AKHIR April 2014. Lelaki sepuh itu meraih buku bersampul kuning di sisi tempat tidurnya. Dengan tangan agak gemetar, dia membuka halaman demi halaman. Begitu mendapatkan halaman yang dia cari, sontak wajahnya terlihat sumringah. “Cobalah kamu baca, di alinea ke-4 halaman ini, di situ Inggris mengakui ketangguhan tentara kita di sepanjang Sukabumi-Cianjur-Bandung,” ujarnya sambil menyodorkan buku The Fighting Cock: The Story of The 23rd Indian Division karya Kolonel A.J.F. Doulton.
Letnan Kolonel Eddie Soekardi layak bangga. Sebagai Komandan Resimen III TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang membawahi Bogor, Sukabumi dan Cianjur pada 1945-1946, Eddie berhasil menyusun strategi yang membuat tentara Inggris (yang berpengalaman di palagan Burma, Malaya, dan Singapura) kocar-kacir sepanjang jalur Bojongkokosan, Sukabumi, Cianjur pada Desember 1945-Maret 1946. Sebegitu parahnya kekalahan itu sehingga, kata Eddie, parlemen Inggris menyayangkan jatuhnya korban: ratusan serdadu gugur, ratusan luka-luka, serta 150 kendaraan tempur hancur (termasuk tank Sherman yang terkenal legendaris dalam Perang Dunia II).
“Dengan taktik hit and run dan pengerahan sniper sepanjang jalur peperangan, kami bikin mereka kalangkabut. Bahkan dalam suatu pertempuran salah seorang pimpinan batalion mereka berhasil kami tewaskan,” kata mantan perwira Pembela Tanah Air (PETA) itu.
Apa yang dikatakan Eddie bukan isapan jempol. Dalam The Fighting Cock, Doulton bercerita tentang seramnya “neraka Sukabumi-Cianjur bagi militer Inggris” itu. “Inilah Perang Jawa sesungguhnya bagi kami,” tulis Doulton.
Bukan hanya di Bojongkokosan, pasukan Inggris juga dibuat tak berdaya di Cianjur. Eddie menyebut nama Soeroso sebagai pimpinan gerilyawan kota yang berhasil mengganggu pergerakan Batalion 3/3 Gurkha Rifles (kesatuan elite militer Inggris yang diperkuat orang-orang Gurkha) dari Bandung ke Sukabumi.
Bersama gerilyawan lain dari Batalion 3 Resimen III TRI, Lasykar Hizbullah dan Sabilillah, Pesindo, Lasykar BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia) cabang Cianjur-Sukabumi pimpinan Soeroso menyerang secara gencar terhadap Batalion 3/3 Gurkha Rifles yang diperkuat tank Sherman, panser wagon, brencarrier dan truk-truk berisi pasukan. Kendati hanya menggunakan molotov cocktail (bom sederhana yang terbuat dari botol yang diisi bensin dan disertai sumbu) dan beberapa pucuk senjata, mereka berhasil melakukan serangan terstruktur dari sudut-sudut pertokoan dan lorong-lorong rumah yang berderet sepanjang pusat kota Cianjur.
“Bagi para serdadu Gurkha Rifles, situasi itu cukup membingungkan. Mereka hanya bisa bertahan dan membalas serangan tersebut sekenanya dari balik kendaran-kendaraan tempur mereka,” kata sesepuh Divisi Siliwangi itu.
Doulton mencatat ketidakberdayaan salah satu satuan elite militer Inggris dalam Perang Dunia II itu. “Ini menjadi suatu bukti, orang-orang Indonesia mengalami kemajuan dan semakin militan,” tulis Doulton.
Eddie sendiri mencatat jalannya perang itu dari perspektif tentara Indonesia. Dalam Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1946, lelaki kelahiran Sukabumi pada 18 Februari 1916 ini, menulis bahwa faktor paling signifikan yang menyebabkan unggulnya TKR dan lasykar adalah semangat tinggi dan bantuan rakyat. “Tanpa bantuan rakyat, saya yakin TKR dan lasykar tak bisa berbuat apa-apa melawan kekuatan militer Inggris yang perlengkapan serba modern itu,” tulisnya.
Usai menaklukan Inggris di Sukabumi, karir militer Eddie melesat. Setelah menjabat Kepala Staf Brigade Guntur di Tasikmalaya, dia didapuk menjadi Komandan Brigade 14 Divisi Siliwangi dan sukses memadamkan perlawanan Front Demokrasi Rakyat Partai Komunis Indonesia (FDR PKI) di Kedu, Jawa Tengah. Sayang, saat kembali ke Jawa Barat pasca long march Divisi Siliwangi pada 1948, dia “ditangkap” oleh militer Belanda di Ciamis.
Penangkapan ini membuat heboh Divisi Siliwangi dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia di Yogyakarta. Menurut versi buku Siliwangi dari Masa ke Masa, Eddie tidak ditangkap tapi secara sepihak tanpa koordinasi dengan Panglima Divisi dan pimpinan TNI melakukan gencatan senjata dengan militer Belanda di Ciamis.
Usai perang, Eddie sempat menjadi panglima di Kalimantan. Dia mengakhiri karirnya sebagai tentara pada 1957 dengan pangkat kolonel. Seterusnya dia banyak berkiprah di dunia bisnis. “Terakhir, ayah saya berkecimpung dalam usaha pengembangan bunga anggrek di Bandung,” ujar Iwan Soekardi, salah satu putra Eddie.
Pada 5 September 2014, Eddie menghembuskan napas yang terakhir di Bandung. Kendati tak banyak orang tahu mengenai perjuangannya, namun sejarah mencatat dia merupakan salah satu komandan gerilyawan Indonesia yang disegani militer Inggris pada 1946.
[pages]