Masuk Daftar
My Getplus

Gerilyawan Republik Bernama Bun Seng

Dia tercatat sebagai anggota gerakan bawah tanah anti pendudukan Belanda di Padang. Berbagai aksi dilakukannya: mulai menyelundupkan senjata hingga aksi mata-mata.

Oleh: Hendi Johari | 24 Jun 2019
Letnan Muda Sho Bun Seng (kanan) bersama koleganya, Letnan Muda Aulia Biran (Dok. Letnan Kolonel (Purn.) Abdul Halim).

Bukittinggi 1947. Sjoeib panik bukan kepalang. Hingga menjelang tengah malam, tiga kadet yang ditugaskannya untuk menyelusup ke kota Padang sejak pagi buta, belum juga kembali. Dia sudah menduga ketiganya tertangkap tentara Belanda dan gagal melaksanakan misi.

“Saya sudah pasrah saja dan siap-siap melakukan rencana B, yakni memindahkan basis ke tempat lain,” kenang eks instruktur Sekolah Opsir Bukittinggi tersebut.

Beruntunglah keesokan paginya, ketiga kadet itu muncul. Dalam laporannya, mereka menyatakan diburu tentara Belanda dan terdesak hingga diselamatkan seorang pemuda Tionghoa. Sang pemuda menyembunyikan mereka di atas para-para rumahnya. Ketika tentara Belanda datang, dia bersikeras tidak mengetahui keberadaan “tiga ekstrimis” buronan militer Belanda tersebut. Siapakah sebenarnya pemuda Tionghoa itu?

Advertising
Advertising

Baca juga: Cerita Sedih dari Bukittinggi

Dia bernama Sho Bun Seng, gerilyawan TNI dari Kesatuan Singa Pasar Oesang. Bun Seng cukup populer di kalangan para Republiken. Selain mencari senjata, tugas lelaki kelahiran Kutaraja pada 1911 itu juga adalah menjalankan infiltrasi ke organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa pro Belanda untuk kemudian melakukan “pembusukan” dari dalam.

Sebagai mata-mata, peran Bun Seng memang mumpuni. Suatu hari dia bisa berlaku sebagai seorang pawang buaya, di lain kesempatan dia berperan sebagai guru sejarah. Bahkan dalam riwayat singkatnya yang dikisahkan Letnan Kolonel (Purn) Abdul Halim (eks pejuang di Sumatera Barat), Bun Seng pun pernah menjadi pemain sandiwara.

“Zaman Jepang dia memang pernah menjadi penari di Dardanella, grup sandiwara terkemuka di Sumatera yang pernah melanglangbuana ke negara-negara Asia,” ujar Abdul Halim dalam Pengalaman Tak Terlupakan Pejuang Kemerdekaan Sumatera Barat-Riau.

Baca juga: Sersan Mayor Bernama Sofia

Sikap anti Belanda Bun Seng bermula dari pengalaman masa remajanya di Padang pada 1926. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan bagaimana polisi-polisi Hindia Belanda memperlakukan secara kejam orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan kaum komunis di Silungkang.

“Peristiwa itu ikut membakar dia punya rasa keindonesiannya,”ungkap Abdul Halim.

Kala api revolusi berkecamuk di Sumatera Barat, Bun Seng memutuskan untuk bergabung dengan gerilyawan Republik pimpinan Letnan Kolonel Ismail Lengah. Karena bakat telik sandinya, Ismail Lengah lantas menugaskan Bun Seng untuk bergabung dengan Kesatuan Singa Pasar Oesang pimpinan Mayor Kemal Mustafa. Sang komandan kemudian memberikan tugas kepada pemuda Tionghoa itu untuk menginfiltrasi Pao An Tui (PAT), milisi Tionghoa yang pro Sekutu dan Belanda, di Padang.

Baca juga: Di Balik Pendirian Pao An Tui

Tanpa banyak cakap, Bun Seng melakukan tugas itu. Guna menarik perhatian orang-orang Tionghoa di Padang, dia kemudian membentuk sebuah organisasi pemuda Tionghoa bernama Pemoeda Baroe. Lambat laun, kepemimpinannya dikenal banyak orang Tionghoa hinga kemudia dia didapuk sebagai ketua PAT Padang.

