Hari ini, 24 Maret, 77 tahun silam. Letnan Kolonel Herbert Kappler, kepala kepolisian sekaligus Gestapo di Roma, Italia, memanggil 12 perwira di jajarannya. Kepada mereka dia menjelaskan bahwa sore itu juga akan diadakan eksekusi terhadap 330 tahanan sipil. Skema eksekusi yang dibuatnya telah dilaporkannya kepada Jenderal Mayor Kurt Malzer yang menjabat sebagai komandan tertinggi militer Jerman di Roma. Kappler meminta semua perwiranya agar ikut berpartisipasi dalam eksekusi yang diadakan untuk balas dendam itu.
Balas dendam yang dimaksud adalah upaya untuk “menggantikan” kerugian yang diderita pihak fasis akibat serangan bom yang dilakukan gabungan kelompok anti-fasis baik dari kalangan komunis maupun nasionalis. Serangan itu dilancarkan sehari sebelumnya.
Balasan Atas Serangan 23 Maret 1944
Tanggal 23 Maret 1944 ibukota Italia dimeriahkan oleh peringantan 25 tahun berdirinya organisasi fasis pertama oleh Benito Mussolini. Parade dihelat di pusat kota. Kendati Perang Dunia II pendulumnya telah bergeser ke arah Sekutu, penduduk kota hadir memeriahkan peringatan tersebut.
Rosario “Paolo” Bentivegna dan kekasihnya Carla “Elena” Capponi tak ketinggalan. Keduanya bahkan telah merencanakannya sejak jauh-jauh hari. Namun, keduanya tak hadir untuk menyambut perayaan tersebut. Bentivegna dan Capponi datang untuk melancarkan aksi. Keduanya merupakan anggota Gruppi di Azione Patriottica (GAP), organisasi perlawanan Komite Pembebasan Nasional yang dipimpin Komunis.
Sejak pemerintahan fasis berkuasa, bermacam kelompok anti-fasis berupaya merebut kekuasaan itu. Partai Komunis, tempat Bentivegna bergabung pada 1943, merupakan salah satu yang paling getol bergerak di bawah tanah. Dalam pandangan mereka, langkah awal untuk mewujudkan tatanan baru masyarakat yang adil berdasarkan kemerdekaan, kesetaraan, dan solidaritas adalah dengan meruntuhkan fasis. Untuk itulah Partai Komunis Italia kemudian bergabung dengan Komite Pembebasan Nasional yang juga berisi kalangan liberal, Katolik, dan monarki.
Pendaratan Anzio, 35 mil dari Roma, oleh Sekutu pada Januari 1944 menjadi berkah tak ternilai buat kelompok anti-fasis. Momen itu harus mereka manfaatkan sebaik mungkin untuk mewujudkan cita-cita.
“Saat pasukan Sekutu menekan ke arah Roma setelah pendaratan Anzio, Bentivegna, Capponi, dan rekan-rekan mereka menetapkan rencana berani dan radikal untuk menurunkan kekuatan Nazi di ibukota. Mereka memilih tanggal 23 Maret, peringatan dua puluh lima tahun berdirinya organisasi Fasis pertama Mussolini di Milan, sebagai hari aksi. Rencana tersebut membutuhkan persiapan yang sangat hati-hati dan kemauan untuk mempertaruhkan tidak hanya nyawa mereka tetapi juga mereka yang tidak ada hubungannya dengan itu,” tulis sejarawan Jason Dawsey dalam artikelnya di nationalww2museum.org, “The Italian Resistance and the Ardeatine Caves Massacre”.
Bentivegna terpilih menjadi orang yang akan memulai serangan. Di hari-H tiba, dia segera menuju lokasi yang ditetapkan, muka Jalan Via Rasella No. 156. Mengenakan seragam petugas kebersihan, pada sore 23 Maret itu dia berjalan kaki ke sasaran sambil mendorong gerobak sampahnya. Di dalam gerobak itu terdapat 40 pound bahan peledak TNT. Begitu sampai, Bentivegna menunggu sasarannya, barisan SS Police Regiment Bozen atau Polisi Ketertiban –aparat keamanan Nazi yang mayoritas personilnya direkrut dari Tyrol Selatan, wilayah Austria yang dicaplok Italia dalam Perang Dunia I.
Ketika barisan Polisi Ketertiban terlihat berbaris sambil menyanyi, Bentivegna langsung menyalakan korek apinya untuk menyalakan pipanya yang berisi irisan tembakau dan kertas. Pipa itu lalu dia letakkan ke sumbu yang menyambung dengan gerobak sampahnya. Bentivegna langsung pergi meninggalkannya dan bergabung ke dalam kerumunan yang menonton parade.
Sejurus kemudian, ledakan muncul dari gerobak sampah Bentivegna. Ketenangan dan keceriaan sore itu seketika berubah. Barisan Polisi Ketertiban yang baru melintas hampir seluruhnya roboh. Mereka yang selamat segera berlari menyelamatkan diri sambil menembaki rumah-rumah di sekitar lokasi. Orang-orang yang selamat berlarian panik sambil berteriak. Namun di ujung lain jalan yang sama, beberapa ledakan kembali muncul menyusul ledakan pertama. Selain anggota kepolisian, korban tewas di tempat adalah seorang remaja berusia 11 tahun.
