KETUA partai oposisi, Asosiasi Restorasi Jepang, Toru Hashimoto melontarkan pernyataan kontroversial mengenai perempuan penghibur (ianfu) pada 14 Mei 2013. Menurut Walikota Osaka tersebut, perekrutan perempuan penghibur pada masa perang diperlukan untuk menjaga kedisiplinan tentara Jepang.
“Dia juga mengatakan bahwa tentara dan prostitusi merupakan satu paket yang berjalan berdampingan,” demikian dilansir China Radio Internasional Online, indonesian.cri.cn, 15 Mei 2013. “Dia menambahkan bahwa Jepang harus mengoreksi kesalahannya apabila Jepang terbukti pernah menculik dan memaksa perempuan penghibur.”
Namun, dalam rapat kabinet, pemerintah Jepang membantah dan memastikan bahwa tiada bukti terkait perekrutan ianfu. Meski pemerintah Jepang berkali-kali menekankan akan mengintrospeksi kesalahannya di masa lalu, sejumlah politisi sayap kanan kerap melontarkan pernyataan yang membenarkan agresi yang memicu protes dari negara-negara bekas jajahan Jepang.
Baca juga: Ianfu: Perempuan dalam Cengkeraman Jepang
Kisah ianfu ini bermula pada 1931 ketika tentara Jepang menyerbu daratan China dan menduduki Shanghai dan Nanjing. Bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan. Mereka menjarah rumah penduduk, membunuh rakyat sipil, dan memperkosa perempuan. Dalam buku yang menghebohkan pada 1997, The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II, Iris Chang mengisahkan secara rinci pemerkosaan perempuan-perempuan China tersebut.
Dampak buruknya, banyak tentara Jepang terserang penyakit kelamin. Kabar itu sampai ke Tokyo. Markas Besar Militer Jepang lalu mengutus Dr Aso Tetsuo untuk melakukan penyelidikan. Tetsuo merekomendasikan agar menyediakan rumah bordil (ianjo) yang berisi perempuan-perempuan “bersih”. Alasannya, selain mencegah penyebaran penyakit kelamin, moral, efektivitas dan disiplin tentara Jepang akan meningkat. Perempuan-perempuan “bersih” itulah yang kini dinamakan ianfu.
Baca juga: Petisi Mantan Ianfu Timor Leste untuk Jepang
Namun, menurut sejarawan Universitas Chuo, Jepang, Yoshiaki Yoshimi, adanya fasilitas ianjo bukan solusi untuk masalah itu. Ia memperburuk masalah. “Tentara Kekaisaran Jepang sangat takut bahwa ketidakpuasan yang bergejolak di antara para tentara bisa meledak menjadi kerusuhan dan pemberontakan. Itulah mengapa disediakan perempuan.”
Awalnya ianfu adalah pelacur Jepang yang melayani sukarela. Namun, karena Jepang terus berekspansi terjadi kekurangan relawan, sehingga mereka berpaling ke penduduk lokal. Mereka merekrut ianfu dengan membuka iklan lowongan sampai penculikan.
Pada 1991, untuk kali pertama mantan ianfu buka suara. Dialah Kim Hak-Soon, perempuan asal Korea Selatan. Mendengar kisah Kim di televisi, sejarawan Universitas Chuo, Jepang, Yoshiaki Yoshimi meneliti arsip Departemen Pertahanan Jepang di Tokyo dan menemukan dokumen yang menunjukkan peran militer dalam pembangunan dan pengelolaan ianjo.
Baca juga: Romusha Indonesia di Seberang Lautan
Publikasi dokumen tersebut menyebabkan pernyataan pengakuan dari Sekretaris Kabinet Koichi Kato pada 12 Januari 1993 dan Yohei Kono pada 4 Agustus 1993. Pemerintah Jepang juga melakukan penyelidikan soal ianfu. Namun, penolakan datang dari politisi Partai Liberal Demokratik (LDP) Shinzo Abe, yang kemudian menjadi perdana menteri. Dia mengatakan tak ada bukti yang menunjukkan peran militer dalam memeksa perempuan menjadi budak seks.
Rekan Yoshimi, Hirofumi Hayashi, sejarawan dari Kanto Gakuin University, mengumumkan penemuan dokumen Arsip Pengadilan Tokyo yang menunjukkan praktik pemaksaan perempuan Indonesia, Indochina, dan China ke dalam perbudakan seksual. Menurut Yoshimi, sudah lama pemerintah Jepang mengetahui dokumen ini tapi mengabaikannya.*