Oleh Bun Seng, PAT Padang disetir ke arah Republik. Sebagai pemimpin pemuda Tionghoa, alih-alih akrab dengan Sekutu dan Belanda, dia malah memiliki hubungan khusus dengan para pejuang Republik di pelosok dan terlibat aktif dalam penyelundupan senjata-senjata dari kota untuk para gerilyawan Republik.

“Salah satu langganan Bun Seng, selain Kesatuan Singa Pasar Oesang, adalah Batalyon Harimau Koerandji pimpinan Mayor Achmad Hoesein,” ujar Sjoeib

Pada Januari 1947, PAT Padang dibubarkan karena dianggap rawan digunakan untuk kepentingan Belanda. Tak hilang akal, dia kemudian bergabung dengan organisasi sipil orang-orang Tionghoa yakni Cu Hua Cung Hui. Di organisasi ini dia diangkat sebagai koordinator keamanan.

Baca juga: Teror Pao An Tui di Medan

Jabatan itu menjadikan Bun Seng leluasa bergerak kemana-mana. Dengan alasan mengurusi persoalan orang-orang Tionghoa di Sumatera Barat, dia secara bebas bisa menemui simpul-simpul Republiknya. Tak jarang, Bun Seng pun mendapat tugas yang sangat pelik dan berbahaya dari para komandannya. Seperti pada suatu hari di tahun 1948, beberapa bulan sebelum militer Belanda melakukan agresi-nya yang kedua.

Seperti dicatat dalam buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 (Jilid I) karya Tim Penulisan Sejarah Revolusi Sumatera Barat, Bukittinggi menjadi salah satu wilayah yang dititipi “emas hitam” alias candu.  Barang tersebut dipelihara oleh pihak pemerintah Republik Indonesia sebagai modal revolusi melawan Belanda.

Letnan Kolonel Abdul Halim termasuk salah satu gerilyawan Republik yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menyalurkan “emas hitam” itu. Dia kemudian meminta kepada Bun Seng agar barang-barang itu bisa ditukar dengan senjata. Bagaimana pun caranya.

Baca juga: Hizbullah Zaman Jepang

Seperti biasa, Bun Seng menerima tugas itu. Bekerjasama dengan sebuah kesatuan TNI dari Kompi Bakapak dan suatu seksi Hizbullah pimpinan Letnan Samik Ibrahim, dia menjual puluhan kilogram candu itu ke pasaran gelap dan sukses menukarkannya dengan senjata-senjata berbagai jenis. Selain senjata, uang hasil penjualan itu pun dibelikan berbagai keperluan logistik para gerilyawan Republik.

Aktifitas berbahaya itu terus dijalani Bun Seng hingga Indonesia mencapai kedaulatannya di mata Belanda pada 27 Desember 1949. Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berkobar di Jawa Barat, Letnan Muda Sho Bun Seng sempat ikut dikirimkan oleh kesatuannya untuk ikut menumpas pemberontakan tersebut.

Usai tugas selesai, Bun Seng tidak ikut pulang bersama pasukannya ke Sumatera Barat. Dia memutuskan untuk mengelola sebuah toko kecil di Muara Angke, Jakarta Utara dan membentuk sebuah keluarga. Umur Bun Seng cukup panjang hingga tahun 2000, dia menghembuskan nafas terakhirnya dalam kondisi hidup yang sangat sederhana.

“Malah bisa dikatakan kondisinya sangat memprihatinkan,” ujar Abdul Halim, kawannya saat berjuang di ranah Minang.

Baca juga: Amuk Inggris di Sungai Beramas

TAG

sumatera barat revolusi indonesia bun seng

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal Belanda Tewas di Lombok Letnan Rachmatsyah Rais Gugur saat Merebut Tank Belanda Dulu Tentara Kudeta di Medan Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Pelatih Galak dari Lembah Tidar Pangeran Pakuningprang Dibuang Karena Narkoba Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem