Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Pelukis Sudjojono Angkat Senjata

Ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sejak zaman kolonial Belanda, Sudjojono angkat senjata ketika ibukota Yogyakarta diduduki Belanda.

Oleh: M.F. Mukthi | 04 Feb 2021
Sudjojono (kedua dari kanan) bersama para pelukis SIM. Mereka mengungsi ketika Yogya diduduki Belanda dan Sudjojono angkat senjata. (Repro "Sudjojono dan Aku")

Dari tempat pengungsiannya di Desa Bogem, Prambanan, Yogyakarta, Sudjojono berkunjung ke kota Yogyakarta sekira tanggal 16 atau 17 Desember 1948. Kepergian “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia” ke ibukota republik itu adalah untuk membicarakan persiapan pameran tunggalnya.

“Sebanyak 45 buah lukisan akan dipamerkan seluruhnya. Sebagian dari zaman PERSAGI, sebagian dari zaman Jepang, sebagian dari Biro Perjuangan, dan sebuah dua yang dibuatnya di Bogem,” ujar Mia Bustam, istri Sudjojono, dalam memoar berjudul Aku dan Sudjojono.

Namun, pameran tersebut batal dilaksanakan karena pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Kedua dan menduduki Yogyakarta. Lukisan-lukisan Sudjojono yang bakal dipamerkan sendiri musnah ketika disembunyikan.

Advertising
Advertising

“Lukisan itu disimpan, kemudian ditemukan dan dihancurkan oleh tentara-tentara Belanda, ditembak-tembak,” kata Dosen FSRD ITB Aminudin TH Siregar dalam dialog sejarah di Historia bertajuk “Seni dan Politik: Riwayat Sudjojono dan Karya-karyanya, 21 Juli 2020.

Baca juga: Adam Malik Hilangkan Sketsa-sketsa Karya Sudjojono

Sudjojono baru berhasil berkumpul kembali dengan keluarganya pada 20 Desember. Mereka lalu mengungsi ke Desa Kragan di utara Bogem malam itu juga. Di sana mereka ditampung Dirjo Pawiro yang menjabat sebagai Kamitua desa. Di rumah itu pula kemudian bermarkas sepasukan Tentara Pelajar (TP).

Di utara Kragan, terdapat markas Militaire Academie (MA) atau Akademi Militer Yogyakarta (AMY). Pada suatu malam, para kadet MA bergabung dengan para prajurit TP merencanakan penyergapan markas Belanda di Bogem. Mengetahui rencana itu, Sudjojono ikut bergabung.

“Mas Djon ikut bersama mereka, membawa sepucuk karaben pasukan MA yang tersisa. Ia pamit padaku, muncul dengan berikat kepala. Aku tertawa geli melihatnya. Ia lebih mirip penari ngremo, yang tampil membuka lakon di panggung ludruk, ketimbang seorang gerilyaawan yang siap bertempur,” kenang Mia.

Sudjojono bukan satu-satunya seniman yang ikut angkat senjata. Dalam Perang Kemerdekaan, banyak seniman yang ikut angkat senjata. Meski tak semua bertempur, mereka berjuang dengan beragam cara, seperti menjadi telik sandi, pendukung kerja teknis, atau penghibur. Selain Sudjojono, seniman-seniman di Yogya yang ikut angkat senjata antara lain pelukis Haryadi dan pelukis Supono.

Baca juga: Petualangan George Kahin di Yogyakarta (1)

“Supono harus mondar-mandir dari desa ke kota atau sebaliknya. Dalam mondar-mandir dari desa ke kota atau sebaliknya itu, dia melukis bersama Moh. Affandi sebuah jembatan yang sering mereka lalui telah hancur karena diledakkan sendiri oleh pasukan gerilya,” tulis Tashadi dalam Partisipasi Seniman dalam Perjuangan Kemerdekaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setelah berpesan kepada bapaknya, Sindudharmo, agar menjaga anak-istrinya, Sudjojono pun berangkat. Di tengah perjalanan, Sudjojono baru mengetahui bahwa Pak Sindu ternyata ikut serta dalam penyergapan itu dengan berbekal golok dan granat gombyok –granat buatan sendiri berupa bahan peledak yang dimasukkan ke dalam bumbung dan diujungnya diikatkan seutas tali. Sudjojono jelas tak bisa melarangnya apalagi marah. Sudjojono tahu bapaknya memendam kesumat terhadap Belanda sejak masih menjadi kuli kontrak di sebuah perkebunan di Sumatera Utara.

Perlawanan dilakukan para gerilyawan dengan cara hit and run. Saat malam, mereka menyerang dan ketika siang mereka menghilang.

“Serangan terbatas secara sporadis dilakukan oleh gerilyawan di sekitar kota Yogya, penghadangan konvoi Belanda di jalan raya dan penyergapan pos Belanda yang terpencil,” tulis buku berjudul Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya.

Baca juga: Abu Bakar, Gerilyawan Indonesia dari Jepang

Akibatnya, Belanda kerepotan dan mengamuk. Desa-desa di sekitar wilayah penyerangan biasanya langsung “dibersihkan”. Sasaran yang dipilih pasukan Belanda seringkali asal. Penduduk acap menjadi korban. Terlebih bila yang melakukan serangan adalah pesawat “cocor merah” Mustang. Pos PMI di Sleman Timur bahkan tak luput jadi sasaran serangan itu.

