Perang yang berkecamuk di berbagai belahan dunia menyeret sejumlah pemuda Indonesia. Mereka ambil bagian sebagai tentara, pilot tempur dan tenaga medis, mulai dari Perang Sipil di Spanyol hingga Perang Pasifik. Alasan mereka terjebak di tengah-tengah berkecamuknya perang karena tak bisa pulang ke Indonesia atau kesukarelaan. Berikut kisah-kisah para pemuda itu:
Henry Hoo
Lahir di Surabaya pada 1912, putra Hoo Bo Liang yang memiliki nama lahir Hoo Chi Sui ini tercatat sebagai pilot pesawat tempur International Volunteer Brigade. Legiun sukarelawan asing itu memihak kaum republik melawan kaum fasis dalam Guerra Civil atau Perang Saudara Spanyol (1936-1938).
Henry Hoo merantau ke Eropa pada 1935. Ketika pecah Perang Saudara di Spanyol, dia salah satu dari sekian orang Tionghoa asal Hindia Belanda yang mendaftar sebagai sukarelawan kontrak. Kisahnya pernah dimuat dalam surat kabar Sin Po pada 1938. Dia mengawaki pesawat Uni Soviet pernah menjatuhkan pesawat terbang Jerman, pendukung utama kaum fasis Spanyol pimpinan Francisco Franco.
Setelah selesai kontraknya, Henry beralih ke Zhonghua Minguo Kongjun (Angkatan Udara Republik Cina) untuk melawan Jepang pada 1937. Selain Henry, ada beberapa pilot kelahiran Hindia Belanda, seperti Nio Thiam Seng (Bandung), Tan Tin Ho (Batavia) dan Tan Gie Gan (Surakarta).
Tio Oen Bik
Tionghoa asal Hindia Belanda yang terlibat dalam Perang Sipil Spanyol juga ada yang berperan sebagai tenaga medis, yaitu dr. Tio Oen Bik. Pemuda kelahiran 1906 itu sebelumnya menimba ilmu kedokteran di Nederlansdsch Indische Artsen School atau sekolah kedokteran pribumi di Surabaya medio 1920-an. Pada 1929, dia melanjutkan studinya di Amsterdam, Belanda, di mana dia mendirikan Sarekat Peranakan Tionghoa Indonesia.
Dalam Chinese Migrants and Internationalism: Forgotten Histories 1917-1945, Gregor Benton mencatat bahwa Tio enggan ikut kawan-kawannya pulang ke Hindia Belanda di masa pergerakan. Dia memilih pergi ke Spanyol untuk bergabung dengan pihak republik melawan fasis. Di sana, dia menangani para korban sipil maupun militer.
Menurut Iwan Santosa dalam Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, tidak hanya Tio yang pernah punya andil di negeri asing. Dalam perang Sino-Jepang, organisasi Hoo Hap asal Cianjur juga berangkat ke Cina untuk melawan Jepang. Beberapa dokter dan staf medis Rumah Sakit Jang Seng Ie (kini Rumah Sakit Husada Jakarta Pusat) juga dikirim ke Cina dengan biaya sumbangan para tokoh anti-Jepang.
[pages]
Abdul Halim Perdanakusuma
Lahir di Sampang, Madura pada 18 November 1922, karier kemiliteran Halim dirintis di Koninklijke Marine atau Angkatan Laut Belanda di Modderlust, Surabaya. Halim pun ikut serta dalam perang Pasifik melawan Jepang sebagai operator torpedo. Halim nyaris tewas ketika kapal perang Belanda yang turut diawakinya ditenggelamkan Jepang dekat pantai Cilacap.
Selamat dari maut, Halim ikut rombongan serdadu Belanda yang mengungsi ke India. Pertemuannya dengan Panglima Komando Armada Asia Tenggara Lord Louis Mountbatten yang terkesan dengan karya lukisan Halim, membuatnya masuk pendidikan RCAF (Angkatan Udara Kanada) dan dilanjutkan RAF (Angkatan Udara Inggris) sampai lulus sebagai navigator bomber (pesawat pembom) dengan pangkat letnan.
