Masuk Daftar
My Getplus

Dua Korea Nyaris Perang Gara-Gara Dahan Pohon Ditebang

Gara-gara memangkas sebuah pohon di perbatasan, dua Korea nyaris kembali perang. Menewaskan dua perwira Amerika.

Oleh: M.F. Mukthi | 21 Agt 2021
Insiden Korean Axe Murder Incident di Panmunjom, perbatasan Korea Selatan-Korea Utara (United Nations Command/American Forces Korea Network [AFKN] video library)

Kendati tugasnya di “daerah panas” perbatasan Korea tinggal tiga hari, Kapten Arthur G. Bonifas dari pasukan UN Command tetap berupaya menjalankan tugas-tugasnya dengan sebaik mungkin. Tak ada tugas berat menantinya, terlebih setelah calon penggantinya tiba.

“Penggantinya –Kapten Ed Shirron, yang tingginya enam kaki enam dan lebih dari dua ratus pound bahkan besar menurut standar Merry Monk– telah tiba. Arth menghabiskan hari-hari terakhirnya di Korea untuk mengajak Shirron berkeliling, bersiap untuk pergantian komando pada tanggal dua puluh satu, dan merencanakan satu tugas yang belum selesai di JSA –pemangkasan pohon poplar Normandia,” tulis Rick Atkinson dalam The Long Gray Line: The American Journey of West Point’s Class of 1966.

Pada 18 Agustus 1976, Bonifas bersemangat memimpin sekelompok pekerja Korean Service Corps (KSC) berikut para personel perbatasan yang mengawalnya memangkas sebuah pohon poplar setinggi 40 kaki di dekat Jembatan Sach’on (Bridge of No Return) –yang merupakan batas antara Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut)– di sisi barat daya Joint Security Area (JSA), Demilitary Zone (DMZ) Panmunjom, Korsel.

Advertising
Advertising

Kendati bukan pekerjaan berat, pemangkasan tersebut bisa berbahaya bagi mereka dan membahayakan keamanan lebih luas. Pasalnya, letak pohon yang akan dipangkas berada di wilayah yang dikelola bersama pasukan penjaga perbatasan kedua negara. Para penjaga perbatasan Korut sama leluasanya bergerak di sana dengan penjaga perbatasan Korsel. Hal-hal sepele bisa memicu konflik yang dapat meningkat eskalasinya dengan cepat.

 “Konfrontasi fisik sudah menjadi hal biasa di JSA. Penjaga Korea Utara seringkali meludahi, mendorong, atau meneriakkan ancaman dan kata-kata kotor kepada tentara Amerika dan Korea Selatan; baru-baru ini pada Juni 1975, Mayor William Handerson menderita kerusakan permanen pada laringnya setelah ditendang tenggorokannya di luar gedung gencatan senjata.”

Baca juga: Adu Kuasa di Angkasa Korea

Lantaran seringnya terjadi insiden kekerasan itulah para personel UNC dan perbatasan Korsel pimpinan Bonifas memeriksa kondisi pohon poplar dekat jembatan pada 6 Agustus 1976. Pohon itu didapati terlalu rimbun. Kerimbunan itu mengakibatkan pandangan antara Pos Checkpoint UNC No. 3 –pos perbatasan terluar Korsel– dan Pos Observasi No. 5 menjadi terhalang. Jika dedaunan tidak dipangkas, mereka yang di Pos Observasi No. 5 tak bisa melihat jembatan dan keadaan rekan-rekan mereka di Pos No. 3 sehingga bila terjadi hal membahayakan personel Pos No. 3, rekan-rekan di Pos No. 5 tidak akan bisa membantu.

Dipimpin Bonifas yang ditemani wakilnya Lettu Mark T. Barrett dan penerjemah Kapten AD Korsel Kim Moon-Hwan, enam pekerja KSC dikawal 10 personel dari Detasemen UNC mendatangi lokasi pohon pada pukul 10 pagi lewat, 18 Agustus 1976. Peralatan yang mereka bawah hanyalah tangga, kapak, gergaji, linggis, dan pipa plus dua pistol di pinggang Bonifas dan Barrett.

“Sebagai tindakan pencegahan, dua puluh orang Pasukan Reaksi Cepat dipindahkan ke Pos Pemeriksaan PBB No. 2, tepat di dalam JSA, siap untuk campur tangan jika penebangan pohon diganggu Korea Utara. Kelompok pekerja juga menempatkan pegangan pick di belakang truk mereka, tetapi mengikuti Perjanjian Gencatan Senjata, tidak membawa senjata selain pistol,” tulis John K. Singlaub dan Malcolm MacConnell dalam Hazardous Duty: An American Soldier in the Twentieth Century.

Pemangkasan dimulai pukul 10.30. Namun baru lima menit pekerjaan berjalan, sebuah truk Korut datang. Sembilan tamtama plus dua perwira Korut langsung menghampiri mereka yang sedang memangkas dan para pengawal mereka. Lettu Pak Chol, komandan pasukan Korut, langsung menanyakan apa yang sedang dilakukan para penjaga perbatasan Korsel itu. Setelah diberitahu bahwa mereka sedang memangkas, Lettu Pak meresponnya dengan mengatakan “bagus.” Perkataan Pak segera diikuti kalimat prajurit-prajuritnya yang berupaya mengajarkan cara memangkas pohon yang benar.

