Suatu hari di awal tahun 1946. Kopral Abu Nawaz mendapat tugas untuk menghancurkan satu basis kaum pengacau di Medan. Adalah Letnan Kolonel Doli Loundly, salah seorang petinggi di British Indian Army (BIA), yang langsung memerintahkan Nawaz melakukan tugas tersebut.
“Saya lantas membawa satu seksi pasukan menuju sasaran,” ungkap Nawaz kepada Muhammad TWH, jurnalis senior di Sumatera Utara.
Begitu mencapai target penyerangan, betapa terkejutnya Kopral Nawaz dan anak buahnya. Basis kaum pengacau yang dikatakan oleh Loundy tak lain ternyata sebuah masjid, tempat ibadah orang-orang Islam seperti mereka. Namun sebagai bawahan mereka tak bisa menolak tugas tersebut. Dengan sedih, mereka meledakan Masjid Medan Timur (sekarang Masjid Perjuangan 45) itu.
“Kami merasa ditipu. Awalnya, kami berpikir kedatangan kami ke Sumatera adalah untuk mengurus orang-orang Jepang yang sudah menyerah, tapi ternyata kami harus memusuhi orang-orang yang seagama dengan kami,” kenang lelaki kelahiran Jhelum (sekarang masuk dalam wilayah Pakistan) pada 1927 itu.
Baca juga: Alasan Pembelotan Tentara India
Keterlibatan dalam “perbuatan laknat” itu menjadikan Nawaz dan kawan-kawan-nya sempat tidak bisa memaafkan diri mereka. Rasa sesal terus menghantui. Tetiba muncullah ide gila dari para prajurit muslim itu untuk melakukan perbuatan nekat: lari dari kesatuan dan bergabung dengan para pejuang Indonesia.
Maka atas bantuan para pengelola Rumah Makan Fajar Asia (tempat biasa mereka makan), Nawaz dan 14 kawan-nya kemudian melakukan pembelotan. Hingga Perang Kemerdekaan berakhir, Nawaz tetap setia dengan jalannya untuk mengabdi Republik. Tercatat dia pernah bertugas di beberapa front Sumatera, salah satunya di Bukittinggi.
“Tahun 1953 dia kemudian pulang ke Pakistan,” ujar Muhammad TWH yang kini mengelola secara pribadi Museum Perjuangan Rakyat Sumatera Utara.
Pembelotan yang dilakukan oleh Nawaz dan kawan-kawannya, bukanlah kasus tunggal dalam sejarah perang kemerdekaan di Indonesia. Menurut buku 600 Gallant Pakistani Soldiers karya Allama Noor Quadri, sekira 600 prajurit India muslim (sekarang Pakistan) telah membelot ke kubu Republik Indonesia pada 1945-1946.
“Itu meliputi Jawa dan Sumatera…” ungkap Quadri.
Dalam suatu wawancara dengan Muhammad Jusuf (jurnalis The Indonesia Times) di London pada awal Oktober 1979, eks Panglima Tertinggi Pasukan Sekutu di Sumatera Utara Brigadier (Purn) T.E.D. Kelly mengakui soal adanya praktek desersi di kalangan anak buahnya pada saat itu. Tetapi jumlahnya sangat kecil.
“Semuanya prajurit biasa, (jadi) tidak ada satu pun perwira yang meninggalkan kesatuan kami (karena) itu adalah desersi dan bisa dihukum berat,” ujar Kelly.
Baca juga: Solidaritas Prajurit India Untuk Indonesia Merdeka
Apa yang dikatakan Kelly bisa jadi ada benarnya jika mengingat di seluruh Sumatera sendiri, para pembelot dari India/Pakistan itu hanya berjumlah 71 orang. Menurut Muhammad TWH dalam Sumatera Utara Bergelora, awalnya hampir sebagian besar para pembelot tersebut ditampung dalam Batalyon Putra Asia yang dipimpin oleh seorang Arab bernama Mayor Abdul Sattar al Quraisy (lebih dikenal sebagai Young Sattar).
Karena pengalaman tempur dan ketrampilan militer sebagian besar anggotanya mumpuni, kesatuan multi etnik itu kemudian berkembang menjadi suatu unit khusus yang terlatih. Begitu diseganinya hingga saat Wakil Presiden Mohammad Hatta berkunjung ke Pematang Siantar pada 27 Juli 1947, Yon Putra Asia didapuk menjadi pengawal khusus.
Dua hari setelah mengawal Hatta, Yon Putra Asia kemudian terlibat dalam pertempuran brutal dengan para serdadu Belanda di wilayah Pantoan. Pertempuran tersebut berlangsung secara seru selama berjam-jam hingga peluru-peluru para petarung Putra Asia habis tak tersisa. Layaknya aturan dalam militer, usai peluru habis mereka langsung memasang bayonet masing-masing dan lantas terlibat pertarungan jarak dekat dengan para serdadu Belanda.
Baca juga: "You Muslim, I Muslim: Teretet No!"
“Setelah terkepung rapat, kekuatan mereka berhasil dihancurkan dengan korban 15 prajurit India muslim tewas. Mayor Sattar sendiri nyaris tertangkap namun berhasil meloloskan diri dari pembersihan militer Belanda dengan menyamar sebagai penjual bandrek,” ungkap TWH.
Setelah Batalyon Putra Asia dibubarkan, para prajurit India muslim kemudian disebar ke seluruh palagan yang berkobar di Sumatera. Mereka kemudian ada yang melatih para gerilyawan Indonesia di Aceh atau menjadi komandan-komandan lapangan di Padang, Bukittinggi dan Palembang.
Salah satu nama yang sempat dicatat oleh TWH adalah Nur Muhammad. Usai meninggalkan kesatuannya (Divisi ke-26 British Indian Army), Nur berperan sebagai “orang intel” yang tugasnya mempengaruhi para prajurit Sekutu untuk membelot ke kubu Republik. Setelah matang di front Medan Barat, Nur kemudian dipindahtugaskan ke Aceh sebagai instruktur pasukan TNI di Panjang Peureulak, Aceh Timur.