Jurnalis legendaris Indonesia almarhum Rosihan Anwar pernah berkisah kepada saya. Di era Perang Kemerdekaan (1945-1949), bukan hanya kaum pemanggul senjata yang ikut berperang, tetapi juga para kuli tinta dari kedua kedua negara yang tengah berkonflik ikut turun ke gelanggang.
“Salah satu jurnalis Belanda yang pernah berpolemik dengan saya adalah Alfred van Sprang,” ungkap Rosihan.
Van Sprang merupakan jurnalis perang terkemuka yang pernah bertugas di Indonesia (1946-1949). Dia tercatat sebagai jurnalis yang bekerja untuk kantor berita Amerika Serikat, United Pers. Sebagai warga negara Belanda, Sprang memiliki akses istimewa dalam setiap gerakan militer Belanda di Indonesia. Rekaman reportasenya selama melekat pada Divisi 7 Desemberdi Jawa, dia catat dalam sebuah buku berjudul Wij Werden Geroepen (Kami yang Dipanggil).
Pada saat Aksi Polisional I (pihak Indonesia menyebutnya Agresi Pertama), Sprang mengikuti pergerakan pasukan Belanda dari Klender menuju Karawang. Dia melaporkan jalannya pertempuran antara pejuang Indonesia dengan tentara Belanda nyaris dari front ke front. Salah satu laporannya yang paling impresif adalah saat dia menjadi saksi mata bagaimana keuletan pasukan HMOT (milisi bumiputera yang direkrut dari kalangan penjahat dan eks pejuang Indonesia) saat bertempur melawan sebuah batalyon TNI bernama Beruang Merah.
Selain Sprang, Belanda juga menurunkan para jurnalis fotonya. Setidaknya ada dua nama fotografer perang mereka yang aktif di palagan Indonesia: Hasselman dan Charles Brejer. Nama terakhir adalah fotografer yang paling banyak menghasilkan foto-foto human interest mengenai situasi-situasi perang di Jawa, termasuk penderitaan para penduduk sipil.
Fotografer asal Prancis Henri Cartier Bresson juga termasuk ciamik merekam situasi-situasi Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan salah satu essai foto-nya di Majalah LIFE berjudul ‘Young Men Are Both The Peril and The Hope’ termasuk salah satu laporan paling legendaris mengenai Indonesia era revolusi. Akses Bresson ke kubu Republik juga termasuk kuat. Dia pernah beberapa kali mewawancarai sekaligus mengambil gambar Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Tak mau kalah dengan para jurnalis tersebut, pada 1948 majalah terkemuka National Geographic (NG) menurunkan jurnalis Ronald Stuart Kain untuk meliput gejolak perang di tanah Jawa. Saya pernah membaca tulisan Kain itu di majalah NG edisi 93 Mei 1948. Pemaparannya sangat detail dan sungguh memukau. Secara detail dan deskriptif, dia menuliskan situasi sosial politik yang terjadi selama perang kemerdekaan berlangsung di tanah Jawa: para pengungsi yang berdesakan di kereta api, lasykar-lasykar pribumi berambut gondrong yang menikmati peran mereka sebagai tentara, serta para serdadu muda yang muak akan perang dan rindu pulang ke kampung mereka di Belanda.
Selain jurnalis-jurnalis dunia asal United Pers, Reuters, ANETA, LIFE, Time dan National Geographic, ada juga para kuli tinta dari Swis, India, Australia dan negara-negara lainnya. Tak boleh dilupakan, para jurnalis Indonesia pun hadir untuk meliput setiap kejadian-kejadian dari medan perang. Selain Rosihan Anwar, ada jurnalis kawakan Mochtar Lubis serta para fotografer IPPHOS: Frans Mendoer, Alex Mendoer, J.K. Oembas, Alex Mamoesoeng, F.F. Oembas, Abdul Rachman dan M.Jacob.
Jika Rosihan dan Mochtar sangat aktif melaporkan situasi perang yang terjadi di Jakarta, Surabaya, Tangerang, Batavia, Karawang, Bekasi dan Yogyakarta (Rosihan bahkan merupakan jurnalis pertama yang bisa mewawancarai Panglima Besar Soedirman), maka Alex Mendoer cs menghadirkan gambar-gambar dari medan perang. Mereka bertebaran nyaris di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera.