Masuk Daftar
My Getplus

Gugurnya Mayor Bahrin Yoga

Perwira berjuluk Singa Medan Area itu gugur di tangan anak buahnya. Desas-desus beredar, mulai dari perkara wanita hingga ulah mata-mata Belanda.

Oleh: Martin Sitompul | 01 Sep 2021
Ilustrasi Mayor Bahrin Yoga. (Betaria Sarulina/Historia.id).

Suasana mencekam menyelimuti Desa Pancur Batu, Deli Serdang, 28 Juni 1947. Hari masih pagi tapi berbagai kelompok laskar dan tentara Republik sudah berjejal di mana-mana. Entah mengapa, kebanyakan dari mereka menampilkan wajah bengis. Alamat bakal terjadi pertempuran begitu terasa.

“Di sana kami mendengar berita bahwa kemarin malamnya seorang mayor ditembak oleh seorang sersan mayor,” kenang Mohammad Radjab, wartawan kantor berita Antara, dalam reportasenya yang dibukukan berjudul Tjatatan di Sumatra.

Saat itu, Radjab ditugaskan Departemen Penerangan Republik Indonesia untuk meliput kondisi perjuangan di Sumatra. Kasus penembakan yang terjadi ketika rombongannya singgah di Pancur Batu turut terekam dalam catatan Radjab. Warga setempat menyebutkan bahwa yang ditembak seorang Aceh sedangkan yang menembak orang Batak. Rombongan Radjab pun berlalu meneruskan perjalanan dengan meninggalkan kesan atas insiden yang baru saja disaksikan.

Advertising
Advertising

“Di sini terasa bahwa di samping perkataan pedas-pedas, peluru pun kerap kali dipakai untuk melepaskan kemarahan kepada lawannya,” kata Radjab.

Baca juga: Lagak Laskar Sumatra Timur

Singa Medan Area

Mayor yang gugur dalam peristiwa penembakan di Pancur Batu itu diketahui bernama Mayor Bahrin Yoga. Bahrin atau dalam beberapa sumber disebut Bahren, berasal dari Blangkejeren, Kabupaten Gayo, Aceh. Di Aceh, Bahrin berkedudukan sebagai komandan Batalion II Resimen I Divisi Gajah II di Kutacane. Namanya sebagai pejuang mulai diperhitungkan ketika terjun dalam Pertempuran Medan Area.

Menurut Akmal Nasery Basral dan Mirna Yulistianti dalam Napoleon dari Tanah Rencong, Bahrin termasuk rombongan dari Aceh pertama yang turun menjemput lawan ke front kota Medan ketika Belanda menguasai kota itu. Bersama Kolonel Muhammad Din, Bahrin membentuk kafilah pejuang Aceh yang konvoi dengan berjalan kaki sejak Februari 1946. Di dalam rombongan itu terdapat para perwira asal Gayo dan Lokop, serta para jagoan tua seperti Datok Pinding, Datok Sereyang yang disebut “Pang” (Jagoan) seperti Pang Lokop.

Di front Medan Area, Bahrin memimpin pasukan sebanyak satu batalion dari Resimen Istimewa Medan Area (RIMA). RIMA merupakan resimen khusus yang dipersiapkan untuk membebaskan kota Medan dari kekuatan militer Belanda. Bahrin menempatkan markas pasukannya di Pancur Batu dengan garis pertempuran terdepan di Tuntungan, Medan Barat.

Baca juga: Gerilyawan Aceh di Medan Area

Selain pasukan Tentara Republik (TRI), Bahrin juga mengatur pelatihan barisan rakyat bersenjata yang didatangkan langsung dari Aceh seperti Takengon, Blangkejeren, dan Kutacane. Laskar yang tergabung di bawah komando Bahrin antara lain Mujahidin, Hisbullah, dan Divisi Rencong “BAGURA” (Barisan Gurilla Rakyat) dari dataran tinggi Gayo.

Bahrin lebih banyak menggunakan waktunya di front bersama pasukan. Karena itulah Bahrin tergolong komandan yang dekat dengan anak buah.

Kendati demikian, pasukan Bahrin punya reputasi yang cukup bikin repot pihak musuh. Dalam bunga rampai Kisah Perjuangan Mempertahankan Daerah Modal Republik Indonesia dari Serangan Belanda dikisahkan anak buah Bahrin kerap beroperasi di malam hari dengan bersenjatakan parang atau senjata tajam lainnya. Target operasi mereka adalah patroli tentara Belanda yang sedang lengah. Selain itu, penyergapan juga dilakukan dengan menyamar dan menyusup ke asrama serdadu Belanda.

