Pada Maret 1946, Mayor Slamet Riyadi, komandan Batalion II Resimen 26 Divisi X, mendapat tugas di front selatan Semarang, yaitu di Srondol. Kekuatannya hampir satu batalion (Kompi I, III, dan IV), sedangkan Kompi II bertugas di Padalarang, Jawa Barat. Tiga batalion dikerahkan untuk menahan gerakan pasukan Belanda dengan garis pertahanan membentang dari Srondol ke arah timur sampai di Mranggen.
Laporan intelijen menyebutkan dalam mempertahankan Semarang sebagian besar pasukan Belanda tinggal di asrama Jatingaleh. Asrama militer bekas pasukan Jepang ini dijadikan pusat pertahanan Belanda di Jawa Tengah, sehingga dihuni oleh pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, lengkap dengan kendaraan lapis baja.
“Posisi strategis Jatingaleh agaknya menggoda Mayor Slamet Riyadi untuk mencoba menghancurkan asrama militer tersebut,” tulis Julius Pour dalam biografi Slamet Riyadi, Dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas RMS.
Baca juga: Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda
Slamet Riyadi mengajak rekannya sesama anggota Resimen 26, yaitu Batalion Soenitioso dan Batalion Soeharto Goegoet. Mereka sepakat membagi tugas penyerangan. Pasukan Soenitioso dan Soeharto menyerang dari arah selatan sebagai serangan pancingan (afleidings actie). Sedangkan pasukan Slamet Riyadi dengan kekuatan Kompi Suradji dan Kompi Sadono menyerang dari arah timur masuk ke asrama Jatingaleh.
Serangan pancingan tidak perlu besar, tapi cukup untuk menyibukkan musuh agar sulit konsentrasi menghadapi serangan Slamet Riyadi.
“Peristiwa penyerangan ke tangsi Jatingaleh terjadi pada 8 Agustus 1946 atau bertepatan dengan tanggal 9 bulan puasa. Ini merupakan gagasan Mayor Slamet Riyadi untuk memperingati ulang tahun pertama Republik Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1946 sebagai ulang tahun pertama Republik Indonesia harus diperingati secara militer, bukan dengan penaikan bendera dan berbaris, tetapi dengan menggempur Belanda,” tulis Keluarga Besar SA/CSA dalam Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, Brigadir Jenderal (anumerta).
Baca juga: Wabah Penyakit Kala Puasa Ramadan
Tiba saatnya melakukan serangan pada dini hari tanggal 8 Agustus 1946. Slamet Riyadi dan pasukannya bergerak dari arah timur mendekati pagar asrama. Dengan tiga buah tang, mereka membuat dua lubang pada pagar kawat yang hanya dapat dilewati satu orang.
Slamet Riyadi menunggu serangan pancingan, namun pasukan Soenitioso dan Soeharto belum juga muncul. Setelah ditunggu beberapa waktu tetap tidak ada tanda-tanda serangan pancingan datang dari arah selatan.
“Afleidings acties (serangan pancingan) yang telah disepakati bersama ternyata gagal muncul justru pada saat kritis,” tulis Keluarga Besar SA/CSA.
Slamet Riyadi pun memutuskan tetap menyerang asrama meskipun tanpa serangan pancingan. “Ketika sebagian anak buah Slamet Riyadi sudah berhasil masuk ke halaman asrama, tiba-tiba menyala lampu sorot. Sinarnya terang benderang, membikin suasana di sekitar pagar yang sudah bobol bagaikan tengah hari,” tulis Julius Pour.
Sorotan lampu itu diikuti rentetan tembakan senjata otomatis dan mortir ke arah pasukan Slamet Riyadi, baik yang telah masuk ke halaman asrama maupun yang masih bergerombol untuk melewati lubang-lubang pagar kawat.
Baca juga: Perang Jawa Libur Selama Ramadan
Pasukan yang berhasil masuk lewat pagar kawat dan berada di halaman asrama sebanyak 52 orang. Yang masih berada di luar pagar jumlahnya kurang lebih sama.
Pasukan yang sudah berada di halaman asrama segera mengalihkan penyerangannya, tidak lagi kepada para penghuni gedung, tetapi ke arah lampu-lampu sorot.
“Dua buah lampu besar yang bersifat stasioner dapat dilumpuhkan dan satu unit senapan mesin dapat dibungkam. Kesempatan ini dipergunakan untuk meloloskan diri serta untuk mengungsikan korban-korban ke tempat-tempat yang lebih aman,” tulis Keluarga Besar SA/CSA.
Baca juga: Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan
Slamet Riyadi menyadari berada dalam keadaan gawat. Rencana serangannya telah gagal. Bila terlambat menarik pasukan akan terjebak di dalam asrama. Dia pun segera memerintahkan pasukannya mundur.
Slamet Riyadi kehilangan 57 orang atau sekitar separuh pasukannya: 27 orang gugur di dalam asrama, 10 orang gugur di luar asrama termasuk Komandan Kompi Kapten Sadono, 9 orang ditawan, dan 1 orang luka-luka.
Setelah penyerahan kedaulatan pada Desember 1949, tentara Belanda menyerahkan 8 orang tawanan: 3 orang dalam keadaan sehat dan tidak invalid (cacat), 2 orang kehilangan kedua kakinya, 1 orang kehilangan satu kakinya, 2 orang kehilangan kedua lengannya, dan 1 orang tidak diketahui atau missing in action (hilang dalam pertempuran).
Baca juga: Wali Kota Padang Berpulang di Bulan Ramadan
Menurut Julius Pour, kegagalan dalam aksi penyusupan ke asrama Jatingaleh sangat memukul Slamet Riyadi. Meskipun demikian, dia tidak pernah mempersoalkan mengapa dua batalion rekannya, yang seharusnya mengawali serangan pancingan tidak muncul.
“Peristiwa Jatingaleh merupakan tragedi besar bagi Slamet Riyadi dan Batalion II. Namun, dari pengalaman itu pahlawan kita menjadi lebih bijak di samping lebih pandai berperang. Sayang, kenekatannya pantang reda. Rupanya dia memang ditakdirkan untuk mati dalam pertempuran, atau menurut orang Jepang ‘pecah sebagai ratna’,” tulis Keluarga Besar SA/CSA.
Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur pada 4 November 1950 ketika memimpin operasi menumpas Republik Maluku Selatan oleh tembakan sniper di depan Fort Victoria, Ambon, Maluku.