Masuk Daftar
My Getplus

Natal Berdarah di Laut Tengah

Dipicu insiden penembakan yang terjadi menjelang Natal, perang saudara antara warga etnis Yunani dan etnis Turki pecah di Siprus, negara-pulau di Laut Tengah.

Oleh: M.F. Mukthi | 25 Des 2020
Personil Pasukan Perdamaian PBB asal Turki berjaga di Famagusta, Siprus, awal 1964. Mereka bertugas untuk mengamankan keadaan setelah perang saudara "Natal Berdarah" tahun sebelumnya (British National Army Museum)

Tak ada hal aneh pada sore 22 Desember 1963 yang diingat Paul Sant Cassia, profesor antropologi di University of Malta, yang saat itu berusia sembilan tahun. Pada hari itu, kata Paul, ayahnya berangkat ke pabrik tempatnya bekerja seperti biasa. Ayahnya tetap bertahan bekerja di pabrik itu sebagai satu-satunya warga Siprus berdarah Turki karena begitu mencintai pekerjaannya. Semua berjalan seperti biasa hingga selepas pukul 10 malam Paul mendapati berita terjadinya kerusuhan di dekat pabrik tempat ayahnya bekerja.

“Pada tanggal 22 Desember malam perkelahian terjadi sekitar pukul 10.00 malam di pusat kota. Empat orang tewas dan banyak lainnya luka-luka. Perkelahian terjadi di dekat pabrik dan saya dan saudara laki-laki khawatir ayah akan terlibat ketika dia melakukan inspeksi di halaman pabrik. Kami meneleponnya dan memberi tahu dia bahwa ada masalah. Kami menyuruhnya pulang karena dia mungkin akan cedera jika orang Siprus Yunani mengidentifikasinya sebagai orang Siprus Turki,” kata Paul dalam bukunya, Bodies of Evidence: Burial, Memory and the Recovery of Missing in Cyprus.

Kala itu ketegangan antara warga Siprus berdarah Turki dan warga berdarah Yunani tengah memuncak. Akibatnya, ibukota Nikosia dibagi menjadi wilayah untuk warga Siprus Turki di utara dan wilayah untuk warga Siprus Yunani. Masing-masing komunitas saling mencurigai. Warga berdarah Turki mencurigai warga berdarah Yunani sebagai pendukung Enosis atau ideologi nasionalis yang mengupayakan integrasi Siprus dengan Yunani. Pemilihan Polycarpos Goergadjis, mantan jagal EOKA semasa perjuangan kemerdekaan Siprus dari Inggris yang terlibat dalam pembunuhan terhadap kalangan sipil, sebagai menteri dalam negeri dianggap salah satu langkah strategisnya. Sebaliknya, warga berdarah Yunani menuduh warga Turki ingin menguasai Siprus dan selalu mengkhawatirkan masuknya militer Turki ke Siprus.

Advertising
Advertising

Baca juga: Gencatan Senjata Natal

Saling ketidakpercayaan itu muncul dikarenakan beberapa faktor. Antara lain, penerapan pajak terpisah antara warga Siprus Yunani dan Siprus Turki. Bentuk Republik Siprus yang bukan negara kesatuan, melainkan komunal dengan sebagian di antaranya federasi komunal, menurut Andrew Borowiec dalam Cyprus: A Troubled Island, berandil pada kedaulatan terletak di tangan komunitas. Konstitusi nyaris tak berarti.

“Faktor lain yang mendorong masyarakat ke arah konfrontasi langsung adalah banyaknya jumlah warga Siprus Turki yang menjadi pegawai negeri. Komunitas Yunani merasa bahwa rasio yang ditetapkan terlalu baik dan banyak warga Turki sebetulnya tak memenuhi syarat untuk pekerjaan yang mereka pegang,” tulis Borowiec.

Ketegangan makin meningkat sejak Presiden Makarios III menghapus delapan ketentuan dasar dalam Perjanjian Kemerdekaan 1960 yang menjamin hak-hak warga Siprus Turki pada November 1963. "Tujuannya adalah untuk mengurangi (status dan peran, red.) warga Siprus Turki menjadi status minoritas belaka, yang sepenuhnya tunduk pada kendali orang Siprus Yunani, sebelum kehancuran atau pengusiran mereka dari pulau itu," tulis sejarawan John L. Oakes dalam “Cyprus – The Shame of Christmas 1963”, dimuat di cyprusscene.com. Makarios lalu, pada awal Desember, mengajukan usulan perbaikan 13 aturan yang menjadi sumber persengketaan, antara lain penghapusan aturan pemilihan anggota legislatif berdasarkan kuota etnis.

Warga berdarah Turki menganggap usulan Makarios itu sebagai upaya untuk mengurangi partisipasi mereka dalam menjalankan negara. Pada 16 Desember, komunitas Turki, yang dimotori Menteri Pertahanan Osan Orek dan Ketua Turkish Communal Chamber Rauf Denktash, menolak rencana Makarios. Suasana makin tegang.

Baca juga: Kado Natal 1000 Gulden

Di tengah suasa tegang antar-etnis itu, pada dini hari 22 Desember, sekelompok polisi Siprus, berdarah Yunani, mengadakan razia di dekat red-light district ibukota. Mereka menghentikan sebuah taksi berisi seorang pemuda berdarah Turki dan seorang perempuan rekannya. Aparat meminta pemuda tersebut menunjukkan identitas, namun ditolak. Aparat lalu menembak mati kedua penumpang taksi tersebut. Sontak warga berdarah Turki yang ada di pasar Turki, tak jauh dari lokasi kejadian, datang. Mereka melawan para polisi tadi sehingga beberapa di antara aparat terluka.

“Meskipun pembunuhan tersebut mungkin tidak dimotivasi oleh politik atau persaingan antaretnis, pembunuhan tersebut secara luas ditafsirkan sebagai ancaman bagi masyarakat Siprus berbahasa Turki secara keseluruhan,” kata buku yang dieditori Jon Celame dan Esther Charesworth, Divided Cities: Belfast, Beirut, Jerussalem, Mostar, and Nicosia.

Baca juga: Kado Natal untuk Yogyakarta

Paginya, warga berdarah Turki segera berkumpul. Mereka menganggap kejadian pada dini hari sebagai bagian dari Enosis. Malamnya, bentrokan berdarah pun pecah di Nicosia. Pasukan-pasukan paramiliter Turki maupun Yunani saling serang. Otoritas Yunani kemudian memutus saluran telepon dan telegraf ke areal permukiman Turki. Tak lama kemudian, aparat kepolisian Siprus Yunani menguasai bandara Nicosia.

"Ketika orang Siprus Turki keberatan dengan amandemen Konstitusi, Makarios menjalankan rencananya, dan serangan Siprus Yunani dimulai pada bulan Desember 1963," sambung Oakes.  

Esoknya, 23 Desember, pertempuran meluas. Kendati pada siangnya Presiden Makarios dan pemimpin Komunitas Turki sepakat melancarkan gencatan senjata, kondisi di lapangan terlanjur membara. Pertempuran telah mencapai beberapa daerah di luar Nicosia hingga Kota pelabuhan Larnaca. Pada hari itulah milisi Yunani yang dipimpin Nicos Sampson, mantan kombatan EOKA yang terlibat dalam pembunuhan terhadap warga sipil saat perjuangan melawan Inggris, menyerbu Omorphita di pinggiran Nicosia. Mereka langsung membunuhi orang-orang berdarah Turki.  “Tampaknya tanpa pandang bulu, termasuk wanita dan anak-anak,” tulis Borowiec.

Menurut Oakes, yang mengutip Letnan Jenderal George Karayiannis dari Milisi Siprus Yunani, serangan oleh warga Siprus Yunani telah direncanakan sejak jauh hari, bukan spontanitas. Serangan itu berpijak pada rencana "Akritas", cetak-biru untuk pemusnahan Siprus Turki dan aneksasi pulau itu oleh Yunani.

 “Setiap Siprus Yunani bersenjata memburu mereka (penduduk berdarah Turki, red.). Dalam waktu satu bulan setelah serangan gencar pada 21 Desember 1963, ratusan warga Siprus Turki terbunuh, terluka, atau cacat. Daerah Turki di pulau itu dikepung dengan tujuan untuk membuat penduduk kelaparan sampai mati sehingga mereka tidak bisa lagi menentang kemauan politik ‘Yunani,’” demikian catatan UN Security Council dalam Documents Officiels, Volume 3.

Baca juga: Pertempuran Natal

Kondisi kacau tersebut membuat Komisaris Tinggi Inggris di Siprus Sir Arthur Clark segera terbang ke negeri pulau di Laut Tengah itu dari cuti berobatnya di Inggris. Begitu tiba Arthur langsung “disuguhi” pemandangan mengerikan berupa tiga petani Turki tewas disandarkan di depan gerbang depannya.

