Meski tak diakui jasanya, Mayor Untung Sjamsuri termasuk pahlawan dalam Operasi Mandala Trikora pembebasan Irian Barat. Ia ikut terjun payung di Papua untuk melawan tentara Belanda.
Mayor Untung, disebut dalam buku Irian Barat dari Masa ke Masa Volume 1, memimpin penerjunan kelompok Gagak di Kaimana. Pasukannya terdiri dari pasukan para (penerjun) dari Batalyon Infanteri 454 Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang.
Ken Conboy dalam Kopassus Inside Indonesia's Special Forces menyebut Mayor Untung hanya memimpin satu kompi dari Batalyon 454. Setelah terjun di Kaimana, Untung dan pasukannya bertemu pasukan penerjun dari Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI di bawah Heru Sisnodo.
Penerjunan-penerjunan pasukan para itu dianggap sukses dalam penguasaan Papua. Meski Belanda angkat kaki dari sana karena perundingan New York, orang macam Untung dan Benny Moerdani tetap dianggap pahlawan. Sebab, di sebagian wilayah Papua terdapat pasukan Belanda yang diakui ketangguhannya.
Baca juga: Mayor Untung di Palagan Irian Barat
Seusai operasi militer berat itu, Untung dan Benny menerima penghargaan Bintang Sakti. Untung naik pangkat jadi letnan kolonel serta sempat menjadi komandan Batalyon 454 sebelum memimpin Batalyon Detasemen Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno.
Rupanya, ketika hubungan Indonesia dan Belanda terkait Papua sedang memanas, tak hanya pasukan tempur dalam jumlah besar yang dipersiapkan. Sebuah tim kesenian juga dibentuk dan dikirim ke Papua. Di bawah pimpinan Arif Suratno, bekas tentara pelajar, banyak seniman populer direkrut.
Salah satunya penyanyi Christoporus Soebiantoro alias Kris Biantoro (1938–2013). Selain Kris Biantoro, ada pula Said Kelana, ayah dari anggota band The Kids, juga penyanyi seriosa Norma Sanger (1934–1990). Kris Biantoro terlibat dalam operasi Trikora itu sekitar enam bulan.
Baca juga: Rekaman Sidang Letkol Untung di Mahmilub
“Kami pergi dari markas militer yang satu ke markas militer yang lain. Di satu tempat di Manokwari kami bertemu dengan Herlina,” kata Kris Biantoro dalam otobiografinya, Manisnya Ditolak.
Herlina yang dimaksud adalah Herlina Kasim Si Pending Emas, sukarelawati Trikora yang terkenal. Kala itu, Herlina terlihat pucat meski tetap bersemangat. Selain ke Manokwari, Kris Biantoro juga ke Kaimana.
“Di Kaimana, saya bertemu dengan Mayor Untung. Saya tinggal satu kamar dengan perwira militer yang nantinya bakal memberontak ini,” kata Kris Biantoro.
Kris Biantoro tidak banyak bercerita tentang Untung. Untung sendiri dikenal sebagai perwira pendiam. Dalam sebuah foto yang disimpan Kris Biantoro, Norma Sanger dan Benito Allan berdiri mengapit Mayor Untung.
Baca juga: Kesaksian Anggota Tjakrabirawa Menjemput AH Nasution
Baik Kris Biantoro maupun Untung sama-sama orang Jawa Tengah. Kris Biantoro lahir di Magelang pada 1938, sementara Untung lahir di Kedung Bajul, Kebumen tahun 1926. Nasib mereka berbeda. Kris Biantoro sekolah di SMA Kolase de Britto Yogyakarta yang terkenal dengan siswa-siswanya yang cerdas.
Sementara Untung hanya merasakan sekolah dagang saja setelah lulus SD. Keduanya juga tumbuh besar di zaman berbeda. Untung dibesarkan oleh pamannya yang buruh di Solo, tidaklah mengherankan jika ia kemudian tertarik dengan ide kiri.
Akhir hidup Letnan Kolonel Untung tentu sudah diketahui banyak orang. Ia memimpin pasukan dalam peristiwa G30S 1965 lalu diadili dan dihukum mati. Jasa Untung dalam menumpas PRRI di Sumatra Barat pada 1958–1959 dan merebut Irian Barat menjadi tidak ada artinya lagi.*