AWAL 1946. Divisi ke-23 British Indian Army sudah nyaris menguasai setiap sudut Bandung. Namun demikian, nyatanya kekacauan masih meliputi kota tersebut. Bentrok antara tentara Inggris dengan kaum nasionalis Indonesia alih-alih melemah malah semakin sporadis di mana. Bahkan sudah melibatkan rakyat sipil.
Sebagai respon terjadinya pembersihan-pembersihan yang dilakukan tentara Inggris, pada Februari 1946, para pejuang Bandung mengirimkan tembakan-tembakan mortir dari wilayah Bandung Selatan dan Lembang ke arah Bandung Utara.
“Karena dilakukan secara serampangan tanpa alat pembidik, kompas dan peta yang mumpuni, peluru-peluru mortir itu malah mengena sasaran-sasaran sipil dan rumah orang-orang Belanda di kawasan Jaarbeurs dan kamp interniran di Jalan Riau hingga menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit,” ungkap A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1: Kenangan Masa Muda.
Baca juga:
Serangan mortir itu menyebabkan kemarahan dari pihak Inggris. Beberapa hari setelah hujan mortir ke Bandung Utara, Divis ke-23 secara tetiba menghantam wilayah Bandung Selatan dengan tembakan-tembakan artileri-nya. Akibatnya sekira 50 orang pejuang dan penduduk di Komplek Perusahaan Telegrap dan Telepon (PTT) menjadi korban.
“Radio musuh mengumumkan bahwa tembakan-tembakan itu adalah untuk menghajar steling-steling mortir-mortir dari TRI,” tulis Nasution.
Ada suatu kejadian lucu kala terjadi serangan balasan dari pihak Inggris tersebut. Di Markas Divisi III Komendemen TRI Jawa Barat, Letnan Kolonel Sudjono (Kepala Staf Divisi III) tengah di kamar kecil saat peluru-peluru artileri Inggris itu berterbangan. Entah panik atau bagaimana, tetiba dari dalam kamar kecil dia langsung menghambur ke arah pesawat telepon guna meminta laporan dari batalyon dan resimen.
Tanpa disadarinya, ternyata Sudjono melum mengenakan celana saat keluar dari kamar kecil. Padahal di situ, yang hadir bukan hanya para staf divisi dari kalangan laki-laki tapi juga ada staf dari kalangan perempuan. Otomatis kejadian itu kemudian menjadi lelucon segar di kalangan orang-orang Divisi III.
Insiden penembakan mortir itu kemudian dilaporkan oleh Divisi ke-23 ke Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta. Sebagai tindak lanjut, mereka menekan Pemerintah RI untuk memerintahkan TRI “mengosongkan Bandung Selatan sejauh garis 10-11 km radius.”
Perdana Menteri Sutan Sjahrir lantas memanggil Panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita ke Jakarta. Didi diperintahkan untuk mengkondisikan kesatuan-kesatuan TRI agar segera mundur dari Bandung Selatan. Usai mendapat perintah, dengan pesawat Inggris, Jenderal Mayor Didi dan Mayor Achmad Sukarmawidjaja bertolak kembali ke Bandung.
Didi ingat begitu tiba di Lapangan Andir,mereka dijemput oleh seorang ajudan dari Jenderal Mayor D.C. Hawthorn (Komandan Pasukan Sekutu di Jawa) bernama Letnan Kolonel van der Post. Seperti sengaja, sebelum bertemu Hawthorn, van der Post mengajak Didi dan Achmad berkeliling kota Bandung, sekadar untuk melihat akibat serangan-serangan mortir TRI tempo hari.
“Nah, Jenderal, coba pasukan anda disuruh untuk mundur dari Bandung,”ujar Post di tengah acara berkeliling-keliling dengan mobil Sekutu itu.
Baca juga:
Kisah di Balik Bandung Lautan Api
Didi merasa tidak mungkin dengan permintaan Post tersebut. Dia membayangkan bagaimana akan kehilangan mukanya para prajurit TRI jika harus mengikuti permintaan Inggris secara bulat-bulat.
“Tidak bisa. Saya tidak bisa menyuruh mereka mundur dari Kota Bandung,” jawab Didi seperti diungkapkan dalam otobiografinya, Didi Kartasasmita, Pengabdian Bagi Kemerdekaan (disusun oleh Tatang Sumarsono).
Ketika jawaban itu diadukan oleh Post kepada Hawthorn, bukan main marahnya jenderal terkemuka Inggris tersebut. Bukan saja dia hanya menyediakan waktu sekira 2 menit untuk menemui Didi, namun juga menolak untuk bersalaman dengan Panglima Komandemen TRI Jawa Barat itu.
“Dari beberapa arsip yang kemudian saya baca, Hawthorn malah memerintahkan anak buahnya menangkap saya setelah itu,” ungkap Didi.
Sjahrir sendiri dikabarkan kecewa berat dengan penolakan yang dilakukan oleh Didi. Rupanya dengan mengindahkan permintaan Inggris, dia berharap ada kemenangan politik yang berhasil diraihnya. Namun Didi tidak sepakat dengan pandangan itu. Menurutnya, kemenangan politik itu tidak sepadan dengan pengorbanan militer yang harus dialami TRI.
“Kalau kita mundur begitu saja, pasti kita dicemooh dunia,” ujar Didi.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, ada kompromi di antara Pemerintah RI dengan pimpinan TRI di Bandung. Kendati pada akhirnya, TRI menuruti untuk mundur dari Bandung Selatan, namun mereka melakukannya dengan diiringi aksi bumi hangus yang hampir meluluhlantakan sebagian besar kota tersebut.
Baca juga: