Masuk Daftar
My Getplus

Jonosewojo Jadi Jenderal di Usia 24 Tahun

Jenderal mayor ini diberhentikan karena terlibat penculikan jenderal mayor. Merintis lagi dari mayor hingga butuh dua dekade untuk kembali jadi mayor jenderal.

Oleh: Petrik Matanasi | 26 Jan 2023
Jenderal Mayor TNI Jonosewojo. (Betaria Sarulina/Historia.ID).

Pasukan Mayor Sabarudin Nasution dari Jawa Timur tiba di Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta. Panglima Besar Jenderal TNI Soedirman dan Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo sedang rapat. Sampai akhirnya Jenderal Mayor TNI Mohamad Mangundiprojo tiba dan didatangi Kapten Ali Umar, anak buah Sabarudin.

“Angkat tangan!” todong Ali Umar.

“Tidak mau!” tolak Mohamad.

Advertising
Advertising

Kapten kepercayaan Sabarudin itu lalu menggebuk Mohamad. Anak buah Ali Umar lalu meringkus dan menginjak-injak sang jenderal. Rupanya pengawal MBT tidak berkutik melihat tindakan anak buah Sabarudin itu. Mohamad lalu dibawa dengan truk ke arah Jawa Timur. Ia hampir mati.

Baca juga: Sabarudin Berebut Perempuan Berbuntut Kekejaman

Peristiwa itu terjadi pada Januari 1946. Menurut Moekhardi dalam R. Mohamad dalam Revolusi 1945 Surabaya, berkat bujukan Kolonel Soediro, maka Mohamad dibebaskan Sabarudin.

Setalah kasus penculikan itu, dilakukan penyelidikan. Kasus ini membuat karier Sabarudin tamat untuk sementara waktu. Ia dihadapkan ke Mahkamah Agung Militer. Rupanya Jenderal Mayor Jonosewojo terlibat dalam kasus itu.

Mahkamah yang digelar pada Mei 1947 memvonis Sabarudin tujuh tahun penjara dan Jonosewojo 18 bulan penjara. Keduanya diberhentikan dari ketentaraan. Sementara para perwira lain yang terlibat diturunkan pangkatnya jadi prajurit dan dipenjara 100 hari.

Baca juga: Sabarudin Ditakuti Sekaligus Dihormati

Kala itu tidak ada pangkat mayor jenderal atau brigadir jenderal. Adanya jenderal mayor, pangkat di atas kolonel dan di bawah letnan jenderal. Kira-kira setara bintang satu saat ini.

Mereka tidak lama menjalani hukuman. Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947 membuat hukuman itu berakhir. Menurut Moekhardi dalam Peran Surabaya dalam Revolusi Nasional 1945, Jonosewojo ditawari kembali ke tantara sebagai Kepala Staf Brigade Surachmad dengan pangkat mayor. Jonosewojo yang masih muda menerimanya dan tetap setia kepada Republik Indonesia hingga kepergian tentara Belanda setelah Konferensi Meja Bundar pada 1949.

Jonosewojo kemudian meneruskan karier militernya di Tentara Nasional Indonesia (TNI). Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menyebut Jonosewojo menjadi Komandan Brigade G Kalimantan (1950) dan kemudian Komandan Resimen Infanteri ke-25 di Ambon (1953–1955). Di era 1950-an, komandan brigade atau resimen biasanya berpangkat letnan kolonel.

Baca juga: Akibat Surplus Jenderal dalan TNl

Dengan pangkat letnan kolonel, Jonosewojo menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorium VII Wirabuana yang membawahkan Indonesia Timur sebelum tahun 1957. Ketika berpangkat kolonel, ia pernah menjadi Kepala Staf Komando Antar Daerah Indonesia Timur hingga 1958.

Jonosewojo kemudian menjadi Asisten II Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dari 1966 hingga 1970. Jabatan ini biasanya disandang seorang brigadir jenderal. Jadi, setelah hampir 20 tahun kasus penculikan Jenderal Mayor TNI Mohamad Mangundiprojo, Jonosewojo akhirnya kembali mendapatkan bintang satunya lagi. Sebelum pensiun tahun 1970-an, ia telah meraih pangkat mayor jenderal.

Jonosewojo alias Mas Piet lahir di Surabaya pada 9 Juni 1921. Menurut Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985–1986, ia adalah putra Pangeran Soejono Handajaningrat dari Keraton Solo. Ia mengaku kakeknya, KGPAA Mangkunegara VI adalah musuh Belanda.

Baca juga: Para Perwira Angkatan Darat Didikan Amerika Serikat

Cita-cita Jonosewojo menjadi dokter tidak kesampaian karena tantara Jepang keburu datang. Bahkan, ia harus keluar dari sekolah AMS B, Surabaya, dan bekerja di pabrik gula Lestari, Kertosono, Jawa Timur selama enam bulan. Sejak 1943, ia menjadi tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta) dan mengikuti pendidikan militer Seinen Dojo di Tangerang, Rensei Tai di Bogor, dan Tokubetsu Kyoiku.

Karier militer Jonosewojo berlanjut setelah Indonesia merdeka. Pada akhir 1945 kala usianya 24 tahun, ia menjadi salah satu jenderal termuda dalam sejarah Indonesia. Ia pernah mengikuti pendidikan militer SSKAD di Bandung dan Command General Staff College Regular Course di Fort Leavenworth, Amerika Serikat.

Di samping berkarier di militer, Jonosewojo juga dikenal sebagai tokoh olahraga. Ia menjadi ketua beberapa organisasi persatuan olahraga, seperti tenis, angkat besi, binaraga, dan basket. Ia tutup usia di Jakarta pada 22 Maret 1994.*

TAG

tni ad jonosewojo sabarudin

ARTIKEL TERKAIT

Jadi Perintis Jalan, Bung Tomo Jatuh ke Jurang Kisah Penculikan "Menteri Pertahanan RI" Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Serdadu Ambon Gelisah di Bandung M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Saat Brigjen Djasmin Dikata Pengkhianat Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Kopral Roeman Melawan Teungku Leman