“Tiga puluh tiga orang tewas dan tujuh puluh lainnya luka-luka. Hitler sangat marah,” tulis Lloyd Clark dalam Anzio: Italy and the Battle for Rome –1944.
Petinggi Nazi tidak terima. Mayjen Kurt Malzer segera mengeluarkan ide pembalasan. Namun ketika permintaan pasukan tambahannya ditolak Mabes AD ke-14, dia menyerahkan pelaksanaan idenya kepada Kappler.
Kappler yang dibantu Kapten Kapten Erich Priebke langsung merancang konsep operasi pembalasannya. Ideal yang digariskan, satu nyawa Jerman yang tewas mesti diganti 10 nyawa sipil Italia yang anti Nazi. Kappler lalu memutuskan untuk mengambil para terpidana mati di Penjara Regina Coelli dan Penjara Via Tasso sebagai orang yang akan dieksekusi.
“Dia bekerja sepanjang malam soal daftar (nama calon orang yang akan dieksekusi, red.) itu dan membawanya pada siang hari kepada Jenderal Malzer, yang juga memanggil Mayor SS Helmuth Dobbrick, komandan Batalyon ke-3,” tulis Robert dan Marilyn Aitken dalam Law Makers, Law Breakers, and Uncommon Trials.
Namun ketika mendapati kenyataan bahwa orang yang dibutuhkan jumlahnya hanya segelintir, Kappler memperluas kategorisasi. Selain aktivis yang diduga punya keterlibatan dengan aksi pemboman, orang-orang yang dimasukkan ke dalam daftar yang akan dieksekusi juga berasal dari tahanan Yahudi.
“Menjadi Yahudi sudah cukup untuk membuat seseorang memenuhi syarat sebagai musuh Reich Ketiga,” sambung Robert dan Marilyn.
Penambahan jumlah dengan memasukkan Yahudi masih belum menyelesaikan permasalahan Kappler dan kawan-kawan. Lantaran pusing, mereka akhirnya terus meminum cognac sampai mabuk. Kerja mereka pun serampangan.
“Jumlah tahanan pun salah. Tiga puluh tiga tentara tewas dalam serangan itu, jadi menurut logika Kappler, seharusnya hanya 330 (tahanan, red.) yang dibawa. Lima diambil karena kesalahan, meski mereka bakal dibunuh karena apa yang mereka saksikan,” tulis Matthew Kneale dalam Rome: A History in Seven Sackings.
Keesokannya, Kappler memanggil 12 perwira di jajarannya agar ikut serta dalam eksekusi pembalasan yang telah ditetapkan. Dengan 156 personel SS yang tersedia, mereka membagi 335 tahanan –lebih lima orang dari yang seharusnya 330– ke dalam kelompok-kelompok yang masing-masing berisi lima orang lalu mengangkutnya dengan truk-truk daging ke Gua Ardeatine, sebuah jaringan terowongan bekas tambang menuju tanjung berpasir Via Ardeatina, di pinggiran kota dengan dipimpin Erich Priebke dan Karl Hass.
Setelah diturunkan dari truk-truk yang mengangkut, para tahanan itu dibawa ke terowongan pusat. Mereka kemudian diperintahkan berlutut untuk kemudian menunggu bagian belakang kepala masing-masing ditembus peluru para serdadu SS. Satu persatu dari mereka pun bertumbangan. Sempitnya gua juga membuat banyak tahanan terpaksa berlutut di atas mayat tahanan yang sudah lebih dulu dieksekusi.
“Gua itu menjadi Dantesque, mendidih dengan asap senapan, muntahan, kotoran, darah, dan sisa-sisa tulang, otak, serta jaringan wajah dan tubuh yang berserakan. Ada suara gemuruh konstan dan terus-menerus dari penembakan. Ada tangisan dan jeritan dari mereka yang tidak mau pergi dengan tenang. Cognac mengalir dengan bebas untuk orang-orang Jerman yang terpukul mundur oleh pembantaian itu. Seorang Jerman, Letnan 2 Gunther Amonn, menolak untuk menembak,” tulis Robert dan Marilyn.
Bersamaan dengan eksekusi itu, di tempat lain di Roma dua pejabat Vatikan mendatangi pemerintah kota. Mereka meminta agar pemerintah mengatur pemakaman layak bagi para korban tewas di Via Rasella sehari sebelumnya. Namun, pemerintah kota hanya menjawabnya dengan angkat bahu.
Sementara di Gua Ardeatina, militer Jerman mengirim truk berisi tentara. Para personel itu lalu meledakkan bahan peledak ke bagian mulut gua.
“Serangkaian ledakan yang menghancurkan bagian muka mengguncang area tersebut, menutup bukaan, mengusir lalat, yang mengandung bau bangkai, dan meruntuhkan beberapa terowongan dengan longsoran tanah di dasar bersama pasir, dan sampah. Para korban, di balik itu semua, memang dimakamkan. Selama Jerman berkuasa, tidak akan ada pelanggaran terhadap kuburan mereka,” tulis Robert Katz dalam The Battle for Rome: The Germans, the Allies, the Partisans, and the Pope: September 1943-June 1944.