Di Rumahsakit Umum Nicosia, setidaknya tiga pasien berdarah Turki tewas ditembak. Keesokannya, 24 Desember, para milisi Yunani menyerang desa Mathiatis Ayios Vasilios. Sekira 59 warga berdarah Turki dibunuh malamnya. Pada awal 1964, Palang Merah Internasional bersama pasukan Inggris berhasil menemukan 21 jasad warga Turki yang dibunuh dan dipendam dalam lubang yang sama.

Pertempuran masih berlangsung pada 24 Desember malam ketika Arthur bersama Mayjen Peter Young (komandan pasukan Inggris), Presiden Makarios dan pemimpin perwakilan Turki merundingkan gencatan senjata. Meski gencatan senjata berhasil dilaksanakan saat Natal, pertempuran kembali pecah hari berikutnya. “Di Omorphita pada 27 Desember, 550 orang disandera dan ditahan di sekolah Kykkos, tempat mereka bergabung dengan 150 sandera asal Kumsal. 550 di antaranya dibebaskan pada 31 Desember 1963,” tulis Paul Cassia.

Baca juga: Habis Natal Terbitlah Boxing Day

Namun, pertempuran berangsur mereda setelah pasukan gencatan senjata gabungan di bawah Mayjen Peter Young, yang dibentuk pada 24 Desember malam, dapat menguasai keadaan dan menegakkan hukum hingga pasukan perdamaian PBB tiba tahun berikutnya. Kota Nicosia dibagi menjadi dua, dengan utara diperuntukkan bagi warga berdarah Turki, berdasarkan garis yang dibuat pada rapat 24 Desember malam.

Selain menyebabkan puluhan ribu warga dari kedua etnis mengungsi dan beberapa ribu di antaranya tak pernah kembali ke rumah mereka, “Natal Berdarah” itu merusak 270 masjid dan menewaskan lebih dari 300 warga Siprus Turki serta lebih dari 150 warga Siprus Yunani.

“Tidak masuk akal untuk mengklaim, seperti yang dilakukan oleh orang Siprus Yunani, bahwa semua korban jiwa disebabkan oleh pertempuran antara orang-orang bersenjata dari kedua belah pihak. Pada Malam Natal, banyak orang Siprus Turki diserang dan dibunuh secara brutal di rumah mereka di pinggiran kota, termasuk istri dan anak-anak seorang dokter yang diduga oleh sekelompok pria yang terdiri dari 40 orang, banyak yang memakai sepatu bot tentara dan mantel besar. Meskipun Siprus Turki melawan sebisa mungkin dan membunuh beberapa milisi, tidak ada pembantaian terhadap warga sipil Siprus Yunani," demikian diberitakan The Guardian edisi 31 Desember 1963.

Ayah Paul Cassia merupakan satu di antara yang jadi korban tewas dalam peristiwa yang dikenal sebagai "Natal Berdarah" itu. Dia tak pernah terlihat lagi sejak terakhir kali ditelepon Paul dan kakaknya.

“Ayah saya menghilang pada 1963. Dia adalah salah satu orang pertama yang dinyatakan hilang. Saya tidak menemukan apa yang terjadi sampai beberapa minggu kemudian. Seorang teman ayah saya, yang juga seorang Siprus Yunani, memberi tahu saya apa yang telah terjadi. Tak lama setelah kami berbicara dengan ayah, sekelompok pasukan EOKA pergi ke pabrik dan bertanya apakah ada warga Siprus Turki yang bekerja di sana. Pemilik pabrik berkata bahwa hanya ada satu, tetapi dia baru saja pergi. Orang-orang EOKA pergi ke atap pabrik dan menembak ayah saya. Kami pergi ke pabrik untuk mengkonfrontasi tentang ayah saya, tetapi mereka mengatakan bahwa yang mereka tahu hanyalah bahwa dia menghilang saat bertugas,” sambung Paul.

TAG

yunani natal

ARTIKEL TERKAIT

Sisi Lain dan Anomali Alexander Ingar-Bingar Boxing Day Cerita di Balik Lagu Jingle Bells Sinterklas Terjun hingga Tumbang di Stadion Memulangkan Artefak Kuno Yunani dari Genggaman Inggris Pamflet Gelap di Malam Natal Monster Perempuan dan Ketakutan Laki-laki Umat Protestan dalam Cengkeraman VOC Ketika Hatta Merayakan Natal di Jerman The Old Guard, Misteri Ksatria Abadi dalam Lorong Sejarah