DINI hari 25 Desember 75 tahun silam. Cuaca membekukan dan kegelapan akibat padamnya listrik tak menghentikan sejumlah warga kota kecil Bastogne, Belgia untuk berkumpul di ruang bawah tanah di sekolah-asrama Notre-Dame. Dalam suasana mengerikan akibat hujan tembakan dan bom, mereka bersama para siswa dan tentara AS yang terluka maupun sehat menyanyikan kidung-kidung Natal di bawah pimpinan seorang pastor.
“Kedamaian Christmas Eve hancur dalam pertempuran mengerikan dari baja (tank), tembakan, dan darah,” tulis Leo Barron dan Don Cygan dalam No Silent Night: The Chirstmas Battle for Bastogne.
Mereka terpaksa merayakan Chirstmas Eve lebih lambat dari biasanya lantaran perang sedang berkecamuk hebat. “Tidak akan ada gencatan senjata Natal di Bastogne,” tulis Michael Collins dan Martin King dalam The Tigers of Bastogne: Voices of the 10th Armored Division in the Battle of the Bulge.
Warga terpaksa bertahan di dalam kota karena tak ada akses ke luar. Seluruh perbatasan kota menjadi medan pertempuran karena para serdadu AS membentuk perimeter di sepanjang perbatasan guna mempertahankan kota kecil itu dari upaya perebutan oleh pasukan Jerman.
Bastogne menjadi tempat berkecamuknya pertempuran terhebat dalam The Battle of Bulge. Pertempuran itu meletus setelah Hitler menggelar Operasi Wacht am Rhein (Watch on the Rhine), operasi konter-ofensif kilat terakhirnya di front barat guna merebut Antwerp. Dengan menguasai kota pelabuhan itu Hitler berharap dapat memecah pasukan AS (Sekutu), yang terus maju setelah sukses mendarat di Normandia (Juni 1944), dan kemudian menghancurkannya guna dijadikan posisi tawar untuk berunding.
Baca juga: Neraka Hitler
Di depan para jenderalnya, Hitler menjelaskan skema besar operasinya. Operasi itu merupakan pertaruhan terakhir mereka. Nasib Jerman ditentukan oleh keberhasilannya.
“Tuan-tuan, jika kami berhasil, kemenangan adalah milikmu, para jenderal. Namun, jika kita gagal, saya akan bertanggung jawab. Butuh waktu terlalu lama untuk mengganti kerugian ini jika kita gagal. Tidak ada kesempatan kedua. Jika kita gagal, itu akan mengerikan bagi Jerman,” kata Hitler, dikutip Barron dan Cygan.
Tanggal 16 Desember diset sebagai Hari-H. Bastogne ditetapkan sebagai sasaran awal, pijakan untuk mencapai tujuan akhir. “Bastogne secara umum dianggap sebagai pusat komunikasi vital yang memberi akses ke banyak jalan utama dan jalan kecil lain yang bertemu di kota itu. Selama itu dipegang oleh Amerika, hal itu menjadi penghalang besar bagi kemajuan ofensif Jerman. Hitler dan para komandannya tahu bahwa kendali atas kota persimpangan itu akan terbukti vital untuk menjaga perjalanan menuju Antwerp tetap utuh,” sambung Barron dan Cygan.
Sementara Jerman melakukan maraton pemindahan pasukan dan persenjataan skala besar ke dekat perbatasan Luksemburg-Belgia yang berhimpitan dengan bagian barat Jerman, para prajurit dari empat divisi di Korps VIII AS pimpinan Mayjen Troy Middleton, yang menguasai Bastogne, hanya menunggu perintah lebih lanjut untuk bergerak. Tak ada penambahan apapun di kota itu karena upaya untuk memperkuat garis pertahanan Sekutu dari Aachen sampai Luksemburg yang berulangkali diminta Middleton selalu ditolak.
“Komando tinggi ETO (European Theatre of Operations) agaknya salah menyimpulkan bahwa wilayah Ardennes tidak memiliki tujuan strategis serius sehingga tidak perlu menempatan banyak divisi di daerah ini. Akibatnya, hanya ada empat divisi yang ditempatkan di sana. Situasi itu diperburuk oleh kurangnya pakaian musim dingin karena quartermaster (perwira yang bertanggung jawab dalam urusan tempat tinggal, ransum, pakaian, dan suplai logistik lain) ETO telah memutuskan untuk tidak mengeluarkan itu dengan alasan mereka tidak mengira kampanye akan berlangsung hingga Desember 1944,” tulis Barron dan Cygan.
Pada 15 Desember malam, pasukan Jerman tinggal menunggu perintah serang di pos masing-masing di tepi timur Sungai Our. Begitu perintah serang dikeluarkan pukul 05.30 pagi 16 Desember dan kanon-kanon memuntahkan peluru sebagai pembuka serangan, para prajurit infantri Jerman langsung bergerak maju. Banyak prajurit Jerman heran karena mereka tak mendapatkan perlawanan berarti dari serangan pagi itu.
Mayoritas penduduk Bastogne merasakan hari berjalan seperti sebelumnya. Rutinitas tetap mereka lakukan seperti biasa. Xavier Gaspard, seorang apoteker, tetap membuka apoteknya. Namun tak seperti kebanyakan warga yang tak menyadari hal ganjil terjadi, dia kemudian insyaf akan adanya hal tak biasa. “Ia dengan gugup memperhatikan penumpukan pasukan Amerika di kota. Para petani dari desa-desa terpencil gugup membisikkan obrolan ketika mereka mengunjungi tokonya, menyebutkan percakapan dengan kerabat Belgia yang lebih jauh ke timur. Kerabat-kerabat itu telah melaporkan suara gerakan kendaraan yang mengganggu dari seberang perbatasan dengan Jerman,” tulis Barron dan Cygan.
Baca juga: Relawan Penyelamat Peradaban
Kebingungan itu pula yang menghinggapi Mayjen Middleton. Hingga larut malam, dia terus mengumpulkan informasi dan mendiskusikan solusi terbaik yang mesti diambil dengan para komandan bawahannya. Sekira pukul 19.00 waktu setempat, Middleton pun memberi perintah agar semua pasukan bertahan menyelamatkan kota. Tidak ada izin untuk mundur kecuali keadaan mendesak.
Kendati sempat kewalahan di awal, pasukan Divisi Infantri ke-28 AS gigih memberi perlawanan. Akibatnya, kata komandan Divisi Panzer Lehr Jenderal Fritz Bayerlein, Jerman gagal merebut Bastogne dalam sekali pukul. Perlawanan hingga 36 jam yang dilakukan pasukan Divisi Infantri ke-28 membuat jadwal yang telah ditentukan Jerman mulai berantakan.
Mendapat informasi serangan masif Jerman, panglima ETO Jenderal Eisenhower langsung mengambil keputusan cepat. Divisi Lapis Baja ke-7, Divisi Lapis Baja ke-10 “Tiger”, Divisi ke-82 “All Americans”, dan Divisi Linud ke-101 “Screaming Eagle” pimpinan Brigjen Anthony McAuliffe langsung dia pindahkan ke Ardennes guna memberi bantuan pada Korps VIII yang terdesak di Bastogne.
Pertempuran sengit pun dimulai. Suara gemuruh pertempuran makin keras didengar warga. Tanggal 17, pasukan Jerman memutus listrik kota. Pasukan AS terpaksa memberlakukan jam malam di kota tersebut hari itu juga. Kendati keesokan harinya ada sebuah sekolah masih belum meliburkan muridnya, kondisi kota sudah berubah drastis. Pengungsi dari Luksemburg sudah memenuhi kota. Artileri Jerman untuk kali pertama menghantam Bastogne, tepat di Kapel St. Therese. Bisnis mandek. Tiga tempat penampungan dibuka mulai tanggal 19. Institute of the Sisters of Notre Dame, salah satu dari tiga tempat penampungan itu, menjadi tempat tinggal hampir 600 pengungsi.