Di lingkungan RAF, Halim dijuluki The Black Mascot oleh rekan-rekannya. Pengalaman tempurnya termasuk lumayan: ia pernah melakukan 42 misi pemboman ke wilayah Prancis (yang sedang dikuasai Jerman) dan ke wilayah Jerman sendiri. Halim pun tercatat sebagai navigator pada pesawat pembom Avro Lancaster atau B-24 Liberator sampai akhir Perang Dunia II.
Dari Sedjarah Pertumbuhan AURI diketahui, Halim lantas direkrut Komodor Suryadi Suryadharma sebagai salah satu pionir TNI AU sebagai perwira operasi. Saat itu, dia satu-satunya pilot TNI AU dengan wing penerbang RCAF dan memiliki pengalaman tempur di palagan Eropa.
Tragisnya, Halim bersama Iswahyudi gugur dalam tugas kala pesawat Avro Anson yang mereka naiki, jatuh di Malaya (kini Malaysia) pada 14 Desember 1947 . Hingga kini penyebab kecelakaan itu masih menjadi misteri.
Irawan Soejono
Irawan Soejono, putra bangsawan yang sejak muda mengenyam pendidikan di Belanda pada 1934. Ketika Jerman menginvasi Belanda, ayahnya tercatat sebagai pejabat menteri tanpa portofolio dalam kabinet Belanda di London, Inggris. Namun Irawan tetap memilih berada di negeri Tulip bersama para pelajar Indonesia lainnya guna menjadi partisan melawan Jerman.
Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah mencatat bahwa Irawan ikut terlibat dalam gerakan perlawanan bawah tanah dengan menjadi salah satu direksi surat kabar bawah tanah, De Bevrijding, bersama para pelajar Perhimpunan Indonesia seperti Pamuntjak, Alex Ticoalu, Suripno, IA Mochtar, Rozai Kusumasubrata dan FKN Harahap.
Surat kabar itu mendapat simpati dan bantuan dari kelompok bawah tanah lainnya. Dalam suatu insiden, Irawan tewas ditembak serdadu Jerman pada 13 Januari 1945. Perannya melawan Jerman diakui Kerajaan Belanda lewat pemerintah Kota Amsterdam. Namanya diabadikan jadi nama jalan, Irawan Soejonostraat.
Tidak hanya Irawan, para pemuda dalam Perhimpunan Indonesia juga ikut terpanggil melawan Jerman. Soebadio Sastrosatomo dalam Perjuangan Revolusi menyebut beberapa di antara mereka tidak hanya bergerak di bawah tanah lewat tulisan, tapi juga angkat senjata. Mereka antara lain Anak Agung Made Djelantik, LN Palar, Sumitro, Zairin Zain, Jusuf Muda Dalam, Suripno, hingga Kusna Puradiredja. Mereka membentuk Barisan Mahasiswa Indonesia dan aktif melakukan sabotase, sampai menyelamatkan orang-orang Yahudi yang hendak dimusnahkan anak buah Hitler.
[pages]
Andi Abdul Azis
Putra Bugis kelahiran 19 September 1924 ini sudah pergi ke Belanda sejak pertengahan 1930-an. Tamat dari Leger School pada 1938, Andi Azis bergabung dengan gerakan bawah tanah melawan Jerman. Berbeda dengan para pemuda dari Perhimpunan Indonesia, statusnya sebagai anggota Koninklijke Leger atau Tentara Kerajaan.
Perlawanan militer Belanda hanya lima hari. Mereka menyerah setelah diserang Jerman dari arah Belgia dan Luksemburg pada 10 Mei 1940. Andi dan serdadu Belanda yang tak menyerah kabur ke Inggris. Dari Inggris ia bergerak ke India untuk mengikuti pelatihan komando dan lulus dengan pangkat sersan.
Pada 19 Januari 1946, Andi pulang ke Indonesia dan memilih masuk KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dengan pangkat letnan. Andi kemudian menjadi ajudan Presiden Negara Indonesia Timur, Sukowati. Setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, ia meleburkan diri ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat.
Dalam sejarah Indonesia, Andi tercatat sebagai pemberontak lewat insiden pada 5 April 1950 di Makassar. Pemberontakan itu dipadamkan TNI dan Andi dibui 14 tahun penjara. Atas kebijakan pemerintah, masa tahanannya dipotong menjadi delapan tahun.
