Akhir November 1836. Benteng Bonjol dikepung ketat oleh ratusan tentara Belanda. Mereka sekali-kali membombardir pertahanan kaum Padri itu dengan tembakan-tembakan meriam besar. Akibatnya beberapa rumah dan masjid di dalam benteng terbakar. Beberapa bagian dinding benteng yang terbuat dari tanah pun jebol.
“Dengan terbakarnya masjid di luar kampung, tampaklah oleh Belanda satu perohong (lubang menganga) akibat tembakan meriam mereka,” ungkap Muhammad Radjab dalam Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838).
Adanya perohong itu sejatinya berbahaya bagi kaum Padri. Tentara Belanda sewaktu-waktu bisa menggunakannya untuk menerobos pertahanan mereka. Namun apa mau dikata, kaum Padri tidak pernah sempat memperbaikinya karena masih sibuk dengan kerusakan lebih parah di bagian benteng yang lain.
*
Sabtu malam, 2 Desember 1836. Benteng Bonjol dibekap gelap. Suara binatang malam yang biasanya nyaring bernyanyi tak terdengar sama sekali. Di tengah kesunyian itu, belasan bayangan memasuki perohong satu persatu. Langkah mereka seolah gerakan hantu: tak terdengar gemersiknya.
Menurut Muhammad Radjab, belasan bayangan itu tak lain adalah tentara Belanda yang menyelinap. Mereka terdiri dari prajurit-prajurit dari unit Neger (Afrika) dan unit Bugis. Dikisahkan setiba di dalam area benteng, para prajurit itu langsung mengendap-endap di dekat rumah yang didiami oleh para istri dan anak-anak dari pemimpin kaum Padri, Tuanku Imam Bonjol.
Baca juga: Islamisasi Minangkabau
“Mendengar suara perempuan di dalam, serdadu-serdadu Neger cepat mengupak pintu rumah tersebut dan menyeret para perempuan itu keluar,” ungkap Radjab mengutip Naskah Tuanku Imam Bonjol.
Versi yang lebih brutal mengenai kejadian itu termaktub dalam buku Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831—1945 karya Ineke van Kessel. Dituturkan oleh van Kessel bagaimana setelah unit gabungan Neger-Bugis itu merangsek benteng Bonjol terjadi kepanikan luar biasa di kalangan kaum Padri. Terlebih setelah diketahui para serdadu itu berusaha menculik para istri Tuanku Imam Bonjol.
“Terjadi perkelahian yang berakibat seorang perempuan meninggal karena “pantatnya dibelah”, sementara pantat perempuan lainnya ditikam,” ungkap van Kessel.
Baca juga: Penyelundup Kaum Paderi
Tuanku Imam Bonjol sendiri begitu mendengar jeritan para perempuan dan anak-anak, langsung mengambil pedangnya. Dengan ditemani oleh Umar Ali (salah seorang anaknya), Tuanku Imam Bonjol berlari ke arah gubuk-gubuk yang ditempati oleh para istri dan anak-anaknya yang masih kecil.
*
Begitu melihat Tuanku Imam Bonjol dan Umar Ali, beberapa prajurit Neger secara spontan menembaki mereka. Akibatnya Tuanku Imam terkena di bagian lengannya sedangkan peluru yang lain menembus daging paha Umar Ali. Karena tak kuat menahan sakit, sambil terpincang-pincang Umar balik berlari ke arah masjid.
Otomatis Tuanku Imam Bonjol tinggal sendirian. Kendati lengannya sudah terkena peluru, namun dia tetap menetakkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Bak banteng ketaton, Tuanku Imam Bonjol mengamuk hingga membuat para prajurit Belanda itu lari lintang pukang kembali ke arah perohong.
“Tuanku Imam Bonjol terus mengejar mereka…”ungkap Radjab.
Serdadu-serdadu asal benua hitam itu akhirnya mengeroyok Tuanku Imam Bonjol. Dalam suatu kesempatan, salah seorang dari mereka berhasil menghunjamkan bayonetnya ke tubuh Tuanku Imam Bonjol sampai pimpinan kaum Padri itu terguling-guling.
Baca juga: Wabah Jubah
Ketika sang musuh akan menghantamnya lagi dengan satu tusukan bayonet, Tuanku Imam Bonjol cepat berdiri dan mengibaskan pedangnya ke segala arah. Dalam kondisi kritis itulah, pasukan bantuan dari kaum Padri datang. Mereka langsung menerjang para serdadu Belanda tersebut hingga mundur dan keluar dari wilayah perbentengan.
Tuanku Imam Bonjol sendiri yang sudah payah dan mendapatkan tigabelas lubang akibat tusukan dan tembakan langsung terjerembab pingsan. Para pengikutnya lantas memapah Tuanku Imam Bonjol dan membawa ke markas utama untuk segera diobati.
*
Apa yang menyebabkan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin utama kaum Padri seolah dibiarkan sendiri menghadapi upaya penyelusupan serdadu-serdadu Belanda pada malam jahanam itu?
Rupanya itu terkait dengan taktik gerilyawan Padri yang bila malam tiba mereka pergi ke arah hutan di wilayah Pancuran (kampung dekat Benteng Bonjol). Sesuai kesepakatan musyawarah para panglima Padri, guna menghindari peluru-peluru meriam Belanda yang kerap ditembakan sepanjang malam hari, maka begitu gelap datang mereka harus menghindar dari wilayah benteng.
Baca juga: Kisah Panglima Pasukan Diponegoro dalam Perang Padri
“Itulah sebabnya ketika terjadi perkelahian yang melibatkan Tuanku Imam, para pengikutnya tidak segera datang membantu,” tulis Radjab.
Namun setelah terjadi upaya penculikan para istri Tuanku Imam Bonjol dan pengeroyokan terhadap pimpinan mereka, para prajurit Padri menjaga Benteng Bonjol secara ketat siang dan malam.