Perlawanan gigih pasukan Divisi Lapis Baja ke-10 “Tiger” dan Linud ke-101 “Screaming Eagle” tetap belum bisa menghentikan gerak maju Jerman. Pada 22 Desember, Komandan Korps Panzer XLVII Jenderal Heinrich F von Luttwitz mengirim tiga bawahannya untuk menyampaikan suratnya kepada komandan “Screaming Eagle” Brigjen McAuliffe. Luttwitz meminta McAuliffe menyerah dan memberi tenggat waktu dua jam untuk mengambil keputusan. Alih-alih meneruti kemauan sang lawan, McAuliffe membalas surat itu dengan sebuah surat yang berbunyi: “NUTS!”
Kendati sempat bingung arti kata yang ditulis McAuliffe, Luttwitz akhirnya tahu maksud McAuliffe adalah memilih terus melawan. Pertempuran pun semakin sengit. Luftwaffe (AU Jerman) terus membombardir Bastogne tiap malam. Bombardir artileri juga terus-menerus memangsa bangunan-bangunan di Bastogne berikut isi dan orang-orang di dalamnya. Sejumlah warga terbunuh oleh pertempuran sengit itu.
Penguasa militer AS terpaksa meminta bantuan Leon Jacqmin, warga setempat yang veteran Perang Dunia I, untuk menangani urusan logistik dan penampungan warga. Leon mendirikan pos medis dan distribusi makanan dengan bantuan dua dokter lokal dan warga setempat. Upaya simpati juga datang dari para gadis perawat setempat, seperti Renee Lemaire. “Dia merawat siapapun yang terluka,” kata Letnan MacKenzei. Sayang, bombardir udara Luftwaffe merenggut nyawanya. “Lemaire menjadi legenda bagi orang Amerika yang terluka. Dia memberi setiap kebutuhan mereka, menggunakan kemampuan medis dasarnya, dan belas kasihnya.”
Baca juga: Jalan Sunyi Melawan Nazi
Seiring waktu, semakin banyak serdadu AS tewas atau terluka. “Pada Sabtu, 23 Desember, para prajurit yang keras kepala Amerika pembela Bastogne mencapai saat paling menyedihkan. Pagi itu, banyak dari pasukan terjun payung dari Divisi 101 yang kesusahan –awak tank dan tank perusak dari unit lapis baja dan pasukan artileri yang menodongkan senjata mereka di lubang senjata beku– semakin kelelahan. Mereka kedinginan, lapar, dan kehabisan segalanya,” tulis Barron dan Cygan.
Beruntung, di puncak kesulitan para prajurit AS itu, dropping logistik udara dari selatan mulai tiba pada siang hari yang sama. Masalah logistik untuk cuaca dingin pun berangsung dapat diatasi. Moril pasukan kembali meningkat. Ketika bombardir “hadiah Natal” dilancarkan Luftwaffe pada 25 Desember, para prajurit AS terus memberi perlawanan. Warga kota ikut membantu. Bersama para prajurit AS, mereka merayakan Natal bersama di ruang bawah tanah dalam suasana mencekam.
Perlawanan bertambah besar ketika bala bantuan dari Tentara ke-3 pimpinan Jenderal George S. Paton tiba pada keesokan harinya. Jerman pun akhirnya dipukul mundur tak lama kemudian. Meski tak ada ketenangan bahkan hingga sesudah Natal, perlawanan para prajurit AS membuat warga Bastogne bisa merayakan Natal dengan aman tahun-tahun berikutnya.
“Pertempuran yang dihasilkan dari perintah Hitler akan menjadi peristiwa klimaks dari hikayat Bastogne: serangan cepat, serangan putus asa oleh kekuatan lapis baja Jerman yang luar biasa, dipertahankan dalam perjuangan berdarah oleh para GI compang-camping tapi bertekad yang terjebak di Bastogne. Yang mana pun menunjuk ke pertikaian klimaks –sebuah pertumpahan darah putus asa di ladang bersalju Bastogne.”