Sekali waktu, anak buah Naga Bonar berembuk. Mereka membincangkan strategi untuk menghadapi Belanda. Besok hari, mereka akan merundingkan pembatasan garis demarkasi.
“Untuk berunding dengan tentara Belanda, masing-masing kita harus punya pangkat, supaya mereka segan,” kata Lukman si juru bicara markas.
Tidak tanggung-tanggung, pimpinan mereka Naga Bonar diberikan pangkat tertinggi: Marsekal Medan. Alasannya, Marsekal Medan (field marshal) itulah pangkat yang disandang para panglima besar dalam Perang Dunia II. Tapi, dalam kenaifannya Naga Bonar menolak dan salah pengertian. Dia minta pangkatnya ditambahkan menjadi Marsekal Medan-Lubuk Pakam. Lukman yang sekolahnya paling tinggi itu mengatakan pangkat demikian tidak ada. Naga Bonar jadi emosi.
“Kalau tak ada, dibikin!” hardik Naga Bonar dengan logat Medannya yang kental.
Akhirnya disepakati, Naga Bonar menjadi jenderal. Murad jadi kolonel, Pardjo jadi letnan kolonel, dan Lukman jadi mayor. Sementara itu, Bujang, asistennya Naga Bonar diberi pangkat kopral. Begitulah rapat kepangkatan itu diputuskan secara kilat seperti tersua dalam film Naga Bonar (1987) besutan sineas Asrul Sani.
Baca juga:
Fragmen di atas memang rekaan Asrul Sani semata. Begitu pula dengan sosok Naga Bonar. Hanya saja perkara menaikan pangkat diri sendiri dalam sekejap memang jamak terjadi di masa revolusi. Kisah paling beken barangkali menyangkut sosok Timur Pane, tokoh laskar legendaris dari Medan. Dari kiprah Timur Pane inilah Asrul Sani disebut-sebut terinpirasi menciptakan karakter Naga Bonar.
Timur Pane, menurut catatan wartawan Antara Muhammad Radjab adalah seorang pedagang jengkol dan sayur-sayuran yang sekaligus berprofesi sebagai pencopet di kota Medan. Badannya pendek kecil, mukanya separuh bagian bawah kebiru-biruan, sorot matanya liar. Orang-orang mengenalnya memiliki nyali besar. Sewaktu terjadi Pertempuran Medan Area, Timur Pane menghimpun pasukannya dalam “Laskar Naga Terbang” yang terdiri dari para kriminal. Di kawasan Sumatra Timur, Timur Pane seorang figur yang terkenal dan menggelisahkan.
“Katanya, ia sendiri sudah banyak menyembelih orang di medan pertempuran. Kenekatan inilah yang menjadikannya terkemuka, ditakuti, dan namanya terkenal,” tutur Radjab dalam Tjatatan di Sumatra.
Baca juga:
Uniknya, Timur Pane selalu melekatkan pangkat jenderal mayor pada namanya. Entah darimana si mantan copet ini memperoleh pangkat yang sekarang setara perwira tinggi bintang dua itu. Demi mengesankan citra diri sebagai perwira tinggi, Timur Pane punya lagak khas. Sebagaimana dituturkan Maraden Panggabean dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi, Timur Pane gemar sekali memasang bendera kuning ala Jepang pada kendaraannya. Di masa pendudukan Jepang, bendera kuning yang melekat pada kendaraan menandakan bahwa penumpang di dalamnya adalah seorang perwira tinggi, setingkat jenderal.
Menurut Kementerian Penerangan dalam Republik Indonesia: Provinsi Sumatra Utara, kekuatan pasukan Timur Pane makin diperhitungkan setelah dia berhasil meleburkan beberapa barisan laskar ke dalam “Tentara Marsose”. Disitulah Timur Pane mendaulat dirinya sebagai jenderal mayor. Secara sepihak, Timur Pane menyatakan dirinya telah menjadi Tentara Republik Indonesia. Seluruh pasukannya, mulai dari komandan sampai kepada anak buah diberikan tanda pangkat militer.
Untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah pusat, Timur Pane banyak bikin ulah. Pada pertengahan 1947, Timur Pane serta pasukan pengawalnya mendatangi S.M. Amin selaku gubernur muda Sumatra Utara. Tanpa basa-basi, Timur Pane mendesak Amin agar pasukan Marsose diterima sebagai tentara republik. Namun yang lebih mencengangkan, Timur Pane meminta anggaran belanja untuk pasukannya sebesar 120 juta gulden setiap bulannya.
Baca juga:
Ketika S.M. Amin Dipalak Timur Pane
Selain itu, aksi Timur Pane melalui Tentara Marsosenya menyebabkan friksi dengan TRI Divisi X Sumatra yang dipimpin oleh Kolonel Husein Jusuf dan kepala stafnya Letkol Hopman Sitompul. Seperti disebutkan Jenderal Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 6: Perang Gerilya Semesta I, pasukan Timur Pane kerap melucuti TRI dan polisi negara yang ada di wilayahnya. Kendati demikian, pimpinan TRI Divisi X Sumatra maupun Komandemen Sumatra tidak dapat berbuat apa-apa.
Timur Pane sendiri, kata Nasution awalnya diberi pangkat kolonel. Karena pengaruhnya begitu besar di kalangan kelompoknya, pimpinan Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta terpaksa merestui pangkat jenderal mayor kepada Timur Pane secara sementara. Itu diusulkan Residen Sumatra Timur Mr. Abu Bakar Jaar. Maka resmilah Tentara Marsose diakui Komandemen Tentara Sumatra sebagai kesatuan perang dengan nama Legiun Penggempur.
Kendati demikian, kejenderalan Timur Pane itu hanya omong kosong. Ketika Belanda melancarkan agresi militer yang pertama pada akhir Juli 1947, pasukan Timur Pane kocar-kacir. Padahal dia telah sesumbar kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta akan merebut kembali kota Medan dari tangan Belanda. Pasukan Legiun Penggempur akhirnya dibubarkan setelah Hatta menetapkan kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi Angkatan Perang. Dengan sendirinya, Timur Pane dicopot dari kedudukan militernya. Gelar jenderal mayor kebanggaannya pun tanggal begitu saja.
Baca juga: