Masuk Daftar
My Getplus

Serangan Udara Amerika yang Tergesa-gesa

Sempat bertahan meski terus diserang, AS akhirnya lancarkan serangan balasan terhadap milisi yang didukung Syria di Lebanon meski dipersiapkan secara tergesa-gesa.

Oleh: M.F. Mukthi | 05 Des 2020
Pesawat A-6 Intruder dan A-7 Corsair dari Squadron VA-85 sedang dalam misi di Lebanon. (seaforces.org).

Kemarin, 4 Desember, 37 tahun silam, ada yang tak biasa di langit Bikfaya, 15 mil timur Beirut, Lebanon pada pagi. Dari rumahnya, Joe Cherabie melihat langit lebih terang dan berisik dari biasanya. Situasi mencekam.

“Langit penuh dengan asap bola api dan tembakan anti-pesawat. Saya bisa mendengar bom meledak di kejauhan,” ujarnya sebagaimana dimuat The New York Times, 5 Desember 1983. 

Apa yang dilihat Joe merupakan pertempuran udara antara pesawat-pesawat AL Amerika Serikat (AS) melawan senjata-senjata anti-pesawat yang ditembakkan milisi-milisi Muslim yang didukung militer Syria. Pertempuran dibuka oleh AS sebagai pembalasan atas serangan bom terhadap barak marinir AS di Bandara Internasional Beirut pada 23 Oktober 1983. 

Advertising
Advertising

Kebaradaan pasukan AS di wilayah itu –sejak Agustus 1982– sebagai bagian dari pasukan perdamaian PBB, United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL). Pasukan perdamaian itu dibentuk pada 19 Maret 1978 untuk memastikan penarikan mundur pasukan Israel dari Lebanon sehingga bisa memulihkan perdamaian. Lima hari sebelumnya, 14 Maret, militer Israel menginvasi Lebanon Selatan dengan alasan untuk memulihkan keamanan akibat seringnya dijadikan sasaran serangan oleh PLO. Sejak akhir 1960-an, militer Israel dan milisi PLO saling serang di Lebanon Selatan.

Baca juga: Israel Nyaris Tenggelamkan Kapal Angkatan Laut AS

Intensitas konflik meningkat setelah Israel memutuskan mendukung milisi Katolik Maronite dan milisi Kristen lain untuk merebut kekuasaan di Lebanon Selatan. Dengan dukungan itu Israel berharap dapat mengusir PLO dan mengeliminasi pengaruh Syria agar dapat mendudukkan Bachir Gemayel, pemimpin milisi Kristen, ke kursi penguasa Lebanon. Dengan begitu, Lebanon pro-Israel akan terbentuk.

Namun, PLO yang disokong Syria –sekutu Uni Soviet– di samping Hezbollah dan milisi Islam lain tak pernah menghentikan perlawanan. Perang saudara di Lebanon pun berjalan mengerikan dengan banyak korban sipil. Bahkan milisi Druze, Syiah, dan Amal sepakat bahwa Amerika harus pergi dari wilayah konflik.

Pasukan perdamaian PBB pun tak dapat berfungsi efektif. Banyak personil pasukan perdamaian malah jadi korban serangan baik dari kubu pasukan Israel maupun lawannya. Pada pagi 23 Oktober 1983, bom yang diangkut truk milisi Muslim Lebanon menghancurkan barak Marinir AS di Bandara Internasional Beirut.

“Bom tersebut, menghasilkan kawah sedalam delapan kaki di lantai beton bertulang, menewaskan 220 Marinir dan 21 personil medis AL dan puluhan personil lain yang ditugaskan sebagai pasukan pendarat,” tulis Robert W. Love dalam History of the US Navy: 1942-1991.

Baca juga: Kapal Perang Amerika USS Stark Dimangsa Rudal Irak

Serangan terhadap pasukan AS berhenti sampai situ saja. “Sepanjang November, posisi Marinir AS di Bandara Internasional Beirut menjadi sasaran serangan penembak jitu serta serangan mortir, artileri, dan roket,” tulis David Locke Hall dalam The Reagan Wars: A Constitutional Perspective on War Powers and The Presidency.

Meski begitu, militer AS tetap memilih bertahan. Berbeda dari militer Prancis yang sampai mengusulkan kepada AS untuk membentuk pasukan gabungan guna menyerang barak Baalbek, AS hanya memindahkan sebagian pasukannya ke kapal-kapalnya yang berlabuh di lepas pantai Beirut. Saat opsi serangan udara balasan sudah dikeluarkan Presiden Ronald Reagan pun, militer AS tetap berupaya menentangnya. Gabungan Kepala Staf maupun sejumlah jenderal lapangan, terutama panglima Marinir Jenderal Kelly yang khawatir pasukannya akan jadi sasaran lebih jauh, beranggapan bahwa serangan balasan hanya akan membuat pasukan AS di Lebanon dijadikan sasaran lebih jauh.

Opsi pembalasan Reagan dikeluarkan setelah sebuah pesawat F-14 AL AS yang melakukan pengintaian rutin di atas Lebanon hampir dimangsa tembakan anti-pesawat dan rudal SA-7 milik Syria. Meski sempat ditentang sejumlah jenderalnya, opsi itu akhirnya dilanjutkan. Skema serangan udara itu pun dibuat dengan tergesa-gesa.

Baca juga: Pesawat Mata-mata Amerika Ditembak Jatuh di Kuba

“Diberitahu sebelumnya bahwa perintah serangan mungkin akan turun setiap saat, komandan udara angkatan laut di tempat kejadian, Laksamana Muda Jerry Tuttle, di atas kapal induk USS Independence memulai perencanaan serangan menggunakan pesawat baik dari Independence maupun USS John F. Kennedy dengan target waktu maksimal pukul 11.00 waktu setempat keesokan paginya,” tulis Benjamin S. Lambeth dalam The Transformation of American Air Power.

Sempat diinterupsi oleh European Command AS –bermarkas di Stuttgart, Jerman Barat– agar misi serangan udara dimulai pada pukul 06.30 pagi, serangan udara AS akhirnya dijalankan berdasarkan skema yang dibuat Tuttle dan Deputy Chief of Naval Operation Laksamana Madya James Lyons namun dengan waktu yang dimajukan. Menjelang pukul 8.00 waktu setempat, 28 pesawat –terdiri dari A-6 Intruder  dan A-7 Corsair – dari kapal induk USS Independence dan USS Kennedy berangkat menuju sasaran. Target mereka adalah situs radar Syria di dekat Beirut dan dua titik tempat dikerahkanya hampir 30 peluncur rudal mobil Syria.

Baca juga: Sekolah Dasar di Mesir Hancur oleh Bombardir AU Israel

Sepanjang perjalanan menuju target, pesawat-pesawat mendapat beragam tembakan anti-pesawat dari darat. “Pesawat-pesawat AS melaporkan tembakan anti-pesawat dan peluncuran rudal SA-7 dan SA-9,” tulis David Locke. Tak satupun dari mereka yang tersentuh peluru lawan. Sebaliknya, pesawat-pesawat serbu AS itu berhasil mengebom situs pertahanan anti-serangan udara di Pegunungan Shuf dan Metu, timur-laut Beirut. Satu tempat penyimpanan amunisi, satu situs anti-pesawat, dan sebelas target lainnya juga berhasil dihancurkan. Yang terpenting, tulis Robert W. Love, “Serangan itu telah merusak situs radar dan melumpuhkan dua baterai rudal, tetapi Syria berhasil memperbaiki radar itu dan beroperasi dua hari kemudian.”

Namun, dalam perjalanan kembali ke kapal induk, pesawat-pesawat itu mendapat serangan lebih hebat. Saksi mata Zouk Mikhael mengatakan bahwa sepasang pesawat AL AS yang hendak kembali usai menyelesaikan misi di pegunungan timur Beirut terus memuntahkan bola api (flare) agar membingungkan rudal-rudal pencari panas yang ditembakkan Syria.

Perlawanan terhadap pesawat-pesawat AS juga disaksikan Joe Cherabie dari rumahnya di Bikfaya. “Saya bisa mendengar bom meledak di kejauhan. Mereka melakukan setidaknya dua kali melewati sasaran di belakang pegunungan. Ketika pesawat-pesawat itu kembali menuju laut, salah satunya terkena rudal, mulai berasap dan jatuh ke arah Beirut,” ujarnya sebagaimana dikutip The New York Times.

Baca juga: Sebelum Pearl Harbor, Pesawat AL Jepang Tenggelamkan Kapal AL AS.

Pesawat yang jatuh di dekat Pelabuhan Beirut itu merupakan pesawat A-7 Corsair yang dihantam rudal SA-7 saat hendak kembali ke USS Independence. Pilotnya, Commander Edward T. Andrews, berhasil menyelamatkan diri dengan kursi lontar dan kemudian diselamatkan seorang nelayan sebelum dijemput helikopter AL yang membawanya ke Independence.  

Pesawat AL kedua yang menjadi korban adalah A-6 Intruder kursi ganda yang berpangkalan di USS John F. Kennedy. Baik pilotnya, Letnan Mark Adam Lange, maupun navigatornya, Letnan Robert Goodman, berhasil keluar dari cockpit menggunakan kursi lontar saat pesawat mereka dihantam rudal. “Namun parasut Lange malfungsi dan dudukan kursi lontarnya mengamputasi kakinya ketika dia menyentuh tanah,” tulis Robert Love.

Akibatnya, Lange kehabisan darah dan meninggal di tengah kepungan milisi lawan. Sementara, Goodman ditawan milisi tersebut dan dijadikan bahan propaganda oleh Syria di Lebanon. Goodman dibebaskan sebulan kemudian setelah kandidat presiden dari Demokrat Jesse Jackson berkunjung ke Lebanon dan menegosiasikan pembebasannya.

TAG

palestina israel amerika serikat

ARTIKEL TERKAIT

Selintas Hubungan Iran dan Israel Tepung Seharga Nyawa Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Seputar Deklarasi Balfour Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina Piala Asia Tanpa Israel Mandela dan Palestina Pendukung Zionis yang Mengutuki Kebrutalan Israel Pendiri Pink Floyd Peduli Palestina