Masuk Daftar
My Getplus

Intel Indonesia Bantu Pelarian Intel Prancis

Intelijen Indonesia selamatkan agen intelijen Prancis yang diburu karena meledakkan kapal Greenpeace.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 23 Jul 2019
Kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1981. (Hans van Dijk/Gahetna).

Kapal Rainbow Warrior milik organisasi lingkungan, Greenpeace, menjadi andalan dalam kampanye menentang uji coba nuklir Prancis di Pulau Moruroa, Pasifik. Pihak Prancis tak terima. Pada 10 Juli 1985, kapal yang tengah bersandar di Pelabuhan Auckland, Selandia Baru itu, diledakkan oleh anggota Dinas Intelijen Prancis (Direction Generale de le Securite Exterieure atau DGSE). Fotografer Greenpeace, Fernando Pereira, menjadi korban tewas.

Kepolisian Selandia Baru menangkap sepasang suami-istri asal Prancis, Alain Turenge dan Sophie Turenge. Hasil penyelidikan mengungkap bahwa keduanya adalah Mayor Alain Mafart dan Kapten Dominique Prieur, anggota Dinas Intelijen Prancis.

Peristiwa itu membuat publik marah. Pers mencecar pemerintahan Francois Mitterand. Laporan yang dirilisnya pada 27 Agustus 1985 tak memuaskan dan mengungkap kebenaran. Pelengseran Mitterand pun menguat. Menteri Pertahanan Charles Hernu mengundurkan diri.

Advertising
Advertising

Baca juga: Akhir Tragis Kapal Greenpeace Penentang Nuklir Prancis

Pada 22 September 1985 Perdana Menteri Prancis Laurent Fabius buka suara tentang keterlibatan Dinas Intelijen Prancis.

“Perdana Menteri Laurent Fabius mengakui DGSE telah memerintahkan 'netralisasi' Rainbow Warrior dalam apa yang disebut Operation Satanic,” tulis John E. Lewis dalam Terrorist Attacks and Clandestine Wars.

Laksda TNI (Purn.) Soedibyo Rahardjo. (Repro The Admiral).

Ternyata, dalam peristiwa itu, Dinas Intelijen Prancis meminta bantuan intelijen Indonesia (Sintel Hankam/ABRI) untuk menyelamatkan agennya yang diburu Kepolisian Selandia Baru.

Beberapa agen Dinas Intelijen Prancis melarikan diri menggunakan pesawat milik Prancis, UTA (Union de Transports Aériens). Pesawat itu melakukan refueling di Jakarta. Aparat dari Kedutaan Besar Selandia Baru sudah menunggu mereka di bandara Jakarta.

“Saya diam-diam meminta para agen Prancis untuk tidak turun dari pesawat selama proses pesawat UTA itu mengisi bahan bakar. Mereka selamat dari jebakan dan pulang ke Prancis,” kata Soedibyo Rahardjo dalam memoarnya, The Admiral.

Baca juga: Soedibyo Rahardjo Melawan Bisnis Senjata Keluarga Cendana

Saat itu, Soedibyo Rahardjo menjabat Paban (Perwira Diperbantukan) VII Sintel Hankam/ABRI untuk urusan luar negeri. Pada 1986, Sintel Hankam/ABRI menjadi Bais (Badan Intelijen Strategis) ABRI.

Bantuan intelijen Indonesia kemudian dibalas oleh Dinas Intelijen Prancis. Namun, Soedibyo tak menyebut kasusnya.

“Beberapa waktu kemudian ketika Sintel ABRI memerlukan kerja sama dengan Dinas Rahasia Prancis, dengan cepat mereka memenuhi permintaan kami,” kata Soedibyo yang kemudian menjabat Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI.

Soedibyo menyebut saling membantu itu sebagai “kesetiakawanan dinas intelijen.”

Baca juga: Cara Soedibyo Rahardjo Dapat Kapal Perang Gratis dari Amerika Serikat

TAG

intelijen prancis lingkungan greenpeace

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Tepung Seharga Nyawa Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Bumi Pertiwi Hampir Mati Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Strategi Napoleon di Balik Kabut Austerlitz Napoleon yang Sarat Dramatisasi D.I. Pandjaitan dan Aktivis Mahasiswa Indonesia di Jerman Topi Merah Simbol Perlawanan Rakyat Prancis Di Balik Warna Merah dan Istilah Kiri