Masuk Daftar
My Getplus

Kubangan Darah Korban Pasukan Khusus Belanda

Bagaimana aksi-aksi Korps Speciale Troepen (KST) selalu berujung kepada praktek pelanggaran HAM dan pembantaian rakyat sipil.

Oleh: Hendi Johari | 11 Mar 2020
Pasukan DST (cikal bakal KST) tengah berparade di Batavia pada 1947 (Arsip Nasional Belanda)

SUATU hari di tahun 1947. Pagi baru saja menyeruak di Kalibunder, Sukabumi Selatan kala sekelompok prajurit Belanda dari unit DST (Depot Pasukan Khusus) bermunculan dari sudut-sudut desa. Serdadu-serdadu berbaret hijau itu tengah memburu gerilyawan Republik yang beberapa jam sebelumnya telah melakukan penghadangan terhadap konvoi mereka.

Tak menemukan orang-orang bersenjata, para serdadu itu malah menangkapi rakyat sipil. Salah satunya adalah Sahi. Bersama 3 warga Kalibunder lainnya, lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai petani itu kemudian dibawa ke pos DST di Nyalindung.

“Setelah ditahan beberapa hari di Nyalindung, saya tidak tahu lagi nasib ayah saya,” ungkap Achmad Khumaedi (85), putra dari Sahi.

Advertising
Advertising

Belakangan, Khumaedi mengetahui dari keterangan orang-orang Takokak bahwa sang ayah dan kawan-kawannya ditembak mati oleh militer Belanda di kawasan Ciwangi. Tubuh mereka dikuburkan dalam satu lubang dan baru dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cigunung Putri puluhan tahun kemudian ketika dia mendapat kepastian bahwa tulang belulang yang ditemukan para penduduk dekat pabrik teh Ciwangi adalah ayahnya.

“Saya yakin itu ayah saya, karena saya masih mengenal gesper dan cincin yang dikenakannya,” ujar Khumaedi.

Sahi hanya salah satu dari ribuan korban keganasan DST (sejak Januari 1948 berubah nama menjadi Komando Speciale Troepen, disingkat KST). Selain di wilayah Ciwangi dan Takokak, antara tahun 1946—1949, unit yang dipimpin oleh Si Turki (julukan untuk Kapten R.P.P. Westerling) pun pernah meninggalkan jejak berdarah juga di kawasan lain.

Berikut beberapa tempat yang pernah menjadi kubangan darah akibat keganasan KST:

Sulawesi Selatan

Sumber-sumber sejarah dari pihak Indonesia kerap menyebut angka 40.000 sebagai jumlah korban keganasan lasykar Si Turki di Sulawesi Selatan pada Desember 1946—Januari 1947. Selain pembunuhan, mereka pun melakukan berbagai aksi pemerkosaan sebagai salah satu metode kontra gerilya.

Almarhum Maulwi Saelan (veteran pejuang Sulawesi Selatan) menjadi saksi atas kekejaman serdadu Baret Hijau itu. Salah satu rekan seperjuangannya Kapten Andi Abubakar, komandan Bataliyon I Resimen III Divisi Hasanuddin, bahkan dipenggal kepalanya oleh DST. Padahal sang kapten sedang ada dalam status sebagai tawanan dan kondisinya tengah terluka.

“Mereka mempertontonkan kepala Kapten Andi di tengah Pasar Enrengkang untuk melemahkan semangat perjuangan pemuda setempat,” ujar Maulwi.

Westerling sendiri tak pernah mengakui pasukannya membunuh 40.000 orang. Dalam biografinya De Eenling (Sang Penyendiri), dia hanya mengakui jumlah pembantaian itu tidak sampai 10.000 orang.

Rawagede

Pada 9 Desember 1947 militer Belanda meyerbu Desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) di Karawang. Mereka yang terlibat dalam penyerbuan itu adalah Yon 3-9-RI Divisie 7 December, sebagian kecil prajurit 1e Para Compagnie dan 12 Genie Veld Compagnie pimpinan Mayor Alphons J.H. Wijnen.

Menurut surat kabar Berita Indonesia edisi 15 Desember 1947, Insiden Rawagede diawali oleh kejadian pada 3 Desember 1947. Ketika itu, seorang putra dari agen MID (Dinas Intelijen Militer Belanda) yang berkebangsaan pribumi ditangkap dan disiksa di suatu rumah kosong yang terletak di Rawagede. Namun ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan kejadian yang menimpanya kepada sang ayah. Dalam laporan itu disebutkan pula bahwa di Rawagede terdapat konsentrasi satu pasukan besar dari kaum Republik.

Bersama seorang kawannya, agen MID yang tak disebut namanya itu lantas melaporkan informasi tersebut ke pihak militer Belanda di Karawang. Maka dikirimlah satu pasukan besar di bawah pimpinan Mayor Alphons. Di dalam pasukan itu ikut serta pula dua unit dari DST.

“Diduga mereka adalah bekas algojo-algojo dari Sulawesi Selatan,” tulis wartawan Berita Indonesia.

Apa yang dicurigai oleh pihak militer Belanda tak sepenuhnya salah. Menurut Kastal, di Rawagede memang ada terkonsentrasi pasukan Republik dari TNI dan lasykar.

“Di Rawagede, ada markas Hizbullah, markas Barisan Banteng, markas Pesindo dan sekelompok kecil TNI dari Madiun,” ungkap eks komandan regu Hizbullah Rawagede itu.

Namun kekuatan-kekuatan bersenjata itu hanya sebagian kecil dari penghuni Rawagede. Alih-alih menjadi markas besar, mayoritas penghuni Rawagede adalah petani. Maka tak aneh, jika korban terbesar dari operasi pembersihan yang dilakukan Mayor Alphons dan anak buahnya adalah mereka.

Ketika bertemu dengan Telan dan Kastal, saya sempat menyebut satu persatu nama-nama korban Pembantaian Rawagede yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sampurnaraga, Rawagede. Mereka memastikan dari 181 nama itu, hanya 15 orang yang diyakini sebagai anggota lasykar dan TNI. Sisanya adalah penduduk sipil termasuk seorang lelaki gila.

Pihak Yayasan Rawagede sendiri mengklaim jumlah korban tewas dalam pembantaian itu sebenarnya lebih banyak yakni 431 orang. Itu tentu saja jauh lebih besar dibanding versi pihak Belanda yang hanya mengakui korban ulah tentaranya di Rawagede hanya 150 orang saja.

Takokak

Nama Takokak mungkin masih asing bagi para peneliti kejahatan perang Belanda di Indonesia. Namun jika anda ke sana, deretan 68 makam  di Taman Makam Pahlawan Cigunung Putri seolah menjadi bukti tak terbantahkan bahwa pasukan Baret Hijau pimpinan Westerling bernah menebar maut di kawasan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur itu.

Syahdan antara 1947-1949, militer Belanda kerap menghabisi para tawanan perang di Takokak. Mereka merupakan orang-orang yang ditangkap di wilayah Sukabumi dan Cianjur dan dihukum mati tanpa melalui suatu pengadilan yang jelas. Salah satunya adalah Sahi, ayah dari Achmad Khumaedi.

“Yang menjalankan hukuman mati itu pasukan Belanda baret hijau pimpinan Si Werling (mungkin maksudnya Westerling),” ungkap Atjep Abidien (95), salah satu eks pejuang Indonesia di Takokak.

Berapa jumlah pasti orang-orang sipil yang menjadi korban pembantaian oleh militer Belanda di Takokak? Hingga kini, belum ada informasi pasti soal tersebut. Namun para saksi sejarah yakin bahwa jumlah sebenarnya bisa mencapai ratusan bahkan mungkin ribuan orang.

“68 kerangka yang dimakamkan di Cigunung Putri itu baru yang berasal dari Puncak Bungah, dari tempat-tempat lainnya kan belum digali,” ungkap Atjep.

Rengat

Rabu pagi, 5 Januari 1949. Rengat diserang militer Belanda. Setelah lebih dari 5 jam pesawat-pesawat pembom mereka menghujani kota  yang terletak di Riau tersebut, 7 Dakota lantas menerjunkan 180 prajurit KST. Aksi militer yang bertajuk Mud Operation (Operasi Lumpur) itu dipimpin oleh Letnan Rudy de Mey, seorang perwira pertama KST yang sangat dekat dengan Westerling.

Begitu menjejakan kaki di tanah dan rawa, para prajurit KST langsung merangsek dan menguasai titik-titik penting di Rengat. Meskipun awalnya mereka harus terlebih dahulu menghadapi perlawanan sengit pasukan TNI dari Batalyon III Resimen ke-4 Divisi IX Banteng Sumatera. Demikian menurut J.A. de Moor dalam Westerling's Oorlog (Perang Westerling).

Setelah tak menemukan lagi perlawanan, pasukan KST melakukan pembersihan besar-besaran. Mereka memburu para prajurit TNI dan rakyat sipil yang bersembunyi di parit-parit sungai lalu membantainya tanpa ampun. Seorang saksi bernama Wasman Rads berkisah bagaimana para prajurit KST menjejerkan para penduduk di bantaran Sungai Indragiri lalu menembak mati mereka seketika.

“Air sungai yang keruh berubah menjadi kemerah-merahan (karena darah yang mengalir dari banyak tubuh korban),” ungkap Wasman seperti dikutip oleh Tim Penyusun buku Peristiwa 5 Januari 1949 di Kota Rengat Indragiri Riau suntingan Suwardi.

