"SERANGAN kita sudah saya tetapkan tanggal 1 Maret subuh," kata Marcell Siahaan yang memerankan Letkol Soeharto dalam film komedi sejarah Laskar Pemimpi. Kata-kata itu mirip pernyataan Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digambarkan dalam sejarah versi Orde Baru menyanjung Soeharto dan melupakan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai konseptor dan Kolonel Bambang Sugeng sebagai pemberi perintah. Padahal Letnan Kolonel Soeharto hanyalah salah satu pelaksana operasi di lapangan.
Setelah merebut Yogyakarta dalam agresi II, Belanda mengumumkan bahwa TNI telah hancur dan pemerintahan Republik Indonesia tidak ada lagi. Bambang Sugeng selaku penanggung jawab Yogyakarta merespon propaganda itu. Sugeng yang emosional, tulis TB Simatupang, memiliki ide merebut kembali Yogyakarta. “Dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak bertahan (onhoudbaar)," tulis Simatupang dalam Laporan dari Banaran.
Bambang Sugeng mengeluarkan Perintah Siasat No 4/SD/Cop/I tanggal 1 Januari 1949 yang memerintahkan komandan Wehrkreise I Moch Bachroen, Wehrkreise II Sarbini, dan Wehrkreise III Soeharto untuk mengadakan perlawanan serentak terhadap Belanda pada 17 Januari 1949. Tujuannya: menarik perhatian dunia luar. Bahkan secara khusus Bambang Sugeng mengeluarkan Instruksi Rahasia tanggal 18 Februari 1949 kepada Soeharto untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap ibukota yang akan dilakukan antara tanggal 25 Februari sampai 1 Maret 1949 dengan mempergunakan bantuan pasukan dari Brigade IX.
Dengan instruksi tersebut, menurut AH Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas, Panglima Divisi III Jawa Tengah dan Yogyakarta Kolonel Bambang Sugeng telah memerintahkan Serangan Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta, yang mempunyai efek besar terhadap jalannya diplomasi.
"Setelah mengadakan berbagai pertimbangan, perencanaan, dan persiapan yang masak," tulis Edi Hartoto dalam Panglima Bambang Sugeng, "akhirnya terjadilah Serangan Umum 1 Maret 1949 di bawah kendali Panglima Bambang Sugeng."
Bambang Sugeng lahir di Tegalrejo, Magelang, 31 Oktober 1913. Dia menempuh pendidikan HIS di Tegalrejo, MULO Purwokerto, dan AMS A di Yogyakarta. Semula dia bercita-cita menjadi ahli hukum dan masuk Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Jakarta, namun tak selesai karena Jepang datang. Karier militernya dimulai sebagai Komandan Kompi Peta di Magelang hingga menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Bambang Sugeng tergolong perwira yang gelisah atas keretakan di tubuh militer, terutama pasca-Peristiwa 17 Oktober 1952 di mana militer menuntut pembubaran parlemen tapi ditolak Presiden Sukarno. Ketika itu, dia menjabat Panglima Tentara Teritorium V Brawijaya Jawa Timur. Menjelang akhir jabatannya dia sakit-sakitan sehingga tugas harian diserahkan kepada Letkol Suwondo.
Mengetahui Suwondo terlibat Peristiwa 17 Oktober, Bambang Sugeng segera mengambil-alih pimpinan Panglima Teritorium V Brawijaya dan membuat pidato radio. Sugeng juga memanggil Suwondo untuk meminta penjelasan. Bukannya memenuhi panggilan, Suwondo malah berusaha membatalkan pidato radio Bambang Sugeng dan menggantinya dengan perintah hariannya yang disiarkan melalui RRI Surabaya. Isinya antara lain perintah penangkapan terhadap mereka yang condong kepada kaum partai seperti tiga kolonel (Bambang Supeno, Suhud, dan Sapari) yang telah menghadap Bambang Sugeng; bahkan bila perlu menangkap Bambang Sugeng. Rencana Suwondo bisa digagalkan. Atas nama KSAD, Letkol Suparto dan Letkol S. Parman memberhentikan Suwondo dan menggantinya dengan Letkol Sudirman sebagai Panglima Teritorium V Brawijaya.
Peristiwa 17 Oktober mengakibatkan KSAD AH Nasution mengundurkan diri. Bambang Sugeng, yang menggantikannya sebagai KSAD, punya tugas menyelesaikan Peristiwa 17 Oktober. Namun, keputusannya menetapkan Letkol Warrow sebagai Panglima Teritorium VII Makassar membuat persoalan jadi ruwet. Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX tak disetujui. Alasannya, dalam Peristiwa 17 Agustus, Warrow mengambil-alih pimpinan Teritorium VII dan menahan Panglima Teritorium VII Kolonel Gatot Subroto yang pro-Nasution, sekalipun dia tak ikut demonstrasi. Sebagai reaksi atas ketidaksetujuannya, Hamengku Buwono IX mengundurkan diri.
Hambatan lain muncul karena Menteri Pertahanan yang baru Iwa Kusumasumantri memutasi beberapa pejabat penting Angkatan Darat. Bambang Sugeng mengundurkan diri pada 2 Desember 1953 tapi ditolak.
Perpecahan di akhirnya dapat diselesaikan setelah Bambang Sugeng mempersatukan perwira-perwira Angkatan Darat dalam Konferensi Yogya pada Februari 1955 yang melahirkan Piagam Yogya. Sejarawan Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia menulis: "Bambang Sugeng adalah satu-satunya mantan perwira Peta yang paling moderat sehingga sangatlah wajar dia sebagai pemersatu Angkatan Darat dengan mendeklarasikan Piagam Keutuhan Angkatan Darat yang terkenal dengan Piagam Yogya 1955."
Bambang Sugeng berhenti sebagai KSAD pada 13 Mei 1955 setelah lima kali mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Sukarno karena peliknya masalah di Angkatan Darat. Dia kemudian menjadi duta besar di Vatikan, Jepang, dan Brasil hingga 1966. Pada 22 Juni 1977, dia meninggal dunia karena sakit paru-paru dan dimakamkan di Kranggan, Temanggung, Jawa Tengah.
[pages]