Selain Andi, masih ada pemuda-pemuda Indonesia yang tergabung dalam tentara Kerajaan Belanda saat melawan Jerman. Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah mencatat tiga nama: Eduard Latuperisa, Mas Sumitro dan Victor Makatita.
Victor tewas diterjang timah panas Polisi Vichy (negeri Prancis yang pro-Jerman) kala berusaha kabur ke Swiss pada 9 April 1942. Nasib tragis juga dialami Eduard Latuperisa. Eks KNIL yang ikut Orde Dienst itu dijatuhi hukuman mati pada 29 Juli 1943 di Leusderheide. Sementara Serma Mas Sumitro meninggal pada 26 Januari 1944 karena jatuh dari trem.
Adolf Gustaaf Lembong
Karier militer Adolf Gustaaf Lembong sangat unik. Berbeda dengan pemuda-pemuda Indonesia lainnya, Lembong pernah angkat senjata bukan hanya untuk Belanda dan Indonesia tapi juga negara tetangga: Filipina.
Lahir di Ongkaw, Minahasa, 19 Oktober 1910, Lembong masuk KNIL. Masuknya Jepang ke Indonesia membuat Lembong dan serdadu KNIL di Manado dibawa ke kamp interniran di Filipina.
Menurut Robert Lapham dan Bernard Norling dalam Lapham’s Raiders, Lembong dan beberapa kompatriotnya seperti Alex Rawung, Jan Pelle, Marcus Taroreh, Marthin Sulu, Alexander Kewas, Albert Mondong, Hendrik Terok, Andries Pacasi dan William Tantang, berhasil kabur dari kamp tahanan di Pulau Luzon, Filipina. Mereka bergabung dengan Luzon Guerilla Armed Forces (LGAF).
Memimpin Skadron 202, Lembong sukses menjarah gudang logistik Jepang pada 6 Januari 1945. Sehari setelahnya, dia melakukan penyergapan yang menewaskan 27 tentara Jepang. Dia dan kawan-kawan kembali ke Sulawesi Utara pada 22 Januari 1945.
Awalnya Lembong kembali bergabung dengan militer Belanda. Karena Belanda melancarkan Agresi Militer I pada 27 Juli 1947, Lembong membelot ke pihak republik. Lembong tewas oleh gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil yang menyerang Markas Staf Kwartier Divisi Siliwangi (kini Museum Mandala Wangsit) di Bandung pada 23 Januari 1950.
[pages]
R. Sudirmo Bunder
Tidak hanya Lembong atau kawan-kawannya eks-KNIL yang “terjebak” di tengah-tengah berkecamuknya Perang Pasifik. R. Sudirmo Bunder, mahasiswa kedokteran di California, Amerika Serikat (AS), juga salah satu veteran US Army (Angkatan Darat AS) yang disegani dan dihormati.
Sebagaimana dituturkannya kepada penulis Hana Rambe dalam Terhempas Prahara ke Pasifik, Sudirmo mengungkapkan, dirinya yang tengah belajar kedokteran di St. Anthony College, California terkena program wajib militer pasca AS menyatakan perang terhadap Jepang akibat serangan di Pearl Harbor. Setelah menjalani beberapa bulan pelatihan militer, lelaki Jawa kelahiran 12 Februari 1920 itu, ditempatkan di Rainbow Division untuk dikirim ke front Pasifik.
Sudirmo terlibat dalam pertempuran melawan tentara Jepang. Mulai dari Rabaul di Papua Nugini, Biak, Hollandia (kini Jayapura), Morotai, Saipan, Iwo Jima, Okinawa, hingga menjejakkan kaki di Tokyo, setelah Jepang menyerah pada Sekutu.
Setelah perang usai, Sudirmo dinyatakan AS sebagai warga Belanda lantaran lahir di sebuah negeri koloni Hindia Belanda. Makanya, ketika pecah Perang Korea, Sudirmo eksis sebagai tentara Belanda di bawah panji pasukan perdamaian PBB. Usai perang Korea, Sudirmo pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
[pages]