HARI ini, 15 Juli, di tahun 1966. Bombardir udara dan tembakan meriam pasukan Marinir Amerika Serikat (AS) ke sejumlah tempat dekat garis demarkasi (de-military zone/DMZ) Vietnam membuka Operasi Hastings. Operasi tersebut dilancarkan untuk memukul mundur Tentara Nasional Vietnam (TNV) dan merebut kembali wilayah-wilayah di selatan garis demarkasi yang dikuasai TNV.
Operasi untuk Merebut Kembali
Operasi Hastings dipicu oleh meningkatnya pergerakan TNV ke selatan melewati garis demarkasi. “Pada Juni, patroli dari Grup Pengintai Bravo hampir dalam setiap misinya menemukan musuh dalam banyak kelompok berukuran besar,” tulis Michael Lee Lanning dan Ray Stubbe dalam Inside Force Recon: Recon Marines in Vietnam. Namun, laporan intelijen itu awalnya tak mendapat perhatian dari komando lebih tinggi.
Mata para panglima lapangan Marinir AS baru terbelalak ketika pasukan Tentara Nasional Republik Vietnam (Vietnam Selatan) berhasil menawan dua personil TNV pada 6 Juli dan seorang personil TNV lain menyerah tiga hari berikutnya. Keduanya menginformasikan bahwa pasukan Divisi 324 B TNV dan divisi-divisi lain sedang bergerak ke selatan untuk membebaskan Provinsi Quang Tri.
Komandan Divisi Marinir Ke-3 Mayjen Wood B. Kyle, yang mendapat izin dari komandan Marinir AS di Vietnam Letjen Lewis Walt, langsung mengumpulkan Brigjen Lowell English (Asisten Komandan Divisi Marinir ke-3), Kol. Sherman (komandan Marinir ke-4 Divisi I), dan para petinggi lain pada 11 Juli. Rapat itu memutuskan digelarnya Operasi Hastings, dimulai pada 15 Juli pukul 08.00 pagi, sebagai jawaban untuk agresi TNV.
Sebagai pelaksana operasi, Jenderal Kyle mengaktifkan kembali Task Force Delta (TFD) dan menetapkan pasukan Kol. Sherman sebagai intinya. Selain menunjuk Sherman sebaga kepala stafnya, Kyle menunjuk English sebagai komandan TFD.
“Jenderal English menyusun rencana aksinya…untuk mengalahkan musuh dengan kejutan di jalur kunci dan di belakang garis mereka sendiri dan untuk memukul serta menghancurkan mereka sebelum mendapatkan kembali keseimbangan dan momentum,” ujar Jimmy C. Cameron, komandan pasukan penyerang Kompi G Batalion ke-2 Divisi ke-4 Marinir ke-3 AS di Perang Vietnam, dalam memoarnya The Water Boy: The Life and Trials of Jimmy C. Cameron.
Operasi Paling Berdarah
Sekira 20 menit lewat dari pukul 07 tanggal 15, pesawat-pesawat jet tempur A-4 Skyhawk dari MAG-12 dan F-4B Phantom dari MAG-11 Marinir AS membombardir Landing Zone Crow (LZC) dan Landing Zone Dove (LZD) di Thon Khe Tri. Bombardir udara itu menjadi pendahuluan Operasi Hastings. Lima menit kemudian, lima meriam batalion ke-3 Marinir ke-12 di bawah Mayor Samuel Morrow memuntahkan peluru-peluru mereka.
Bombardir itu langsung diikuti mengudaranya 20 helikopter CH-46 Sea Knight yang membawa pasukan Resimen ke-3 Divisi ke-4. “Pada 15 Juli, kami mengawal beberapa penerbangan (helikopter CH-, red.) 46 untuk penempatan pasukan dalam jumlah besar di lembah sebelah barat Dong Ha dan timur laut Rockpile (Thon Khe Tri),” kenang Kapten Bud Willis dari Marine Observation Squadron 2 dalam memoar berjudul Marble Mountain: A Vietnam Memoir.
