Masuk Daftar
My Getplus

Sulitnya Mundur dari Dinas Militer

Tentara ini berkali-kali mengajukan pengunduran diri dari dinas militer, namun selalu ditolak.

Oleh: M.F. Mukthi | 19 Okt 2016
Didi Kartasasmita (kanan) dan Letjen Oerip Soemohardjo tiba kembali di Yogyakarta setelah mengikuti Perundingan Renville. Foto: IPPHOS/Perpusnas RI.

MAYOR Inf. Agus Harimurti Yudhoyono, putra mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta dari Partai Demokrat. Untuk itu dia mengajukan pengunduran diri dari dinas ketentaraan. Pengajuannya diproses dengan cepat sehingga menjadi perbincangan di dunia maya. Pasalnya, proses itu biasanya memakan waktu lama, dinilai amat cepat. Setelah mendapat persetujuan dari matranya, seorang prajurit masih harus mendapatkan persetujuan dari Mabes TNI.

Meski berbeda era dan aturan, Didi Kartasasmita, panglima Komandemen Jawa Barat, pernah mengalami sulitnya mundur dari dinas ketentaraan.

Pengunduran Didi berawal dari ketidaksetujuannya atas langkah Presiden Sukarno yang memecat Letjen TNI Oerip Soemohardjo sebagai kepala staf oemoem TKR dan memberinya kedudukan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Didi, yang sepikiran dengan Oerip, menganggap itu merupakan bentuk pembuangan. Didi juga kecewa lantaran dilangkahi perwira-perwira eks KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) lulusan Bandung seperti TB Simatupang yang jauh lebih junior. Menurutnya, sesuai etika di lingkungan perwira KNIL, pelangkahan sama saja menganggap orang yang dilangkahi tak becus.

Advertising
Advertising

Suasana itu membuat Didi tak nyaman. Didi memutuskan menulis surat pengunduran diri kepada Presiden Sukarno pada 20 April 1947. Sambil menunggu balasan, dia tetap aktif menjalankan tugas. Tapi berbulan-bulan lamanya surat balasan yang dinanti tak kunjung tiba.

“Saya akhirnya menulis surat pengunduran diri dari dinas ketentaraan untuk kedua kalinya, tertanggal 9 Februari 1948,” ujar Didi dalam biografinya, Pengabdian Bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono. Surat yang ditujukan kepada presiden itu juga ditembuskan kepada menteri pertahanan, panglima besar, dan kepala staf angkatan perang.

Pada 14 Februari 1948, surat dari pemerintah akhirnya datang. Didi senang tapi hanya sebentar. Surat itu ternyata pengangkatan Didi sebagai anggota Mahkamah Tentara Agung. Badan yang baru dibentuk itu bertugas mengadili para pelaku Peristiwa 3 Juli, yaitu penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Sambil terus menanti jawaban, Didi tetap menjalankan tugasnya. Wakil KSAP TB Simatupang sempat membujuknya agar membatalkan niatnya untuk mundur tapi Didi tetap pada pendiriannya.

Pada 15 Maret 1948, Didi akhirnya menerima surat balasan No. 34/A.Mil./48 yang isinya Presiden Sukarno selaku panglima tertinggi tentara menolak pengunduran dirinya. Pertimbangannya, Didi masih dibutuhkan negara.

Didi tetap tak tenang. Pada 8 Mei 1948, dia mengirim surat pengunduran diri untuk ketiga kali. Tak lama kemudian surat itu berbalas. Lagi-lagi, isinya bukan persetujuan. KSAP Suryadarma, yang mengirim surat itu, justru memberi penugasan baru kepada Didi sebagai mahaguru di Pusat Pendidikan Ketentaraan di Yogyakarta. Tugas tersebut harus sudah berjalan pada 15 Mei 1948. Didi buru-buru membalasi surat itu untuk menolak. “Pertama, saya berpangkat jenderal mayor, sedangkan direktur Pusat Pendidikan Ketentaraan hanya berpangkat kolonel. Kedua, saya tidak sanggup menjadi guru,” ujar Didi.

Didi kemudian melayangkan surat pengunduran diri keempat pada 1 Juni 1948. Lantaran tak kunjung mendapat balasan, dia mengirim surat susulan pada 24 Juni 1948. Kali ini Didi agak mengancam: “apabila sampai tanggal 1 Juli 1948 tidak juga ada balasan, maka saya akan menganggap diri sudah bukan tentara lagi.”

Sampai tenggat waktu yang ditentukan lewat, Didi tak juga mendapat tanggapan. Dia pun menyatakan diri sudah bukan tentara lagi. “Secara militer tindakan saya itu tidak dapat dibenarkan. Ya, seorang anggota militer tidak dibenarkan memberikan ultimatum kepada atasannya, lalu menganggap dirinya telah keluar dari dinas ketentaraan. Akan tetapi, juga secara militer tidak dapat diterima jika pemerintah tidak juga membalas surat-surat saya. Saya mesti menunggu berita lama. Hal itu sudah di luar batas disiplin.”

Akhirnya, pada 31 Juli 1948, surat dari presiden tiba. Isinya, pemerintah secara resmi memberhentikannya dengan hormat dari dinas ketentaraan, dengan pangkat kolonel, atas permintaannya sendiri.

“Entah apa yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah menurunkan pangkat saya. Namun, saya tidak begitu memedulikannya. Itu kan hanya soal pangkat. Saya ikut terjun ke dalam revolusi bukan untuk mencari pangkat atau kekayaan, tapi semata-mata panggilan nurani untuk membela kemerdekaan RI,” kata Didi.

TAG

dirgahayu-tni

ARTIKEL TERKAIT

Pemburu dari Masa Lalu Gebrakan Pertama Si Opsir Tua Ketika Tentara Kita Berjaya Peringatan HUT TNI Pertama di Cilegon Ricuh di Rapat Koboy Ketika Tentara Tanpa Panglima Bapak Tentara yang Dilupakan Agar Negara Tak Lagi Zonder Tentara Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya