipina ke Biak lewat Operasi KON yang dipimpin Laksamana Naomasa Sakonju.
“Yang terlupakan oleh Sekutu saat mendarat di Biak pada 27 Mei adalah, hari itu menjadi perayaan ke-39 Pertempuran Tsushima. Peristiwa yang sangat dipuja AL Jepang. Saat Sekutu sudah mendarat di Biak pada 27 Mei, AL Jepang bereaksi ikut mempertahankan dengan niat menyambung kejayaan di Tsushima,” tulis Morrison.
Sesuai skema yang dibuat, pasca-bombardir pembuka dari laut, pasukan Sekutu mendarat di Biak pada 27 Mei 1944 di empat titik pendaratan Pantai Bosnek. Pasukan itu berkekuatan 12 ribu prajurit Divisi Infantri ke-41 AD yang merupakan pasukan baru gabungan dari garda nasional negara bagian Oregon, Montana, Washington, dan Idaho.
Pasukan pendarat itu diikuti 12 tank medium M4 Sherman. Mereka tak menemui perlawanan berarti saat mendarat. Beberapa hari setelah pendaratan, para perwira Amerika baru insyaf bahwa jumlah pasukan Jepang jauh lebih banyak dari informasi awal yang mereka terima.
Baca juga: Orang Indonesia di Palagan Pasifik
Perlawanan alot baru ditemui pasukan Amerika kala mencapai Lapangan Terbang Mokmer (kini Bandara Frans Kaisiepo), 10 hari setelah pendaratan. Selain kekuatan pasukan Jepang (11 ribu) ternyata lima kali lipat lebih besar dari laporan awal intelijen (dua ribu), para serdadu Jepang dengan pandai menyembunyikan posisi mereka di dalam gua-gua yang mengarah ke lapangan terbang. Belum lagi tambahan ribuan pasukan bantuan yang datang sejak 31 Mei.
“Rencana Operasi KON adalah mengantar 2.500 pasukan tambahan dari Brigade Amfibi ke-2 dari Mindanao ke Biak dengan kapal-kapal pendaratan. Laksamana Naomasa Sakonju juga mengirim kapal penjelajah Kinu, Myoko, dan Haguro; kapal perusak Shikinami, Uranami, dan Shigure; serta kapal tempur Fuso yang berangkat dari Zamboanga pada 31 Mei dan tiba di Biak pada 3 Juni,” sambung Morrison.
Pasukan Jepang, terutama 1.200 serdadu Resimen Infantri ke-222 di bawah Kolonel Kuzume, amat pandai memanfaatkan bentang alam. Unit-unit mortir dan meriamnya dengan baik menyamarkan diri di jaringan-jaringan gua di barat dan timur Pulau Biak. Merekalah yang membuat pasukan lawan berdarah-darah sehingga pertempuran berjalan alot.
“Kuzume paham bahwa selama dia bisa ulet mempertahankan lembah dan bukit di utara Mokmer, dia bisa mencegah Hurricane Task Force (semacam pasukan zeni Amerika) untuk memperbaiki dan menggunakan lapangan terbang Borokoe dan Sorido. Ia tempatkan pasukan gabungan resimennya dan tentara AL Jepang di Kantung Ibdi dan rangkaian gua di timur pulau,” singkap Robert Ross Smith dalam The War in the Pacific: The Approach to the Philippines.
Baca juga: Operasi Mengebom Kapal Jepang
Setelah 10 hari pertempuran tetap berjalan alot alias lewat dari target awal seminggu yang diberikan, MacArthur pun tak puas. Ia memerintahkan Jenderal Krueger mengganti Fuller. Atas rekomendasi Eichelberger, Divisi ke-42 berganti pimpinan ke pundak Brigjen Jens Anderson Doe yang sebelumnya komandan Resimen Infantri ke-136 Divisi ke-42.
Jenderal Doe segera merancang ofensif yang lebih agresif untuk menyisir setiap jaringan terowongan dan gua-gua di pedalaman Biak. Dia mengandalkan apa saja yang bisa digunakan, mulai dari pelontar api (flame thrower), granat, hingga bensin untuk menyulut api hingga ke perut gua. Efek ledakan granat yang dihimpun dalam sebuah tas bisa lebih mengerikan daripada bensin dan pelontar api.
“Setelah sebuah gua meledak, seorang prajurit masuk untuk melihat dampaknya. Beberapa menit dia keluar dengan mengalami pusing dan muntah-muntah. ‘Ya Tuhan, pemandangan (di dalam) sudah seperti neraka. Potongan-potongan tubuh memenuhi dasar gua! Perut-perutnya menganga mengeluarkan isi-isi perutnya. Darah mengalir dari telinga, hidung, mulut, dan mata para jasad tentara Jepang. Sungguh menjijikkan!’” tulis Howard Oleck dalam Eye-Witness World War II Battles.
Pada 20 Juni, pasukan Amerika sudah bisa maju dan merebut landasan terbang Borokoe dan Sorido. Saat itu masih tersisa seribu pasukan Jepang yang bertahan di kubu terakhir dalam gua-gua di timur pulau. Beberapa dari mereka yang mulai putus asa lalu melancarkan serangan bunuh diri.
“Suatu malam sekitar 200 tentara Jepang menyerang yang kemudian semuanya tumbang dengan senapan mesin. Seorang prajurit Amerika mengenang: ‘Itu seperti eksekusi massal. Bunuh diri massal dari pasukan yang memang ingin mati,’” tambah Oleck.
Baca juga: Unit 731, Alat Pembunuh Massal Militer Jepang
Untuk mematahkan pertahanan Jepang yang keuletan, pasukan Amerika mempertimbangkan penggunaan senjata kimia, terutama senjata gas beracun yang dirampas dari gua-gua yang ditinggalkan pasukan Jepang. Riegelman mengisahkan soal itu dalam bukunya.
“Bagaimana, perwira kimia, apa yang Anda dapatkan dari gua-gua itu?” tanya sang perwira senior.
“Kami mendapat banyak gas yang tak digunakan oleh Jepang, Pak,” jawabnya.
“Berapa banyak yang Anda dapatkan?”
“Kami mengambil dengan jumlah banyak yang kebanyakan asap beracun.”
“Apakah bisa gas itu dipakai untuk melawan Jepang, walau beberapa staf saya tak setuju?”
“Pak, menurut saya staf Anda benar dan saya yakin Anda akan dibebastugaskan dalam 24 jam setelah Anda menggunakan gas. Walau pada akhirnya kita akan kehilangan lebih banyak waktu dan korban jika tak memakai gas,” jelas Riegelman.
Pertimbangan memakai senjata kimia itu akhirnya tak lagi dijadikan isu. “Saya tak pernah menyangka akan mendapati suatu hari di mana saya harus menentang penggunaan gas terhadap Jepang, terutama senjata gas mereka sendiri. Tetapi saya pikir itu adalah tindakan yang benar,” kenang Riegelman.
Lebih dari 700 personil Jepang yang tersisa tetap melakukan perlawanan sengit dengan mengandalkan alam. Sikap itu membuat banyak perwira Amerika kagum pada keteguhan hati dan keuletan strategi para personil pertahanan yang dipimpin Kolonel Kuzume.
“Menyadari posisinya yang tanpa harapan, perwira yang berani ini (Kolonel Kuzume) mampu membangkitkan semangat resimennya (Resimen Infantri ke-222). Entah kemudian dia bunuh diri atau tewas dalam pertempuran, namun kematiannya menandakan berakhirnya pertahanan efektif dan ulet pasukannya,” tandas Morison.
Baca juga: Sepakterjang Batalyon Amerika yang Hilang
Seluruh Pulau Biak akhirnya bisa direbut pasukan Amerika pada 17 Agustus 1944. Namun, tujuan strategis MacArthur untuk bisa menggunakan Biak sebagai basis sokongan udara guna kampanye di Kepulauan Mariana tak tercapai. Lapangan-lapangan udara di Biak baru bisa digunakan pada September 1944 untuk menyokong ofensif via udara ke Kepulauan Palau dan Mindanao.
Dalam 52 hari Pertempuran Pulau Biak, pihak Jepang kehilangan 4.700 prajuritnya dan 200 lainnya tertawan. Sisa pasukannya yang terluka sampai sekarang belum diketahui. Sementara, Amerika meski 438 prajuritnya tewas, namun lebih dari dua ribu serdadunya terluka. Sekira 14 personelnya hingga sekarang statusnya masih MIA alias hilang tanpa teridentifikasi.