Masuk Daftar
My Getplus

Jagoan Udara Bernama Leo Wattimena

Lihai di udara, setia kawan di darat. Di balik sisi gilanya, Leo Wattimena adalah pribadi yang banyak disenangi para koleganya.

Oleh: Martin Sitompul | 02 Nov 2020
Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto bersama Komodor Leo Wattimena sedang menyusun strategi pembebasan Irian Barat. (Pusjarah TNI AD)

Jangan coba-coba meniru aksi Leo Wattimena. Pesan itu tercetus dari kolega Leo sendiri sesama penerbang, Roesmin Noerjadin. Di kalangan sejawatnya, Leo terkenal sebagai penerbang “gila”. Kepiawaiannya dalam menerbangkan pesawat sambil akrobatik tidak dapat ditandingi siapapun.  

“Saya pernah meniru satu kali, tapi langsung diperingatkan Pak Roesmin Noerjadin, agar jangan meniru orang gila itu lagi,” kenang Moesidjan. Pada 1958, Moesidjan salah satu penerbang pesawat tempur P-51 Mustang dalam Skadron 3 AURI yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Komandan skadronnya saat itu ialah Roesmin Noerjadin.

“Kalau kamu ulangi, kamu enggak usah jadi penerbang tempur,” kata Roesmin ditirukan Moesidjan dalam Pahlawan Dirgantara: Peranan Mustang dalam Operasi Militer Indonesia suntingan Soemakno Iswadi.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Leo Wattimena, Si Gila Kebanggaan AURI

Teguran itu bukan tanpa alasan. Belajar dari pengalaman, seorang penerbang lain pernah mengalami kecelakaan di Pangkalan Udara Hussein Sastranegara, Bandung. Gara-gara mau meniru gaya Leo Wattimena, pesawat yang dikemudikan Letnan I (Udara) Subagyo jatuh menghujam landasan ketika lepas landas. Subagyo pun gugur seketika.

Sebagai jagoan di udara, Leo Wattimena tidak bermodal keberuntungan semata. Dibandingkan rekannya sesama penerbang, Leo selalu mengambil bobot yang lebih berat untuk mengasah kemampuan. Ternyata, Leo diam-diam sudah sering melatih berbagai gaya atraksi di udara. Inilah rahasianya. Dia sering berlatih terbang di atas gumpalan awan dan menganggap awan sebagai landasan.  Ukurannya, kalau sampai pesawat menyentuh awan, berarti pesawat telah jatuh. Setelah berkali-kali percobaan, barulah atraksinya itu dilakukan di atas landasan.    

Selain giat berlatih, Leo punya postur tubuh yang menunjang untuk ukuran pilot pesawat tempur. Secara kasat mata, Leo terlihat kekar, berleher pendek, dan bertubuh gempal. Leher pendek sangat menguntungkan bagi penerbang tempur karena jarak jantung memompakan darah ke kepala menjadi dekat. Dengan demikian, sang pilot akan mudah mengatasi kondisi kehilangan kesadaran ketika berada di ketinggian tertentu.

Baca juga: 

Merekam Sejarah Penerbangan

“Postur fisik Leo memang mendukung. Di selalu bisa cepat mengatasi kondisi-kondisi blank itu. Bahkan, ia melakukan sambil tersenyum atau melambaikan tangan kepada teman terbangnya,” tulis Iswadi.

Dengan Mustang kesayangannya, Leo mengangkasa sesuka hati. Begitu pula di kalangan AURI, Leo adalah penerbang tempur yang disegani. Tapi, itu semua tidak membuat Leo lupa daratan. Di balik reputasi gemilang itu, Leo memperlihatkan kehidupan pribadi yang sederhana.

Pada 1956, Leo menikahi Corrie Dingemans seorang perempuan indo asal Jakarta. Pada awal perkawinannya, keluarga Leo tinggal di mess di kawasan Setiabudi. Sebenarnya, Leo sudah ditawari rumah besar di kota tetapi tidak diambilnya karena ingin tinggal di Halim Perdanakusuma. Pada awal 1960, keluarga Leo kemudian berpindah ke Komplek Trikora Halim.

Salah satu kebiasaan Leo yang diingat banyak koleganya adalah secara berkala mengantarkan beras kepada ibunya yang tinggal di Bandung. Dia mengantarkannya langsung dengan pesawat Mustang yang dikemudikan sendiri. Padahal, pekerjaan itu bisa dititipkan kepada anak buahnya.  

Baca juga: 

Jajan Tahu Pakai Pesawat Mustang

Dikisahkan dalam riwayat hidup Leo Wattimena yang disusun Kapten Heri Susanto dari Dispen AU, ketika operasi Trikora pembebasan Irian Barat, Leo pernah mendapat tugas mengirim gula dari Jakarta ke Makassar. Sementara itu, di rumah Leo sendiri sedang tidak ada gula. Alih-alih aji mumpung, Leo malah memilih untuk tidak mau mengambil sedikit pun gula untuk keperluan rumahnya.

“Tanpa gula kita bisa membesarkan anak-anak,” begitu kata Leo kepada istrinya.

Sekali waktu, Leo juga pernah tersulut amarah sebagai tanda solidaritasnya kepada pasukan terdepan. Pada saat makan bersama, Leo tiba-tiba membuang makanan miliknya karena menyaksikan para prajurit yang akan diterjunkan ke Irian Barat cuma dikasih makan tempe. Sementara itu, para perwira tinggi yang duduk di garis belakang mendapat jatah makan dengan lauk daging ayam. Luapan emosional itu semata-mata ditunjukkan Leo karena menghormati hak-hak prajurit yang belum tentu dapat kembali pulang dari pertempuran dengan selamat.

Baca juga: 

Operasi Jatayu, Penerjunan Terakhir di Irian Barat

Spirit de corps-nya tinggi. Leo selalu penuh dedikasi,” kenang kolega Leo yang juga mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal (Purn.) Ashadi Tjahyadi dikutip Iswadi..

Di hadapan siapapun yang mengenalnya, Leo juga tidak sungkan unjuk kebolehan selain menerbangkan pesawat. Leo memiliki hobi menyanyi, bermain musik, melukis, bahkan memasak. “Kalau ada Leo, tidak pernah sepi,” begitulah teman-temannya mengenang sosok Leo Wattimena.

 

TAG

leo wattimena tni au

ARTIKEL TERKAIT

Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik Dari Penaklukkan Carstensz hingga Serangan VOC ke Kesultanan Gowa Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api Saat Pelantikan KSAD Diboikot Hans Christoffel Memburu Panglima Polem Memori Getir Pembantaian Hama Bambang Utoyo, KSAD Bertangan Satu Jenderal Belanda Tewas di Lombok