“Selama Januari dan Pebruari 1949 musuh aktif melancarkan penyerbuan dan pembersihan di bagian-bagian selatan, mulai dari Yogya dan Maguwo –Prambanan sampai ke onderdistrik-onderdistrik Bantul yang terselatan,” tulis AH Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Perang Gerilya Semesta II.

Suatu kali, Gufron Dwipayana – kelak menjadi brigadir jenderal dan memimpin Perusahaan Produksi Film Negara – dari TP kembali ke desa dengan sedih. Sebelas kawannya gugur dimangsa pesawat Belanda, katanya.

“Di tengah sawah itu terjadi. Aku sendiri selamat, tapi tak bisa apa-apa, karena aku membenamkan diri di lumpur,” kata Dwipayana, dikutip Mia yang ikut menangani dapur umum di Kragan.

Kendati begitu, para pejuang Indonesia tidak pernah menyerah. Meski serangan dari kedua belah pihak sempat mereda pada Februari-Maret, pertempuran kembali sengit pada April. Belanda kembali “kalap”, terlebih setelah kota Yogya diserang dalam Serangan Umum. Pada 11 April 1949. Sleman Timur, termasuk Kragan di dalamnya, dibombardir dari segala penjuru.

Sudjojono segera pulang untuk menyelamatkan sketsa-sketsanya dan dokumen-dokumen penting miliknya. Setelah selesai menyelamatkan barang-barang berharganya, dia kembali kabur bersama Gulam Mohamad, desertiran pasukan Sekutu-Inggris, dan Pak Sindu. Mereka pulang pada petang hari. Mia bersama ketiga anaknya mengantar sampai ke perbatasan desa.

Mereka lalu kembali pergi. Sudjojono membawa sketsa-sketsanya, Pak Sindu membawa dokumennya, dan Gulam membawa buntalan yang isinya hanya dia yang tahu. Mereka berlarian di bawah hujan tembakan lawan. Di jalan yang agak menanjak dan terbuka, Gulam masuk ke parit di tepi kanan jalan sementara Sudjojono dan Pak Sindu terus berlari.

Baca juga: Kisah Bung Dullah dalam Lukisan Sudjojono

Dalam pelarian itu, tiba-tiba Sudjojono mendengar bapaknya berkata tertembak dan kemudian menutup matanya dan roboh. Tubuh Pak Sindu langsung dibalikkannya. Meski tak banyak mengeluarkan darah, dada Pak Sindu mengeluarkan suara aneh. Sudjojono langsung mencium sang bapak sambil berbisik lirih, “Pak, Bapak masih mendengar aku?” Pertanyaannya hanya berjawab anggukan lemah. Melihat kondisi kritis bapaknya, Sudjojono segera mengumpulkan dokumen-dokumen yang dibawa Pak Sindu dan menciumnya.

“Pak, Bapak terpaksa kutinggal di sini. Sket-sket dan dokumen ini harus aku selamatkan. Kalau Bapak haus, di kanan jalan ada parit. Airnya bening. Bapak bisa minum,” kata Sudjojono sebagaimana dikisahkan Mia.

Lagi-lagi kalimat Sudjojono hanya berbalas anggukan lemah. Kondisi Pak Sindu kian kritis.

“Pak, umpama Bapak mati, bukan mati konyol. Bapak mati berjuang melawan Belanda. Menyelamatkan dokumen juga perjuangan, Pak. Sudah, Pak. Selamat, Pak. Aku terpaksa dan harus cepat-cepat pergi,” Sudjojono melanjutkan percakapan.

Setelah mencium kembali sang bapak, Sudjojono langsung berlari sambil sesekali tiarap menghindari peluru Belanda. Semak-semak di tepi jalan kerap dia jadikan sebagai tempat perlindungan dalam pelarian itu.

Ketika sudah aman, Sudjojono kembali ke tempat ayahnya tertembak. Namun, dia tak mendapatkan yang dicarinya. Seseorang yang ada di sana lalu mendekati Sudjojono. “Pak Djon mencari Pak Sindu? Sudah dibawa ke Jolanan. Orang menemukan Pak Sindu telungkup di pinggir parit,” kata orang itu.

Baca juga: Sudjojono, Proklamator Seni Rupa Modern Indonesia

Menjelang senja, Sudjojono tiba di rumah. Dengan sedih dia memberitahu istrinya. “Bapak telah gugur, Jeng. Kena tembak,” katanya pada sang istri Mia.

“Aku tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ingatanku kembali pada beberapa hari lalu, ketika bapak kuantar dengan pandang mataku di batas desa. Bapak sangat mengasihi aku. Kuikuti dengan mata langkah-langkah bapak yang agak terbungkuk-bungkuk. Di tikungan jalan, Bapak dan Minah berhenti, sebentar menoleh sambil melambaikan tangan. Aku sama sekali tidak menangkap firasat, ketika itulah saat pertemuan kami terakhir dengan bapak,” kenang Mia.

TAG

sudjojono agresi belanda perang kemerdekaan

ARTIKEL TERKAIT

Sudjojono Dipecat PKI Ratu Elizabeth II dan Lukisan Sunda Kelapa Ç'est la vie, Tedjabayu! Kala Perempuan Memberi Pelajaran Tuan Perkebunan Kisah Lucu di Tengah Liburan Bung Karno Bareng Pelukis Ketika Chairil Anwar Digelandang Serdadu Jepang Adam Malik Hilangkan Sketsa-sketsa Karya Sudjojono Sudjojono, Proklamator Seni Rupa Modern Indonesia Link Live Streaming Diskusi Historia.id: Riwayat Sudjojono dan Karyanya Kisah Bung Dullah dalam Lukisan Sudjojono