Selasa, 21 Agustus 1945, pukul 07.00. Semua anggota kesatuan Polisi Istimewa, sekitar 250 orang, berkumpul untuk mengikuti apel di halaman depan markas Polisi Istimewa, Jalan Coen Boelevard, Surabaya –kini Jalan Polisi Istimewa. Setelah pengibaran bendera Merah-Putih, Inspektur I Moehammad Jasin membacakan Proklamasi:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Republik Indonesia.”
Usai membacakan proklamasi, Jasin meminta semua anggota polisi melakukan pawai siaga untuk menunjukkan kekuatan dan kesiapan tempur, menghadapi reaksi pihak Jepang. Menggunakan kendaraan lapis baja dan truk yang telah dipasangi bendera Merah-Putih, bergerak menuju Jalan Tunjungan, Surabaya.
Proklamasi itu menandai berdirinya Polisi Republik Indonesia (PRI), menggantikan Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsu Tai) di mana Jasin jadi komandannya di Surabaya. Proklamasi itu juga merupakan tekad korps kepolisian untuk menjadi garda depan menghadapi Jepang yang masih bersenjata lengkap, meski sudah menyerah, dan mempertahankan kemerdekaan. PRI merupakan satu-satunya pasukan terlatih yang dipersenjatai dan berbobot tempur tinggi yang belum dilucuti Jepang.
Proklamasi itu diketik kemudian disebar dan ditempel di tepi jalan besar. Proklamasi itu mendorong bekas pasukan bersenjata Heiho dan Pembela Tanah Air (Peta) yang telah dibubarkan untuk mengambil-alih atau melucuti senjata Jepang.
Baca juga: Moehammad Jasin Menjadi Model Wajah Patung Gajah Mada
PRI terlibat dalam upaya penyerangan dan perampasan senjata-senjata Jepang. Dalam penyerbuan ke gedung Kempetai, yang merupakan benteng pertahanan Jepang, Jasin berunding dengan komandan Kempetai. Bila Kempetai menyerah dia akan menjamin keselamatan mereka. Para pejuang pun mengambil senjata-senjata Jepang yang tersimpan di gudang-gudang persenjataan mereka.
PRI juga menyerbu persenjataan Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu, Gubeng, yang berakhir dengan penyerahan persenjataan yang ditandatangani Jasin, sebagai wakil dari Indonesia. Penyerahan senjata itu kemudian diikuti kesatuan militer Jepang lainnya. termasuk penyerahan senjata di gedung Don Bosco, Jalan Tidar, gudang arsenal tentara Jepang terbesar di Asia Tenggara, di mana Jasin dibantu oleh Bung Tomo. Kota Surabaya sepenuhnya berada di bawah pengawasan kekuatan perjuangan PRI.
Dengan senjata tersebut, Moehammad Jasin memimpin langsung pasukan PRI untuk menghadapi pasukan Inggris dan Belanda, yang mendarat di Tanjung Perak Surabaya, 25 Oktober 1945. PRI terlibat dalam Insiden Bendera di Hotel Yamato tanggal 19 September 1945 dan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Pasukan PRI menunjukkan kepemimpinan dan kepeloporannya, yang pantang mundur. Jasin mendorong pasukannya agar melancarkan serangan dan melindungi pasukan organisasi perjuangan lain yang bergerak mundur ke pinggiran kota. Dia menggunakan strategi perang gerilya.
Baca juga: Moehammad Jasin tentang Kudeta terhadap Kapolri Soekanto Tjokrodiatmodjo
“Pembela Tanah Air (Peta) yang diharapkan memberi dukungan pada perjuangan rakyat telah dilucuti senjatanya oleh tentara Jepang. Untung ketika itu M. Jasin tampil memimpin Pasukan Polisi Istimewa yang berbobot tempur militer untuk mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya,” ujar Bung Tomo, pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang juga salah satu pejuang terkemuka dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Hingga saat ini, hari lahir kepolisian diperingati setiap tanggal 1 Juli –dikenal juga sebagai Hari Bhayangkara. Padahal peristiwa sejarah yang menandainya hanyalah pemindahan korps kepolisian yang semula, sejak 1 Oktober 1945, bernaung di bawah Departemen Dalam Negeri menjadi langsung di bawah Perdana Menteri, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11/SD tahun 1946.
Pada 14 November 1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengganti Polisi Istimewa menjadi Mobile Brigade (Mobrig) –kemudian disesuaikan namanya dengan tata bahasa Indonesia menjadi Brigade Mobil (Brimob), pada 1961. Tanggal itu ditetapkan sebagai hari jadi Korps Baret Biru, nama lain Brimob.
Moehammad Jasin, kelahiran Bau-bau, Buton, Sulawesi Tenggara tanggal 9 Juni 1920, berperan dalam pembentukannya, tugas yang diberikan Kapolri Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodimodjo. Saat itu dia menjabat Kepala Kepolisian di Karesidenan Malang. Tak salah jika Moehammad Jasin diangkat sebagai Bapak Brimob Kepolisian RI. Kesatuan ini sejak awal terlibat dalam menghadapi berbagai gejolak di tanah air.
Baca juga: Moehammad Jasin tentang Soeharto Tidak Diakui Presiden oleh Tanzania
Buku ini merupakan memoar Moehammad Jasin, dengan editor cucunya sendiri, dengan niat meluruskan kembali sejarah kepolisian, khususnya menyangkut hari lahirnya. Peristiwa Proklamasi Polisi dan aksi-aksi heroik Moehammad Jasin –yang menurut sejarawan Asvi Warman Adam layak diusulkan jadi pahlawan nasional– terkesan tenggelam. Patut dipertimbangkan Proklamasi Polisi 21 Agustus sebagai hari lahir polisi.
Memoar ini juga memuat perjalanan karier militer dan politik Jasin, salah satu tokoh nasional yang melintasi beberapa generasi, juga sikap keteladanannya. Dia sosok yang memiliki sikap; keberanian dalam mengambil keputusan, keteladanan dalam menjalankan tugas, kesederhanaan dalam hidup, berjiwa besar, serta tabah dalam menghadapi cobaan sebagai seorang yang teralienasi dalam pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru.