ANGGOTA Korps Hiu Kencana memanggilnya: Pak Zukov. Orangnya tidak begitu tinggi namun memiliki wajah keras khas Rusia. Berbeda dengan penampakan luarnya yang garang, Zukov yang konon merupakan seorang perwira Angkatan Laut Uni Soviet (soal itu memang sengaja dirahasiakan) keseharian-nya sangat ramah.
“Dia mengajarkan saya banyak hal tentang dunia kapal selam, terutama mengenai detil yang terkait dengan kapal selam kelas Whiskey yang memang dibuat Uni Soviet,” ungkap Laksda TNI (Purn) I Nyoman Suharta, eks awak kapal selam Korps Hiu Kencana TNI-AL angkatan awal.
Zukov adalah salah satu dari sekira 300 anggota AL Uni Soviet yang sempat “ditugaskan” untuk mengawaki 6 kapal selam jenis Whiskey yang dibeli Indonesia. Ceritanya, sekira Juni 1962, pihak intelijen Indonesia menginformasikan HNMLS Karel Doorman milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda sudah memasuki perairan Irian. Kapal induk yang memiliki nomor lambung R81 itu khusus datang dari pangkalan mereka di Den Helder demi memperkuat pertahanan laut militer Belanda di wilayah Irian Barat (sekarang Papua).
Baca juga: Aksi Kapal Selam RI di Palagan Irian
Informasi itu langsung direspon secara cepat oleh Presiden Sukarno. Dia lantas memerintahkan jajaran angkatan bersenjata-nya (terutama ALRI) untuk menambah pembelian kapal selam kelas Whiskey dari Uni Soviet: dari 6 menjadi 12. Permintaan itu langsung diamini Perdana Menteri Nikita Krushchev. Maka dikirimlah kapal selam yang memiliki torpedo otomatis 533 mm yang merupakan senjata bawah air tercanggih di zamannya.
Persoalan muncul ketika ALRI tidak memiliki kru lagi untuk mengisi 6 kapal selam tambahan itu. Maka untuk mengantisipasi situasi itu, pemerintah RI “mengundang” ratusan kru kapal selam Angkatan Laut Uni Soviet untuk menjadi sukarelawan. Lagi-lagi Uni Soviet mengabulkan permintaan RI tersebut.
“Yang saya ingat, ada sekitar 300-an anggota Angkatan Laut Uni Soviet hadir di Surabaya guna memperkuat 6 kapal selam yang belum memiliki kru Indonesia itu,” ungkap Suharta.
Menurut Suharta, semua anggota Angkatan Laut Uni Soviet itu praktis melakukan aktifitas di Indonesia atas dasar sukarela. Maka dalam kegiatan sehari-hari, mereka menjalankan tugas tanpa menyandang jabatan resmi dan pangkat sama sekali.
Soal kehadiran dan peran penting orang-orang Rusia itu diakui juga oleh F.X. Soeyatno. Bahkan tidak sekadar sebagai instruktur, mereka pun terlibat aktif dalam patroli. Alumni Akademi Angkatan Laut (AAL) angkatan ke-9 itu bersaksi jika mereka merupakan prajurit bawah laut yang tangguh.
“Saya pernah bertugas bersama mereka mengawasi perairan sepanjang Pantai Utara Irian Barat…” ungkap eks awak kapal selam RI Tjudamani tersebut.
Baca juga: Aksi Kapal Selam di Papua dan Sabotase yang Gagal
Kesan Soeyatno terhadap mereka sangat baik. Walaupun berasal dari negara adidaya, prajurit-prajurit AL Uni Soviet itu jauh dari sikap arogan. Mereka memang tegas saat menjadi instruktur namun dalam keseharian sangat bersahabat. Kendati berbeda bangsa dan bahasa, hubungan antara awak Rusia dengan awak Indonesia berjalan lancar.
“Jauh hari kami memang sudah diajarkan bahasa dan budaya Rusia sehinga faktor perbedaan bangsa itu tidak menjadi masalah saat kami bekerja sama,” ungkap anggota ALRI yang mengakhiri karirnya sebagai kolonel itu.
Selama di Indonesia, orang-orang Rusia itu ditempatkan di Asrama KPALU masuk kawasan Dermaga Ujung, Surabaya. Hidup mereka sehari-hari ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah RI. Menurut Suharta, cukup sulit bagi orang luar untuk menemui mereka. Selain sibuk mengajar calon awak kapal Indonesia, orang-orang Rusia itu pun tidak sembarangan bergaul kecuali dengan para anak didik mereka.
Tetapi menurut Kolonel (Purn) Arifin Rosadi, kehadiran tenaga tempur Rusia di pihak Indonesia sempat sampai ke telinga pihak Belanda dan Amerika Serikat (AS). Kedua-nya tentu sangat mengkhawatirkan kehadiran orang-orang Rusia itu di Indonesia akan memantik perang dunia ketiga. Bisa jadi karena pertimbangan itu, Belanda pada akhirnya mau maju ke meja perundingan.
“Andaikan Belanda ngeyel dan perang pecah di Irian, tentara Rusia itu akan dicatat dalam sejarah sebagai tentara Blok Timur pertama yang langsung berhadapan dengan Belanda yang mewakili Blok Barat ,” ungkap eks Kepala Kamar Mesin RI Nagabanda itu.
Baca juga: Hidup di Kapal Selam Whiskey
Ketika konflik Indonesia-Belanda mulai mereda, sejak Agustus 1962, secara bertahap orang-orang Rusia pun mulai pulang kampung. Ada cerita menarik ketika orang-orang Rusia itu tahu bahwa perang akan berakhir. Alih-alih bergembira, mereka malah agak kecewa. Mengapa?
Ternyata mereka telah dijanjikan oleh Perdana Menteri Kruschev: jika mereka kembali ke Uni Soviet dalam keadaan hidup dan lolos dari peperangan yang terjadi di Indonesia, maka mereka akan dimutasikan ke kapal selam nuklir.
“Karena peperangan tak jadi meletus, mereka mengira mutasi pun akan dibatalkan,” ungkap Suharta.
Tetapi di depan para komandannya, soal itu segera ditutupi. Mereka tetap menunjukan disiplin yang kuat. Namun bisa jadi itu mereka lakukan untuk menghindar dari pengaduan komisaris politik yang ada di setiap kapal selam. Memperlihatkan sikap membangkang pada perintah atasan, bagi tentara Uni Soviet adalah kiamat. Karena bisa jadi dosanya tak terampuni.