Dalam catatan pihak Indonesia (berdasarkan keterangan di tembok prasasti peringatan Tragedi Rengat), korban tentara dan rakyat sipil yang tewas adalah 1500 orang. Namun yang teridentifikasi namanya hanya 186 orang. Pihak Belanda sendiri hanya mengakui korban tewas 270 orang.

Menurut peneliti sejarah asal Belanda Anne Lot Hoek, kendati diakui oleh pihak Belanda, namun besar kemungkinan mereka menganggap banjir darah di Rengat sebagai “pembunuhan di antara sesama orang Indonesia.” Itu mengacu kepada banyaknya prajurit KST yang terlibat berasal dari Ambon.

Surakarta

Kamis, 11 Agustus 1949. Gencatan senjata sebenarnya sudah diberlakukan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Namun di Surakarta (Solo), pemberlakuan itu seolah tak ada pengaruhnya. Itu dibuktikan dengan ditembak matinya seorang prajurit TNI bernama Samto oleh KST pada pukul 04.00.

Penembakan itu memicu kembali pertempuran kota antara kedua pihak. TNI yang merasa dicurangi lalu membalas dengan suatu serangan yang membuat beberapa prajurit Baret Hijau itu terluka. Jatuhnya korban di pihak KST menjadikan mereka berlaku membabi-buta. Bukan hanya TNI, semua yang berbau Republik mereka hantam tanpa ampun.

Begitu matahari terbit, dari basis mereka di benteng Vastenbrug, pasukan KST langsung bergerak ke rumah dr. Podmonegoro di Kampung Gading yang merupakan pos darurat milik PMI. Sesampai di sana, mereka mengobrak-abrik serta menyembelih tujuh petugas PMI dan 14 pengungsi yang tengah menjalani perawatan.

“Setelah mengamuk di Gading, mereka melakukan pembantaian juga di Kampung Kratonan dan Jayengan,” demikian menurut Tim Panitia Monumen Perjoangan Surakarta dalam Pasukan Greencap Membantai Rakyat.

Sementara itu, dalam waktu yang sama kelompok baret hijau lainnya menebar maut di Kampung Kebonan. Mereka menahan 22 penduduk sipil di sebuah rumah, menelanjanginya lantas menyembelih sembilan orang di antaranya. Salah seorang tawanan berhasil kabur dan melaporkan kejadian tersebut ke pos TNI terdekat.

“TNI lantas melakukan pengejaran dan penyergapan, pertempuran pun berlangsung seru dengan akhir mundurnya pasukan Baret Hijau kembali ke basis mereka di Benteng,” demikian menurut buku Pertempuran Empat Hari di Solo (Surakarta) dan Sekitarnya yang diterbitkan oleh Kerukunan Eks Anggota Detasemen II Brigade 17.

Secara keseluruhan aksi KST itu menimbulkan korban yang cukup besar. Ada 433 mayat yang ditemukan usai situasi Surakarta lepas dari teror Baret Hijau. Korban paling banyak ditemukan di wilayah Laweyan yakni sekira 300 mayat. Sebagian besar dari mereka tewas akibat disembelih atau ditusuk dengan menggunakan sangkur.

Pihak Belanda sendiri terkesan ingin menutup-nutupi kejadian itu. Saat bertemu dengan pihak TNI yang diwakili oleh Letnan Kolonel Slamet Rijadi, Kolonel van Ohl hanya bisa berjanji bahwa dirinya akan menarik secepatnya pasukan KST dan membawa para pelaku pembunuhan rakyat sipil ke pengadilan militer.

Pada 14 Agustus 1949, Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. A.H.J. Lovink menulis surat kepada Menteri Seberang Lautan J.H. van Maarseveen dan parlemen Belanda. Dia memohon agar peristiwa pembantaian rakyat sipil di Surakarta bisa dirahasiakan. “Sebab akan sangat merugikan kehormatanpemerintah Kerajaan Belanda…” demikian seperti dikutip Julius Pour dalam Ign. Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kenpeitai sampai Menumpas RMS

 

TAG

sejarah-revolusi kst westerling

ARTIKEL TERKAIT

Murid Westerling Tewas di Parepare Murid Westerling Tumbang di Jogja Westerling Nyaris Tewas di Tangan Hendrik Sihite Menculik Pacar Westerling Kapten Schmidt dan Gerombolan Bulenya Lawan Pemerintah Indonesia Dan Westerling Pun Tersenyum T.D. Pardede Petualangan Inspektur Frans Thierry Baudet: Harusnya Indonesia Masih Jajahan Belanda Van Kleef, Polisi Nakal yang Ikut DI/TII