Setelah memimpin penumpasan PKI pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, nama Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan RPKAD (kini, Kopassus), melambung tinggi. Reputasi itu membuat Presiden Soeharto waspada. Karier militer Sarwo pun berakhir dengan cepat.
Setelah menjabat komandan RPKAD, Sarwo memimpin Kodam II/Bukit Barisan di Medan, Sumatra Utara. Tiba-tiba karier militernya akan dimatikan dengan mengirimnya ke luar negeri sebagai duta besar.
“Papi amat terpukul dengan keputusan pemerintah menempatkan dirinya di Rusia, selagi karier militernya sedang begitu cemerlang,” kata Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono, putri Sarwo Edhie Wibowo, dalam Kepak Sayap Putri Prajurit.
Baca juga: Obituari: Ibu Ani Yudhoyono Pergi
Sarwo tidak jadi dikirim ke Rusia. Dia kembali menjadi panglima teritorial, yaitu Pangdam XVII/Cenderawasih. Dari Papua, dia dipindahkan ke Magelang untuk menduduki kursi gubernur Akabri. Karier militernya berakhir di sini karena dia kemudian dijadikan duta besar di Korea Selatan.
“Aku bisa merasakan betapa hati Papi dibuat luruh ketika dia harus melepaskan seragam militernya dan menjadi seorang duta besar,” kata Ani Yudhoyono.
Baca juga: Karier Sarwo Edhie Wibowo Sebelum G30S 1965
Salim Said, guru besar di Universitas Pertahanan, mengatakan bahwa Sarwo sebenarnya sudah merasa disingkirkan ketika dia akan dikirim sebagai duta besar di Korea Selatan. Dia bertekad menolak dan memilih pensiun saja.
“Di Cijantung di depan Ibu Sarwo, saya berusaha meyakinkan jenderal itu agar menerima posisi dubes, sebab kalau pensiun, pasti akan selalu diintai intel. Artinya hidupnya tidak akan tenang. Bapak nikmatilah posisi dubes itu,” kata Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Sarwo pun bersedia menjadi duta besar asal di Canberra karena dia pernah sekolah komando di Australia. Namun, posisi dubes di sana sudah ditempati Mayjen TNI Hertasning. Akhirnya, dia berangkat juga ke Seoul sebagai duta besar pertama Indonesia untuk Korea Selatan.
Baca juga: Alasan Sarwo Edhie Wibowo Memimpin Penumpasan PKI
Setelah kembali ke Jakarta, Sarwo diberi jabatan sebagai Inspektur Jenderal (Irjen) Departemen Luar Negeri. Setelah itu, rencananya Sarwo akan dilempar lebih jauh lagi ke Brasil.
"Entah mengapa terjadi perubahan. Digeser beberapa puluh meter dari kantor Irjen Deplu, Sarwo menemukan dirinya mengurusi kursus Pancasila di BP7,” kata Salim Said. BP7 adalah Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Sarwo tidak bisa menolak keputusan Soeharto itu. Dia hanya bisa bersedih sebagaimana diungkapkan oleh Ani Yudhoyono.
“Kepada kami anak-anaknya, Papi sempat mengutarakan rasa sedihnya. Ya, benar, dia merasa kecewa dengan keputusan itu. Bukan berarti Papi mengecilkan arti BP7, melainkan dia merasa langkahnya mendadak dibelokkan ke arah yang tidak pernah dia bayangkan. Papi terlahir sebagai orang yang sangat mencintai dunia militer,” kata Ani Yudhoyono.
Baca juga: Aksi Sarwo Edhie Wibowo di Papua
Sunarti Sri Hadiyah meyakini penyebab Soeharto memperlakukan suaminya seperti itu karena peristiwa di Bogor. “Bapak dicurigai sebagai orang ambisius oleh Soeharto,” kata Sunarti kepada Salim Said.
Salim Said mejelaskan kejadian di Istana Bogor itu. Setelah menduduki pangkalan udara Halim Perdanakusumah, Sarwo berencana melapor kepada Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto. Namun, Laksamana Muda Udara Herlambang meyakinkan Sarwo bahwa Soeharto ada di Bogor. Sarwo pun ikut bersama Herlambang naik helikopter menuju Istana Bogor.
Baca juga: OPM Hampir Membunuh Sarwo Edhie Wibowo
Ketika Sarwo tiba di Istana Bogor, ternyata Soeharto masih dalam perjalanan. Sarwo kemudian menghadap Presiden Sukarno. Soeharto menganggap Sarwo telah melapor kepada Sukarno sebelum kepada Pangkostrad.
“Soeharto marah,” kata Salim Said. “Soeharto menganggap komandan RPKAD itu punya rencana sendiri yang berbeda dengan kebijakannya sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat.”
Kecurigaan dan kemarahan Soeharto kepada Sarwo itu berakibat fatal. “Karier militer mantan komandan RPKAD dibunuh secara kejam meski perlahan-lahan,” kata Salim Said.
Baca juga: Sarwo Edhie Wibowo Kecewa kepada Soeharto
Kendati kecewa, Sarwo tetap menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. “Ketika saya berkunjung ke tempat tugasnya, saya tidak melihat atau mendengar keluhan dari Pak Dubes,” kata Salim Said yang bersahabat dengan Sarwo hingga akhirnya hayatnya pada 1989.
Selama bergaul dengan Sarwo, Salim Said mengaku tidak penah mendengarnya menggerutu soal Soeharto. Satu-satunya kritik Sarwo kepada Soeharto yang diucapkannya pada 1980-an adalah, “Kok, Pak Harto itu tak seorang pun anaknya yang jadi tentara.”
Sementara anak laki-laki dan tiga menantu Sarwo semuanya tentara. Putranya, Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo menjabat Kepala Staf Angkatan Darat, sebelumnya Komandan Kopassus, Panglima Kodam Wiliwangi, dan Panglima Kostrad.
Baca juga: Wangsit Sarwo Edhie Wibowo
Menurut Salim Said, prinsip Soeharto tampaknya adalah kalau bisa kaya raya dengan cepat, mengapa harus bersusah-susah jadi bawahan sebelum akhirnya jadi jenderal. Lagi pula jadi jenderal pun belum tentu kaya. Buktinya Sarwo Edhie sendiri. Almarhum adalah seorang jenderal terkenal yang tetap tidak punya apa-apa –bahkan tidak punya rumah pribadi– hingga akhir hayatnya.
“Dalam hal ini, Soeharto lebih cerdik, praktis, dan realistis ketimbang Sarwo. Buktinya, anak-anak Soeharto difasilitasi untuk berdagang saja. Dan memang semua kemudian menjadi kaya raya,” kata Salim Said.
Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto memuji anak-anaknya yang sukses dalam bisnis dan aktif dalam berbagai organisasi sosial. “Alhamdulillah mereka semua jadi manusia,” kata Soeharto. “[Tapi] Saya tidak ingin anak-anak saya mendewakan harta dan pangkat.”