Setelah Negeri Belanda diduduki tentara Jerman pada Mei 1940, tentara Kolonial Hindia Belanda Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) merekrut lebih banyak tentara daripada tahun-tahun sebelumnya. Tak hanya pemuda desa di Jawa yang miskin, anak-anak sekolah pun direkrut pula.
Anak laki-laki dari Mas Sjamsuri Hardjokusumo yang seharusnya belajar di sekolah menengah pun kena wajib militer. Padahal ketika direkrut di tahun 1941, umurnya belum genap 16 tahun.
Baca juga: Dialog dengan Kolonel Latief
“Tahun 1941-1942 pada saat Perang Dunia II pemerintah Belanda mengadakan wajib milisi, para pegawai negeri atau pelajar dimasukan wajib militer untuk menghadapi serangan tentara Jepang. Pada waktu itu saya sebagai pelajar juga terkena wajib militer itu,” kenang Abdul Latief Mas Sjamsuri Hardjokusumo dalam riwayat hidup yang dibuatnya pada 1993 di Penjara Cipinang. “Kemudian dilatih di Magetan, Madiun dan kalau tidak salah komandan pendidikan adalah Kapten Soemarno, sedangkan komandan peleton saya Sersan Mayor Moorman.”
Kapten Soemarno, menurut catatan Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950, merupakan Raden Soemarno yang kelahiran 15 Mei 1893. Dia kakak kelas Raden Oerip Soemohardjo di kursus calon perwira pribumi di Sekolah Militer KNIL di Jatinegara. Sama seperti Oerip, Soemarno sempat pensiun namun waktu Perang Dunia II dipanggil kembali untuk berdinas di KNIL.
Baca juga: Bangsawan Jawa Memilih KNIL
Selama 6 bulan, Latief dilatih di bawah komando Kapten Soemarno. “Setelah selesai latihan dan karena keadaan perang lebih gawat, maka asrama pendidikan (yang) berada 2 KM di luar kota itu dipindahkan di batas pinggir kota Magetan; di sebuah pasar sekaligus membuat lubang-lubang pertahanan. Tidak lama kemudian semua pasukan dipindahkan ke Soreang, Ciwidey Bandung, Jawa Barat, untuk membuat pertahanan di sana, yang ditempatkan di sebuah sekolah,” ingat Abdul Latief, yang ditempatkan di bawah komando Kapten Bosh, seorang Indo, selama di Ciwidey.
Pada 1942, KNIL semakin tak berdaya menghadapi tentara Jepang yang bergerak sangat cepat. Padahal, KNIL punya personel lebih banyak.
“Belanda terutama militernya tidak mempunyai konsepsi tentang dimensi-dimensi perang modern, melawan musuh dengan industri dan angkatan perang modern. Pimpinan tidak untuk berperang dalam rangka persekutuan mereka hanya siap untuk satu peperangan kolonial,” catat Onghokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda.
Namun, kondisi riil itu tak pernah diberitahukan kepada para wajib militer KNIL. Semua ditutupi dengan rapat.
“Kita tidak pernah diberitahu tentang keadaan perang itu sampai di mana. Kita pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pesawat terbang Belanda dikejar-kejar oleh pesawat pemburu Jepang dan pasukan kita tidak melihat dengan asyiknya tanpa mengerti apa yang telah terjadi,” aku Abdul Latief.
Baca juga: Di Kalijati, Kekuasaan Belanda Diakhiri
Kejadian yang terasa aneh kemudian dialami Latief. Tentu dialami pula oleh para wamil selain dirinya.
“Beberapa hari kemudian tahu-tahu kita mendengar bahwa tentara Belanda telah menyerah. Bersamaan dengan itu terjadi pemberontakan dan Belanda menyatakan itu adalah perampokan ke toko-toko Cina di Soreang. Entah bagaimana senjata kita yang sudah dilucuti itu tiba-tiba diambil kembali dan kita disuruh mengadakan patroli pengamanan. Itu terjadi atas perintah siapa saya tidak tahu,” sambung Latief yang kemudian menjadi tawanan perang.
Ketika ditawan ini, Latief bertemu perwira pribumi yang juga ditawan, yakni Oerip Soemohardjo. Ketika kebanyakan KNIL Jawa atau pribumi lain kemudian dibebaskan, Oerip dan Latief termasuk di dalamnya. Namun sebelum dibebaskan, Latief remaja diberikan tontonan tak mendidik oleh tentara-tentara Jepang yang menjadi guru jenderal Orde Baru ini.
Baca juga: Orde Teror
“Kurang dua hari dari kepulangan kami, terjadilah pelarian serdadu KNIL Belanda sebanyak 12 orang dan akhirnya ditangkap. Setelah mereka dihajar habis-habisan pada pagi harinya diarak keliling kamp tawanan kita dengan tambang (tali) kapal dan terus dibawa ke lapangan dan dijajarkan,” aku Latief.
Mereka kemudian dieksekusi mati. Latief sendiri setelah bebas kembali ke Jawa Timur. Bukan ke rumah ayahnya, tapi ke rumah kakeknya yang menjadi kepala sekolah di Mojokerto. Sepanjang zaman pendudukan Jepang, Latief tak sekolah lagi. Dia hanya bekerja di kehutanan lalu ikut pelatihan pemuda hingga 1945.