GELANG akar bahar selalu melekat di lengan kanan Leo Wattimena kala menerbangkan pesawat. Untuk keberuntungan, katanya. Di kalangan teman-temannya sesama penerbang, dia mendapat julukan kehormatan "penerbang gila" karena ulahnya yang sering kelewat berani.
“Ulahnya memang macam-macam, tapi penuh perhitungan,” kenang kolega Leo yang juga mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal (Purn.) Ashadi Tjahyadi dalam Pahlawan Dirgantara: Peranan Mustang dalam Operasi Militer Indonesia suntingan Soemakno Iswadi
Serenceng gelar melekat pada diri Leo Wattimena. Mulai dari good pilot, G-maniac, sampai dianggap orang yang paling mengenal pesawat tempur P-51 Mustang. Salah satu kebiasaan “gila” Leo adalah kesukaannya melakukan manuver putar balik 360 derajat. Yang lebih gila, aksinya dilakukan ketika pesawat baru saja lepas landas. Atraksi itu terbilang berbahaya mengingat Mustang masih menggunakan piston engine, bukan pesawat yang bermesin jet. Tenaga dorong ketika lepas landas tidak sebesar jet sehingga sangat riskan dalam manuver.
Baca juga: Jajan Tahu Pakai Pesawat Mustang
Keberanian Leo di angkasa nyatanya sebanding dengan kejeniusannya. Leo suka menerbangkan pesawatnya melintasi kolong Jembatan Ampera di Palembang. Kadang, dia malah memiringkan pesawat untuk melewati rintangan dua gedung atau dua tiang tanpa mengalami masalah. Bagi Leo, Mustang lebih dari sekedar mainan kesayangan. Bagaikan ikatan jiwa, Mustang sudah seperti istri pertama pilot tempur berdarah Ambon itu.
Anak Singkawang Jadi Penerbang
Leonardus Willem Johannes Wattimena lahir di Singkawang, Kalimantan Barat 3 Juli 1927. Ayahnya bernama Hein Leonardus Wattimena bekerja sebagai Komisaris Residen Kantor di kota Pontianak. Ibunya, Maria Lingkan berasal dari Manado Sulawesi Utara. Leo anak ke 4 dari 6 bersaudara.
Sebelum bersentuhan dengan pesawat tempur, Leo menghabiskan masa pendidikan di HIS (setara Sekolah Dasar) dan AMS (Sekolah Menengah) Jakarta. Dia juga nyambi bekerja sebagai pelaut di kapal untuk membantu ibunya yang telah menjanda. Di masa revolusi, Leo bekerja di jawatan kereta api.
Setelah menjajal kapal dan kereta api, Leo mencoba pesawat terbang. Pada akhir 1950, Leo berangkat ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan sekolah penerbang. Dia menjadi satu dari 60 calon penerbang dan navigator Indonesia yang berkesempatan belajar di Academy of Aeronautics Taloa (Trans Ocean Airline Oakland Airport) di California. Turut bersama Leo sejawatnya yang kelak menjadi petinggi AURI seperti Omar Dani, Ignatius Dewanto, Saleh Basarah, dan Sri Muljono Herlambang. Bersama 19 orang lulusan terbaik, Leo mendapat pendidikan tambahan sebagai instruktur.
Baca juga: Omar Dani, Sukarno Kecil dari AURI
Sepulang dari Amerika, Leo mulai mengabdikan diri bagi Angkatan Udara Republik Indonsia (AURI). Pada 1952, Leo bertugas di Skadron 3 yang berbasis di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Disanalah Leo berkenalan dengan P-51 Mustang.
Pada 1955, Leo dikirim ke Inggris untuk mengikuti pendidikan instruktur di Royal Air Force (RAF). Lagi-lagi, Leo menjadi lulusan terbaik. Oleh beberapa teman penerbang dari India, Leo dijuluki G-maniac karena kegemarannya melakukan berbagai manuver di udara. G-maniac diambil dari kata G-lock, yaitu kondisi kehilangan kesadaran ketika sedang melakukan akrobatik di udara.
“Namun, postur fisik Leo memang mendukung. Dia selalu bisa cepat mengatasai kondisi-kondisi blank itu. Bahkan, ia melakukan sambil tersenyum atau melambaikan tangan kepada teman terbangnya,” tulis Iswadi.
Balik lagi ke Indonesia, Leo pindah tugas ke Bandung sebagai komandan Kesatuan Pancargas (pesawat jet tempur) di Pangkalan Udara Husein Sastranegara. Pada saat yang sama, AURI sudah memperoleh pesawat Vampire Jet Trainer dari Inggris. S. Trihadi dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Udara mencatat, kesatuan pancargas ini ditingkatkan menjadi Skadron 11 (Skadron Jet Pelatih Tempur). Peresemiannya dilakukan pada 1 Juni 1957 dengan Komandan Skadron Letnan Udara I Leo Wattimena.
“Sebagai instruktur, murid-muridnya sering ketakukan,” ujar Willy Kundimang salah satu murid Leo dalam Pahlawan Dirgantara.
Dalam melatih para penerbang AURI, Leo tergolong disiplin dank keras. Kalau murid instruktur lain ada yang melakukan kesalahan, paling banter instrukturnya mencabut bulu kaki si murid atau dihukum push up. Tapi, bagi Leo pelajaran itu masih belum cukup. Dia akan mengajak murid-murid terhukum untuk terbang bersama. Setelah berada di ketinggian, Leo melancarkan akrobatik dan menjungkirbalikan pesawatnya. Praktis ketika sampai di darat sang murid langsung muntah-muntah. Begitulah Leo memberi jera para penerbang muda yang lalai.
Pilot Tempur Pantang Mundur
Leo Wattimena bukanlah jagoan dalam hanggar pesawat belaka. Kemampuannya menerbangkan pesawat lebih banyak berbicara kala bertempur di angkasa. Terbukti, Leo cukup kenyang jam terbang dalam beberapa kali memimpin operasi militer.
Pada 15 Mei 1958, Mayor Leo Wattimena memimpin penyerangan ke sarang pemberontak Permesta di Lapangan Udara Mapanget Manado. Dalam operasi bersandi “Nunusaku” lima pesawat tempur P-51 Mustang dan empat pesawat bomber B-25 Mitchell dikerahkan untuk menggempur. Inilah pertama kalinya operasi melibatkan P-51 Mustang dalam jumlah yang cukup banyak.
Baca juga: Pesawat CIA dalam PRRI/Permesta
Dalam Operasi Nunusaku, Leo memegang komando dan memimpin grup pemburu P-51 sedangkan grup B-25 dipimpin oleh Kapten Sri Muljono Herlambang. Dengan melancarkan taktik gerilya udara, Leo berhasil menghancurkan pesawat-pesawat Permesta. Salah satunya adalah pesawat bomber B-26 Invader yang berasal dari bantuan gelap dinas intelijen Amerika Serikat (CIA). Seluruh sarana Pangkalan Udara Mapanget rusak berat.
Kemenangan gemilang itu mencatatkan Operasi Nunusaku sebagai peristiwa besar dalam sejarah penyerangan udara AURI. Sejak itu pula nama Leo Wattimena –bersama rekannya Ignatius Dewanto– menjadi pilot tempur yang diperhitungkan. Namun, puncak karier Leo sebagai penerbang terjadi pada saat operasi pembebasan Irian Barat.
Pada 1962, Leo dipercaya sebagai wakil panglima II Komando Mandala. Dia bersama wakil I Komodor Laut Soedomo mendampingi Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto. Dalam komando Mandala, Leo menjabat panglima Angkatan Udara yang berperan penting dalam serangkaian penerjunan menginfiltasi ke pedalaman Irian.
Baca juga: Kolega Sang Panglima Mandala
Setelah operasi pembebasan Irian Barat selesai, seperti diklaim oleh Dinas Sejarah AU dalam Sejarah TNI Angkatan Udara: 1960-1969, Komodor Udara Leo Wattimena “adalah jenderal yang pertama kali menginjakkan kaki di bumi Irian Barat.”
Dalam sebuah operasi penyebaran pamflet propaganda ke wilayah Merauke –yang masih dikuasai Belanda–, Leo ikut dalam pesawat Hercules yang diterbangkan Letkol Udara Slamet. Pesawat itu mendarat dengan jalan merusak kabel-kabel pesawat sehingga diizinkan turun dalan keadaan darurat. Ketika tiba di ujung landasan, pesawat yang ditumpangi Leo terbang lagi. Tentara Belanda yang merasa tertipu itu menjadi jengkel lantaran dipermainkan. Di balik aksi nekatnya, Leo Wattimena ingin menunjukkan bahwa AURI adalah yang nomor satu.
Baca juga: Operasi Jayawijaya, Kisah Invasi yang Tak Terjadi
Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto begitu mempercayai Leo. Hubungan keduanya terjalin cukup baik. Apalagi dalam mempersiapkan operasi besar-besaran bersandi “Jayawijaya”, Soeharto tentu butuh bertukar pikiran dengan Leo yang berpengalaman dalam operasi udara. Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian menuturkan, kalau Leo terbang, biasanya Soeharto menanti di pangkalan udara sampai Leo mendarat kembali.
“Tapi, hubungan Leo dengan Soeharto menjadi rusak waktu Gestapu (Gerakan 30 September),” ujar Salim Said.*