GAIL S. Halvorsen menerima surat dari seorang gadis kecil berusia tujuh tahun. Namanya Mercedes Simon dan dia punya masalah.
"Kami tinggal dekat bandara Tempelhof dan ayam-ayam kami berpikir pesawat-pesawat Anda adalah elang pemangsa ayam dan mereka jadi ketakutan ketika Anda terbang di atas kami. Mereka berlari ke tempat perlindungan dan beberapa di antaranya rontok bulunya sehingga tak bisa lagi bertelur," demikian isi surat Simon yang dikutip dalam memoar Gail S. Halvorsen, The Berlin Candy Bomber.
“Jika Anda punya ayam-ayam putih, turunkan juga, semuanya akan baik-baik saja.”
Halvorsen seorang kolonel, perwira karier dan pilot-komando di Angkatan Udara AS. Dia menjadi pilot C-47 dan C-54 selama Berlin Airlift 1948-1949.
Halvorsen ingin membantu meningkatkan moral anak-anak selama masa ketidakpastian dan penderitaan. Selama operasi, dia berinisiatif membagikan dan menurunkan permen yang dilekatkan pada parasut untuk anak-anak. Dia merebut hati orang Berlin, anak-anak maupun dewasa, termasuk Mercedes Simon. Dia pun dikenal sebagai “Berlin Candy Bomber”.
Inisiatifnya menarik perhatian komandan operasi, Letjen William H. Tunner, yang akhirnya memperluas Operasi Vittles Kecil. Pada akhir operasi, dari sekira 25 pesawat sudah dijatuhkan 23 ton cokelat, permen karet, dan permen lainnya di berbagai tempat di Berlin.
Tapi ini hanyalah bagian kecil dari operasi yang lebih besar.
Awalnya, seusai kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II, negara-negara pemenang perang membagi penguasaan dan pengurusan Berlin menjadi empat: Uni Soviet di timur, Amerika Serikat di barat daya dan selatan, Inggris di barat laut, dan Prancis di barat daya.
Zona Soviet merupakan wilayah terluas dan tersubur yang menghasilkan banyak persediaan makanan. Selain itu, zona Soviet memiliki generator-generator pembangkit listrik terbesar. Sementara zona yang dikuasai negara-negara Sekutu bergantung pada impor makanan. Perbedaan ideologi menjadi konflik paling potensial di kota itu.
Pada Juni 1948, Soviet memblokade seluruh akses darat menuju zona-zona yang dikuasai tiga negara Sekutu, juga membatasi pasokan listrik. Soviet berharap Berlin barat akan kelaparan dan kedinginan. Kondisi seperti itu diharapkan Soviet agar kontrol atas seluruh kota jatuh kepadanya.
Negara-negara Sekutu langsung meresponnya. Jenderal Lucius Dubignon Clay, gubernur militer AS di zona pendudukan di Jerman, langsung menggelar operasi penyuplaian bahan bakar dan bahan makanan yang dinamakan Berlin Airlift, atau dikenal juga sebagai Operasi Vittles (Amerika slang: makanan).
“Dalam empat hari, sebuah C-47 mendarat di Tempelhof tiap delapan menit untuk membongkar muatan 2,5 ton kargo –lebih dari 150 muatan pesawat per hari. Suplai-suplai itu dengan segera diangkut truk menuju gudang-gudang yang terletak di sepanjang sektor barat kota,” tulis C.V. Glines, “Berlin Airlift: Operation Vittles”, yang dimuat www.historynet.com. Kargo-kargo itu berisi bahan pangan, bahan bakar, dan obat-obatan.
Pada pertengahan Juli, pesawat-pesawat AS mengangkut kargo 1.500 ton per hari, sementara Inggris menerbangkan 500 ton per hari. Jumlah ini jelas belum memadai. Menurut perhitungan staf logistik, Berlin memerlukan sekira 4.000 ton suplai per hari. Untuk memperbesar pasokan, mereka mulai menggunakan pesawat angkut yang lebih besar, C-54, yang kemudian menggantikan C-47. Pasokan harian mencapai 5.000 ton per hari. Pada Agustus, Sekutu memasok hampir 121.000 ton.
Sebulan kemudian, sadar kedua bandara udara tak cukup untuk memenuhi permintaan yang meningkat, Clay memerintahkan pembangunan lapangan udara baru. Tapi tantangan baru muncul: musim dingin, yang membuat pesawat terbalut es.
Operasi Vittles juga bukan tanpa hambatan. Soviet ingin menggagalkannya lewat gangguan dan intimidasi Tentara Merah: membunyikan suara berdengung, terbang sangat dekat dengan pesawat Sekutu, menyorotkan lampu ke kokpit pesawat, hingga menembak.
Melihat operasi ini bisa saja berjalan tanpa akhir, Sekutu pun menunjuk Letjen William Tunner untuk memimpin Combined Airlift Task Force. Turner veteran PD II yang terkenal karena pengalamannya memimpin operasi transport udara dari India ke China dengan melintasi punggung Himalaya.
Jenderal Tunner mengalami perjalanan pertama ke Berlin yang buruk. Saat itu, 13 Agustus 1948, rombongan pesawatnya terjebak awan gelap; masing-masing berjarak tiga menit dan terbang dengan kecepatan 180 mil per jam. Dia masih operasi akan berjalan lancar. Tapi ketika mereka tiba di Berlin, hujan badai menghalangi pandangan. Hujan juga menganggu layar radar, dan situasi menjadi serius ketika dua pesawat C-54 mengalami kecelakaan. Peristiwa itu dikenal sebagai “Black Friday”.
Pengendali lalu lintas udara menumpuk pesawat-pesawat C-54 pada ketinggian yang berbeda. “Dan di sinilah aku, terbang berputar-putar di atas kepala mereka," kata Tunner dalam memoarnya seperti dikutip C.V. Glines. "Ini sangat memalukan. Komandan Berlin Airlift bahkan tak bisa masuk ke Berlin."
Dia akhirnya bisa mendarat. “Saya percaya keberhasilan Berlin Airlift berasal dari hari itu," kenang Tunner. "Ini hari buku instrumen penerbangan ditulis ulang."
Dia memerintahkan bahwa semua penerbangan, terlepas dari cuaca apapun, akan mengikuti instrumen aturan penerbangan instrumen, dan pilot yang melanggarnya dengan alasan apapun akan dipulangkan. Dampaknya, pasokan ke Berlin meningkat, tak peduli cuaca baik atau buruk.
Tunner juga melibatkan personel-personel berpengalaman, yang pernah ikut misi angkut udara dengannya. Dia merekrut warga sipil Jerman. Dia memperhatikan waktu yang dihabiskan selama operasi penerbangan dan metode perawatan pesawat. Tak kalah penting, dia membangun beragam fasilitas, termasuk bandara, dan peralatan modern seperti radar darat guna mendukung Operasi Vittles.
Sadar bahwa Sekutu bertekad untuk tinggal di Berlin, lewat negosiasi, Soviet akhirnya mencabut blokade pada 12 Mei 1949. Tapi Sekutu terus menjalankan operasi untuk memastikan pasokan aman. Hingga berakhir pada 30 September 1949, Sekutu telah menerbangkan kargo sebanyak 2.325.809 ton ke Berlin.
Warga Berlin pun bisa tersenyum kembali, juga Halvorsen. Baginya, yang membuat operasi ini berhasil adalah harapan. “Tanpa harapan, jiwa mati,” ujar Halvorsen.