Masuk Daftar
My Getplus

Penerbangan Terakhir Leo Wattimena

Reputasi gemilang sang penerbang terhempas oleh prahara G30S. Namanya redup ditelan kabut rezim Orde Baru.  

Oleh: Martin Sitompul | 20 Nov 2020
Leo Wattimena. (Wikimedia Commons).

Soeharto kenal betul dengan Leo Wattimena. Waktu dia menjabat sebagai Panglima Komando Mandala pembebasan Irian Barat, Leo adalah salah satu wakilnya. Dalam komando operasi itu, Leo punya tugas penting mengorganisasi pasukan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Di kalangan AURI, Leo Wattimena bukan nama sembarangan. Dia dikenal sebagai penerbang ulung dengan jam terbang tinggi, Sebagai pilot tempur berpengalaman, Soeharto pun menaruh percaya kepada Leo. Kalau Leo terbang, seperti dituturkan pakar politik dan pertahanan Salim Said, biasanya Soeharto menanti di pangkalan udara sampai pesawat yang dikemudikan Leo mendarat kembali.

“Tapi, hubungan Leo dengan Soeharto menjadi rusak waktu Gestapu (Gerakan 30 September/G30S),” ujar Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian. Lantas apa yang terjadi dengan Leo dan Soeharto?

Advertising
Advertising

Baca juga: Jagoan Udara Bernama Leo Wattimena

Bombardir Markas Kostrad?

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 berimbas pada AURI yang disudutkan banyak pihak. Angkatan Darat sangat mencurigai AURI terlibat dalam gerakan tersebut. Akar perselisihan bermula dari surat perintah Menteri Panglima AU Laksamana Madya Omar Dani pada 1 Oktober yang menyiratkan dukungan terhadap gerakan. Selain itu, Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma yang merupakan kawasan AURI disinyalir sebagai basis G30S.  

Hari yang menjadi prahara itu dikisahkan Omar Dani dalam Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku: Pledoi Omar Dani oleh Benedicta A. Surodjo dan JMV. Soeparno. Pada malam hari, 1 Oktober, Dani bersama Panglima Komando Operasi AURI, Komodor Leo Wattimena melakukan pemantauan situasi keamanan dari udara. Mereka  meninjau kawasan Halim sampai Madiun dengan pesawat Hercules C-130. Memasuki pergantian hari, Dani terasa lelah dan mengantuk setelah enam jam lamanya terbang. Dia meminta Leo untuk berkirim radiogram kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto.

Baca juga: Omar Dani, Kisah Tragis Panglima Sukarnois

Dani berpesan agar Soeharto tidak perlu menggerakan pasukannya memasuki Pangkalan Halim untuk mengejar pasukan G30S. Karena itu pasukan AD dari Yon 454/Raiders Kostrad yang berusaha memasuki Halim pada sore hari telah dihalau oleh PGT (Pasukan Gerak Tjepat)-AURI. Jika bersikeras masuk, di Pangkalan Halim hanya ada pasukan PGT-AURI, anggota Pangkalan, dan kru pesawat yang sedang dikonsinyasi. Setelah menitipkan pesan itu, Dani tertidur sehingga tidak sempat memeriksa isi radiogram.

Siapa nyana, Leo menerjemahkan maksud Dani dengan pesan radiogram yang singkat, padat, dan tegas. “Jangan masuk Halim. Kalau masuk Halim akan dihadapi,” demikian bunyi radiogram yang dikirimkan Leo ke markas Kostrad. Pesan yang sama juga dikirimkan ke Komandan Wing 002 PAU Abdurachman Saleh, Kolonel (Pnb.) Pedet Soedarman di Malang. Soedarman menangkap sinyal “siaga” dan segera mengirimkan dua pesawat bomber B-25 beserta sejumlah pesawat pemburu ke Pangkalan Halim.

Baca juga: AURI Ingin Membom Markas Kostrad?

Menurut Humaidi, sejarawan yang meneliti AURI periode 1960-an, pesan gertakan yang dibuat oleh Leo Wattimena menarik untuk dipertanyakan. Pada intinya, surat itu adalah perintah Omar Dani secara lisan yang kemudian diterjemahkan oleh Leo.

“Leo menerjemahkan perintah Omar Dani dengan tidak tepat sasaran,” tulis Humadi dalam Dari Halim ke Nirbaya: Pasang Surut AURI Dalam Politik 1962-1966.

Pesan radiogram itu pada akhirnya sampai ke markas Kostrad. Soeharto yang panik segera memindahkan markas Kostrad ke bilangan Senayan kemudian Gandaria. Dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto mencatat peristiwa itu sebagai ancaman serius yang pernah dialaminya.

Didubeskan ke Vatikan

Alasan Leo menafsirkan perintah Omar Dani sedemikian rupa memang sulit dipahami. Tapi, secercah terang dapat ditemui bila mengetahui persis sosok Leo Wattimena sebenarnya. Semangat korsa Leo terhadap korpsnya, AURI sangat kental. Seperti diakui koleganya, Ashadi Tjahyadi, “Spirit de corps-nya tinggi. Leo selalu penuh dedikasi,” dalam Pahlawan Dirgantara: Peranan Mustang dalam Operasi Militer Indonesia suntingan Soemakno Iswadi.

Prahara G30S telah menyeret AURI jadi bulan-bulanan angkatan lain. Leo Wattimena tentu mafhum bahwa AURI berada dalam situasi kritis. Gelagat ini diperlihatkan Leo yang sangat tertutup dan tidak pernah bercerita kepada keluarga perihal tugas dan kedinasannya di AURI.

Baca juga: Derita Pasukan Karbol AURI

Seperti saat Angkatan Darat hendak menyerang kawasan Halim pada 1965, Leo hanya mengatakan kepada keluarganya kalau Halim akan diserang Malaysia. Ketika itu memang Indonesia sedang berkonflik dengan negara federasi Malaysia. Namun sejatinya, Leo sangat marah menyaksikan AURI dipojokkan di sana-sini. Leo bahkan pernah berseru, “Kalau mereka hantam AURI saya akan hajar habis-habisan kalau perlu berjibaku dengan menabrakan pesawat!”

Ketika rezim berganti, terjadilah “pembersihan” dalam tubuh AURI. Omar Dani bahkan dipenjara di Rumah Tahanan Nirbaya selama hampir 30 tahun. Leo sendiri ditugaskan ke Vatikan, Italia sebagai duta besar pada 1969.

Di Vatikan, Leo bekerja dengan tekun. Seperti dicatat dalam riwayat hidup Leo Wattimena yang disusun Kapten Heri Susanto dari Dispen AU, Leo berupaya menonjolkan ciri khas Indonesia di kompleks kedutaan. Leo juga sering mengenalkan kesenian Indonesia di Italia dengan pentas seni keliling daerah di Italia.   

Baca juga: Omar Dani, Panglima yang Dinista

Tetapi, dengan “pengasingannya” ke negeri seberang itu, sesungguhnya memendam luka dalam batin seorang Leo. Dia menjadi sangat terpukul karena harus berpisah dengan cinta pertamanya, yaitu pesawat tempur P-51 Mustang. Bagaikan hilang separuh jiwa, sebab Leo bercita-cita menjadi penerbang bukannya duta besar.    

Pada 1970, Salim Said berkunjung ke Italia dan bersua dengan Leo Wattimena. Waktu itu Leo masih berharap dapat ditempatkan di Departemen Pertahanan dan Keamanan begitu pulang dari Jakarta selepas jadi dubes. Begitulah keinginan Leo dalam perbincangannya dengan Salim Said.  

“Tapi, bagi Soeharto dia sudah selesai,” kata Salim Said.

Menepi untuk Selamanya

Setelah 21 tahun mengabdikan diri di AURI, Leo mengajukan permohonan pengunduran diri pada 15 Agustus 1971. Pangkat terakhirnya marsekal muda (jenderal bintang dua AU). Selepas pensiun, Leo seperti kehilangan orientasi. Tidak banyak yang diketahui apa yang dilakoni oleh Leo setelah pensiun tapi dia sempat bekerja di perusahaan kabel.

Hingga suatu ketika, Kepala Staf AU (KSAU) Marsekal Ashadi Tjahyadi (periode 1977-1982), bertemu dengan Leo secara tidak sengaja di bilangan Blok M, Jakarta. Ashadi kemudian meminta sahabatnya itu untuk menjadi penasihat ahli KSAU. Namun, Leo rupanya tidak sanggup lagi bekerja dengan maksimal. Kondisi fisiknya terus menurun lantaran menderita penyakit asma.

Baca juga: Leo Wattimena, Si Gila Kebanggaan AURI

Kemana-mana, Leo mulai memakai tongkat untuk menopang tubuhnya yang kian gontai dan lemah. Tubuh gagah Leo tampak mulai kurus. Ketika dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Leo nekat kabur dengan bajaj lantaran tidak betah diopname.        

“Kalau saya meninggal rawat anak-anak dengan baik,” itulah pesan terakhir Leo kepada sang istri, Corrie Dingemans

Pada 18 April 1976, pilot legendaris AURI bernama lengkap Leonardus Willem Johannes Wattimena itu wafat dalam usia 47 tahun. Kepergiannya itu ibarat "penerbangan" yang terakhir. Sesuai pesannya, jenazah Leo dikebumikan dengan pakaian lengkap berwarna jingga, khas para pilot AURI saat akan melakukan aksi penerbangan. Leo dimakamkan berdampingan dengan pusara sahabatnya sesama legenda Tim Mustang AURI, Komodor Udara Ignatius Dewanto, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

TAG

leo wattimena tni au g30s

ARTIKEL TERKAIT

Melawan Sumber Bermasalah Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Kopral Hargijono Tak Sengaja Menembak Ade Waktu Junta Suardi Diperiksa Mukidjan Bukan Tjakra Boengkoes, Tjakra Terakhir di Cipinang Setelah Rohayan Menembak Soeprapto Kolonel Junus Jamosir Digunjing Setelah G30S Junus Samosir, D.I. Panjaitan, dan G30S