Setelah membaca artikel “Jenderal Yani dan Para Asistennya”, Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo langsung memberikan tanggapan. Selain para asisten, menurutnya masih ada tiga jenderal lagi yang belum disebut perannya. Mereka adalah perwira tinggi yang menjabat sebagai deputi Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad).
“Para deputi juga punya saham penting dalam mutu tinggi SUAD Yani,” ujar sesepuh TNI AD Angkatan ‘45 itu kepada Historia.
Para deputi yang dimakud ialah Mayjen Moersjid (Deputi I), Mayjen R. Soeprapto (Deputi II), dan Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono (Deputi III). Ketiga deputi ini merupakan wakil Yani yang membawahkan beberapa asisten. Sementara pengangkatan asisten tidak terlepas dari rupa-rupa kompromi, namun tidak demikian halnya untuk para deputi.
“Mereka semua memang pilihan Yani,” kata Sayidiman. Bersama trio deputinya, Yani membentuk Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) yang solid dan cenderung intelektual.
Rekam Jejak
Dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD, Harsja Bachtiar mencatat Moersjid lahir pada 10 Desember 1924 di Jakarta. Namun menurut keluarganya, Moersjid lahir pada tanggal yang sama tahun 1925. Morsjid berasal dari Divisi Siliwangi.
“Saya kenal Pak Moersjid sejak tahun 1950 di Siliwangi, sebagai senior yang tak terlalu beda umur,” tutur Sayidiman. Saat itu Moersjid menjadi komandan Resimen 11 Cirebon sedangkan Sayidiman komandan Batalion 309. Mereka sama-sama bertugas menumpas pemberontakan Darul Islam pimpinan Kartosoewiryo. Setelah itu, Moersjid mengikuti pendidikan lanjutan infantri di Fort Benning U.S. Army Infantry School, Georgia, Amerika Serikat.
Pada 1958, Moersjid memimpin operasi “Merdeka” dengan misi menumpas Permesta di Sulawesi Utara. Di sana, Moersjid menjabat sebagai panglima Kodam Merdeka hingga 1959. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letjen Abdul Haris Nasution kemudian menarik Moersjid ke Jakarta. Dalam jabatannya sebagai Asisten II KSAD/Operasi, Moersjid sempat bertaruh nyawa di tengah samudra ketika menggelar operasi inflitrasi ke Irian Barat. Episode menegangkan itu terekam dalam “Pertempuan Laut Aru” pada 15 Januari 1962.
Baca juga:
Sebelum Pertempuran di Laut Aru
Moersjid sebagaimana ditulis Julius Pour dalam Konspirasi Di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul, “terkenal sebagai perwira pemberani. Bahkan, anak buahnya memberinya sebutan ‘jagoan tempur’”.
Sementara itu, Soeprapto tergolong perwira senior yang berasal dari Divisi Diponegoro. Dia lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada 24 Agustus 1920. Soeprapto memulai karier militernya sebagai jebolan Akademi Militer Belanda (KMA) di Bandung. Di masa revolusi, Soeprapto menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sebelum menjadi deputi Yani, Soeprapto merupakan Deputi Nasution untuk urusan wilayah (Deyah) Sumatra.
Dalam memoarnya, Nasution mengenang kedekatan dirinya dengan Soeprapto sedari zaman taruna KMA. Nasution merupakan senior pembimbing Soeprapto di KMA sehingga keduanya cukup akrab. Pada masa Jepang, keduanya menjadi instruktur pemuda dan mengikuti latihan Jepang bersama-sama. Bagi Nasution, Soeprapto orang yang berdedikasi dalam tugas dan berpembawaan sederhana.
Baca juga:
Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan
“Soeprapto adalah seorang pejabat, yang dapat dikatakan tidak punya musuh, hanya punya kawan,” tutur Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru.
Kemudian, Harjono lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Kiprah kemiliteran Harjono jauh dari hingar-bingar pertempuran. Pada periode revolusi, Harjono banyak bertugas sebagai perwira penghubung (liaison officer). Pada 1948, Harjono menjadi Kepala Bagian Penerangan merangkap Juru Bicara Staf Angkatan Perang. Harjono dikenal sebagai perwira cerdas yang fasih beberapa bahasa asing, yakni bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman.
“Kepandaian menggunakan bahasa asing inilah yang dapat digunakan sebagai bekal dalam perundingan sebagai sekretaris dalam bidang militer pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949 dan sebagai Atase Militer di negeri Belanda, tahun 1951,” tulis Brigjen dr. Soedjono dalam Monumen Pancasila Sakti.
Baca juga:
Profil Pahlawan Revolusi: MT Haryono, Calon Dokter yang Memilih Jadi Tentara
Sebelum menjadi deputi Yani, Harjono menjabat sebagai direktur Intendans AD dan kepala Seksi Bahan-bahan Strategis Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Di luar dinas militer, Harjono punya hobi unik yang jarang digandrungi tentara pada umumnya, yakni bercocok tanam anggrek dan mendengarkan lagu klasik.
Deputi Pilihan
Pada 23 Juli 1962, Presiden Sukarno mengangkat Ahmad Yani sebagai KSAD menggantikan Nasution. Ketika Yani memegang tampuk pimpinan Angkatan Darat, posisi wakil KSAD ditiadakan dan digantikan oleh dua deputi. Moersjid ditunjuk sebagai Deputi I/Operasi yang membawahkan Asisten I/Intelijen dan Asisten II/Operasi. Sementara itu, Soeprapto yang menjadi Deputi II/Administrasi yang membawahkan Asisten III/Personalia dan Asisten IV/Logistik.
Baca juga:
D.I. Pandjaitan, Balada Jenderal Pendeta
Dalam perkembangannya, menurut pengamat sejarah militer Universitas Pertahanan Donatus Donny A. Sheyoputra, peran sosial-politik TNI-AD kian menguat. Maka Yani memperluas organisasi Angkatan Darat dengan membentuk Asisten Teritorial, Kekaryaan, dan Keuangan. Untuk itu, para asisten tambahan tadi dipandang perlu untuk dipimpin oleh seorang deputi khusus. Dari sinilah cikal bakal Deputi III/Pembinaan.
“Deputi inilah yang akhirnya membawahi asisten-asisten yang membidangi urusan sosial politik tadi. Maka dipilihlah M.T. Harjono,” ujar Donny kepada Historia. Secara resmi, pengangkatan Harjono sebagai Deputi III terjadi pada 1 Juli 1964.
Dari semua deputi, Moersjid merupakan perwira termuda. Meski paling “belia” secara usia, tapi soal pengalaman tempur, Moersjid-lah yang paling kenyang jam terbang. Sayidiman mengatakan, Moesjid yang paling muda namun dinamis. Tipikal komandan pasukan yang sukses dan dapat berpikir Barat. Moersjid punya ciri umum yang paling mirip dengan Yani. Oleh karena itu, menjadikannya sebagai Deputi I bidang operasi tentu pilihan yang wajar.
Baca juga:
Moersjid, Jenderal Pemarah yang Disegani Sukarno
Tapi sebagai deputi yang sehari-hari mengurusi operasional, Moersjid jauh dari kesan perwira pemikir. Citra sebagai perwira intelektual lebih tepat disandingkan terhadap Soeprapto dan Harjono. Keduanya merupakan tipikal pemikir, namun Soeprapto lebih berorientasi militer daripada Harjono
Soeprapto lama berkecimpung sebagai perwira staf di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Sebagai deputi yang memegang urusan administrasi, Soeprapto berpandangan visioner. Sebagaimana dituturkan Soedjono, Soeprapto berencana membangun rumahsakit bagi tentara yang setara dengan rumahsakit militer di Amerika Serikat. Selain itu, dia juga punya niatan mengubah bangunan MBAD dan Museum Angkatan Darat.
“Soeprapto, pendidikan dan sifat-sifatnya menjadikannya perwira staf yang brilian. Ini juga penting untuk staf umum,” kata Sayidiman.
Baca juga:
Ahmad Yani, Sang Flamboyan Pilihan Bung Karno
Sementara itu, Harjono punya pengalaman luas di kancah politik-ekonomi dan diplomasi. Menurut Rum Ali dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Harjono merupakan salah satu perwira teras di Markas Besar Angkatan Darat yang akrab dengan orang-orang intelektual dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Haryono kerap berdiskusi tentang perpolitikan nasional dengan rekan-rekannya dari PSI seperti Soedjatmoko dan Rosihan Anwar.
“Harjono adalah seorang intelektual bermutu,” tutur Sayidiman, “Ini amat mengkompensasi kurangnya pengalaman sebagai militer lapangan.”
Menuju Prahara
Memasuki tahun 1965, suasana politik dalam negeri makin memanas. Rosihan Anwar menyebut masa itu diliputi segitiga kekuasaan antara Sukarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Berawal dari desakan PKI soal pembentukan Angkatan Kelima untuk mempersenjatai buruh dan tani yang ditentang keras oleh Angkatan Darat.
Pada bulan April 1965, Yani mengadakan seminar di Angkatan Darat. Tuan rumahnya adalah Seskoad tapi yang menjadi ketua panitia seminar ialah Soeprapto. Dari seminar itu kemudian lahir suatu pemikiran “waspada musuh dari Utara” tanpa menyebut negara.
Baca juga:
Profil Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis
“Ketika Bung Karno mendengar itu, dia mengkritik karena konotasi Utara itu selalu mengarah pada Tiongkok. Padahal, Bung Karno sedang membangun poros Jakarta-Peking,” kata Donny. “Bagi Sukarno musuh itu setiap yang mengancam kedaulatan negara seperti Nekolim. Kekuatan Nekolim itu bisa ada di Federasi Malaysia, Singapura, dan Austalia di Selatan.”
Saling tebar isu pun bergulir. Muncul desas-desus Dewan Jenderal yang bertujuan mengoreksi kebijakan politik Presiden Sukarno. Rumor Dewan Jenderal itu melibatkan beberapa pucuk pimpinan Angkatan Darat. Selain Yani, para deputinya yang kritis seperti Soeprapto dan Harjono ikut kena sorotan. Soeprapto disebut-sebut bagian dari Dewan Jenderal sedangkan Harjono dianggap tidak loyal kepada Bung Karno.
“Berita yang dibuat-buat Aidit tentang adanya Dewan Jenderal yang dibunga-bungai oleh Biro Chusus dan kemudian disebar-luaskan melalui berbagai saluran, terbukti merupakan sebuah berita disinformasi yang luar biasa efektif, yang dengan cepat menyebar ke seluruh negeri seperti api kebakaran hutan yang hebat,” tulis sejarawan Ceko Victor Miroslav Fic dalam Kudeta 1 Oktober 1965.
Baca juga:
Misi Rahasia Jenderal S. Parman
Puncak dari prahara itu meletup dalam Gerakan 30 September 1965. Yani, Soeprapto, Harjono (bersama dua asisten Parman dan Pandjaitan serta seorang oditur Soetoyo Siswomihardjo) gugur di tangan para prajurit Tjakrabirawa yang tergabung dalam Gerakan 30 September. Sementara itu, Moersjid harus mengalami nelangsa dalam tahanan rezim Orde Baru selama empat tahun tanpa alasan yang jelas.