Mendarat di LZ Crow pukul 07.45, pasukan Kompi K dan L segera membentuk posisi perlindungan LZ Crow. Tak lama kemudian mereka sudah terlibat dalam kontak senjata. Kompi K, yang bergerak 1,8 kilometer ke selatan LZ, bahkan diserang ketika menyeberangi Sungai Ngan. Setelah kehilangan tiga personilnya dan lima personil lainnya luka, Kompi K mundur ke sebuah bukit 180 meter dari sungai dan bermalam di sana. Sementara, pada pukul 07.30 malam batalion Letkol Vale dikepung oleh TNV. Beruntung, bombardir artileri dan udara datang 30 menit kemudian sehingga pasukan TNV mundur.
Pertempuran makin sengit pada hari kedua dan hari-hari berikutnya. “Aku terluka di Vietnam pada 16 Juli 1966 ketika berpartisipasi dalam Operasi Hastings,” kenang Jimmy dalam memoarnya. Kala itu, Jimmy dengan 11 prajuritnya disergap pasukan TNV sekira pukul 10.30 pagi atau dua jam setelah mereka menewaskan dua prajurit TNV dalam sebuah kontak senjata. Selain dua anak buahnya tewas dan tujuh lainnya terluka, Jimmy mesti mati-matian bertahan. Salah seorang prajuritnya, John Carey, tewas saat dia coba selamatkan. Hal lebih tragis menimpa Prajurit Norman Dawson. Dia tewas dalam pelukan Jimmy ketika keduanya mencoba mundur.
“Kami berdua menderita luka tembak. Akibatnya, paru-paru kananku mengalami kebocoran setelah dua kali ditembak dari belakang, dua dari lima luka tembak pertama yang kuderita hari itu,” lanjut Jimmy. “Aku terakhir ingat pura-pura mati di atas tumpukan mayat personil lain.”
Pertempuran terberat terjadi di Lembah Song Ngan, enam mil barat laut Cam Lo dan sekitar satu hingga tiga mil di selatan DMZ. Di sinilah Sersan McGinty, komandan salahsatu peleton di Kompi K yang dipimpin Kapten Robert Modrzejewski, merasakan pertempuran tersengit seperti dialami Kompi G Jimmy Cameron.
Sebagai kompi yang ditunjuk menjadi garda belakang, Kompi K bertugas sendiri menjaga keamanan para teknisi Marinir yang bertugas menghancurkan bangkai-bangkai helikopter AS yang jatuh dan berbagai senjata lain agar tak jatuh ke tangan musuh. Pada 18 Juli, dua hari setelah pasukan marinir dipukul mundur dari tempat itu, Kompi K diserbu.
“Semua neraka dimulai ketika NVA mengejar kami. Pertempuran terjadi amat intens. Musuh menyerang dalam gelombang manusia,” kenang Richard D. Preston dalam memoarnya, The Nam: A Marine’s Memoir of Vietnam.
Pasukan McGinty mati-matian menahan gelombang pertama serbuan TNV. Para prajurit yang terluka ringan dia paksa terus bertempur. Di bawah hujan peluru dan mortir, McGinty terpaksa memberi bantuan ke regu lain yang menderita 20 prajurit luka dan komandannya tewas. Meski dia sendiri mengalami luka-luka, McGinty berhasil menewaskan lima prajurit TNV menggunakan pistolnya.
McGinty akhirnya meminta dukungan bombardir udara ketika terpojok di hari ke-10 pertempuran. Pasukan TNV pun mundur. Malamnya, helikopter datang untuk mengevakuasi McGinty dan pasukannya yang tinggal sembilan prajurit berbadan sehat.
“Jika bukan karena keberanaian Kompi Kilo di bawah kepemimpinan Kapten Modrzejewski dan Sersan McGinty, yang merupakan orang terakhir yang dievakuasi, NVA mungkin telah mendapatkan kendali atas posisi mereka,” ujar Preston.
Sengitnya pertempuran terjadi karena pasukan AS salah menduga bahwa mereka bakal menghadapi Vietkong, yang mayoritas milisi. Padahal, kata Preston, “Selama Operasi Hastings kami bukan melawan Vietkong tapi melawan pasukan sangat terlatih dari resimen NVA yang bersenjata lengkap.” Alhasil, pertempuran berjalan imbang. Meski memakan ratusan jiwa prajuritnya, Operasi Hastings yang resmi dihentikan pada 3 Agustus berhasil memukul mundur TNV.