Operasi yang dipimpin Bahrin biasanya dilakukan menjelang subuh bersama satu atau dua pembantunya. Dari sekian banyak operasi yang dilakukan, cukup berhasil menebas pasukan Belanda yang berpatroli. Sepulang menjalani “dinas malam” itu, Bahrin dan anggotanya acap terlihat menenteng parang yang sudah berlumuran darah. Begitulah ihwal kemunculan unit pasukan pembunuh berdarah dingin “Parang Berdarah” yang ditakuti lawan maupun kawan.

Baca juga: Alkisah Kompi Parang Berdarah

Pengalaman tempur dengan jam terbang tinggi membuat Bahrin dijuluki “Singa Medan Area”. Aksi gerilyanya yang menebar teror dan ancaman menyebabkan Bahrin jadi buronan Belanda. Militer Belanda sampai membuat pengumuman sayembara berhadiah yang ditempelkan di jalan-jalan strategis kota Medan. Bunyinya: “Siapa saja yang berhasil membawa kepala Mayor Bahrin, Mayor Alamsyah, Kapten Bedjo, dan Kapten Nukum Sanany hidup atau mati dan menyerahkannya kepada Belanda, diberikan hadiah sebesar F.1000,-gulden.”  

Mayor Bahrin Gugur

Pada April 1947, Panglima Divisi Gajah I Kolonel Husein Yusuf mengangkat Bahrin menjadi komandan RIMA menggantikan Mayor Hasan Ahmad. Tapi jabatan itu tidak lama dijalankan Bahrin. Berselang dua bulan, terjadilah peristiwa yang merenggut nyawa Mayor Bahrin.

“Mayor Bahrin ditembak oleh anak buahnya sendiri, Letnan Satu Ahmad Aman Bedus, yaitu orang yang paling dipercaya dan disayanginya. Tragedi ini terjadi di markas Batalion Bahrin di Tuntungan,” kata Tengku Abdul Karim Jakobi, veteran tentara pelajar dalam Pertempuran Medan Area, dalam Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area.

Baca juga: Alkisah Senjata Berludah

Atas tindakannya, Ahmad Bedus melapor kepada komandan Resimen III terdekat di Tebing Tinggi. Setelah diinterogasi, dia kemudian dipenjara di Pematang Siantar. Motif dan latar belakang penembakan itu sendiri tidak diketahui dengan jelas. Menurut Jakobi, persoalan rivalitas, persaingan etnis, baik di kalangan TRI maupun laskar rakyat, terutama dikalangan pimpinan, memang rentan memicu konflik di antara sesama pejuang.

Kesaksian Letnan Hasan Basri dan Sersan Mayor Sahuddin, anggota pasukan Batalion Bahrin, yang dikutip Jakobi, menginformasikan bahwa penembakan bermula dari masuknya seorang wanita cantik ke komplek permukiman Batalion Bahrin. Wanita tersebut mendaku diri sebagai istri tukang warung makan dalam kompleks. Setelah itu, berhembuslah isu tidak sedap yang menimbulkan saling tuding di antara pasukan. Isu wanita penyusup kerap pula dikaitkan dengan taktik provokasi Belanda yang lazim terjadi untuk menebar perpecahan.

“Jadi musibah yang menimpa Mayor Bahrin tidak lepas dari peranan mata-mata NICA yang menggunakan wanita berparas ayu, yang melakukan adu domba dan saling curiga-mencurigai,” kata Muhammad Tuk Wan Haria, jurnalis senior di Medan, dalam Belanda Gagal Rebut Pangkalan Brandan.

Baca juga: Berburu Mata-Mata di Era Revolusi

Dalam reportasenya, Radjab mendengar indikasi kejadian penembakan itu digunakan untuk mempertajam pertentangan antara golongan Batak dan Aceh. Namun, menurut Radjab, perselisihan yang berujung penembakan itu semata-mata didorong oleh rasa dendam karena perkara kecil.

Beberapa pendapat itu masih spekulasi. Tidak ada informasi sahih atau berita acara pemeriksaan pelaku penembakan Mayor Bahrin yang disampaikan secara resmi. Posisi Mayor Bahrin sebagai komandan Komando Medan Area kemudian digantikan oleh Kapten Zain Hamid. Sampai saat ini, nama Mayor Bahrin diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Blangkejeren.

TAG

aceh laskar sumatra mayor bahrin

ARTIKEL TERKAIT

Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Kopral Roeman Melawan Teungku Leman Sejumput Kisah Sersan Baidin Sersan Zon Memburu Panglima Polim Di Masa Revolusi Rakyat Aceh Menerima Pengungsi Sebelum Sersan Pongoh ke Petamburan Darlang Sang "Radja Boekit" Meninggal di Meja Bedah Tewasnya Kapten "Sakti" Paris Ganden Sang Ksatria Fotografer Bersaudara dalam Perang Lombok dan Aceh