Dua puluh menit kemudian, Pak menghampiri Bonifas. Dia perintahkan perwira asal West Point, AS itu agar menghentikan pekerjaannya. Hal itu ditolak Bonifas yang menambahkan bahwa anak buahnya akan menyelesaikan pekerjaan dan baru pergi. Mendapat jawaban begitu, Pak meradang. Dia mengatakan apabila pemangkasan tetap dilanjutkan, akan menimbulkan masalah serius.

“Ketika pasukan pekerja pergi untuk memangkas pohon, mereka diberitahu tentara Korea Utara bahwa Anda tidak dapat memotong pohon ini karena Kim Il Sung sendiri yang menanam dan memeliharanya dan tumbuh di bawah pengawasan ini,” ujar Pak, dikutip James Cunningham dalam “Officer Recalls Ax Murder Incident” yang dimuat Indianhead, 15 September 2006.

Baca juga: Kim Il-sung Menerima Gelar Doktor Honoris Causa dari UI

Lantaran diacuhkan, Pak marah lalu mengirim seorang prajuritnya melintasi perbatasan untuk meminta bantuan. Tak lama berselang, sebuah truk menurunkan 10 prajurit Korut sementara enam prajurit lain datang dengan berlari dari pos penjagaan terdekat. Hampir 30 personel Korut pun mengelilingi 13 personel UNC dan enam pekerja KSC. Situasi panas tersebut diabadikan kamera oleh beberapa personel pasukan Reaksi Cepat UNC yang sedang memantau situasi melalui radio di pos mereka.

Tak lama kemudian, saat seorang personel NCO Amerika berupaya memperingatkan Kapten Bonifas, terdengar suara Lettu Pak mengeluarkan perintah: “Chookyo! (Bunuh!).”

Para personel Korut langsung menyerang pasukan Bonifas. Letnan Pak lalu menendang selangkangan Kapten Bonifas dan langsung jatuh. Tiga personel Korut yang mengerubunginya langsung menyerangnya. Setelah merebut kapak, linggis, pipa logam, dan tongkat berat peralatan kerja KSC, beberapa personel lain segera menyerang penjaga UNC, berkonsentrasi pada perwira Amerika dan NCO.

“Beberapa penjaga Korea Utara mengambil kapak yang telah digunakan pekerja Korea Selatan dan menggunakannya dalam penyerangan. Seperti dalam serangan Korea Utara sebelumnya, personel UNC secara individual diisolasi dari partai utama mereka dan diserang pasukan Korea Utara yang jumlahnya lebih banyak,” tulis Chuch Downs dalam Over the Line: North Korea’s Negotiating Strategy.

Pasukan Korea Utara yang telah dibagi ke dalam tim penyerang yang efisien segera menyebar lalu mengejar para personel UNC. Tongkat dan pipa baja diayunkan untk melumpuhkan para personel UNC. Seorang personel Komunis langsung menjepit lengan seorang Amerika untuk mencegah menggunakan senjatanya.

Kapten Bonifas yang tergeletak di tanah sambil terus menangkis tendangan dan pukulan akhirnya tewas dipukuli seorang tentara Komunis. Lettu  Barrett dikejar enam personel Korut bersenjatakan tongkat, kapak, dan pipa baja di sekitar truk dan melewati tembok rendah. Dia akhirnya tak berdaya juga. 

“Para prajurit PBB bergantung pada perwira mereka untuk memerintahkan penggunaan senjata, tetapi para perwira itu tewas pada detik-detik pertama serangan itu. Untungnya, seorang tentara Amerika membebaskan diri dan mampu mengemudikan truk UNC melewati huru-hara, memaksa mundur Komunis, sementara para pekerja KSC naik ke atas. Pengalihan itu memungkinkan penjaga UNC lain membantu rekan-rekan mereka yang babak belur,” tulis Singlaub dan MacConnell.

Baca juga: Gerilyawan Korea di Pihak Indonesia

Sekejap kemudian, pasukan Reaksi Cepat UNC tiba di bagian DMZ Korea Utara. Insiden itu berakhir sekitar empat menit kemudian. Mereka kemudian mencari Lettu Barrett yang tidak ditemukan, dan akhirnya menemukan mayatnya dengan kondisi tengkorak hancur di selokan tak jauh dari jalan.

UNC tak terima. Usulan pertemuan dengan pihak Korut untuk memprotes pembunuhan tersebut segera dilayangkan. Namun itu ditolak Korut dengan alasan telah meminta pertemuan petugas keamanan untuk membahas insiden tersebut.

Di Washington D.C, Kelompok Penasihat Khusus Dewan Keamanan Nasional langsung membahas opsi-opsi yang akan diambil. Pemerintah AS lalu memutuskan mengambil tindakan militer dan diplomatik. Setelah memberi tahu delegasi PBB dan Dewan Keamanan PBB tentang serangan Korut, skuadron pembom F-111 dipersiapkan dan kapal induk USS Midway di Jepang diperintahkan ke perairan dekat Korea.

Rencana untuk memasuki JSA dengan unjuk kekuatan militer dan menebang pohon poplar (Operasi Paul Bunyan) segera dibuat militer AS-Korsel di pasukan UNC. Di dalamnya termasuk rencana kontingensi untuk mengatasi kemungkinan eskalasi situasi selama operasi penebangan pohon. Rencana darurat termasuk opsi bagi pasukan AS-ROK menyerang dan menduduki Kaesong, kota Korea Utara yang terletak di utara DMZ, jika Korea Utara menolak operasi penebangan pohon. Juga disiapkan penggunaan artileri, namun batal dilakukan karena Presiden Korsel Park Chung-hee tidak menginginkan aksi militer.

Menlu AS Henry Kissinger meminta kepala staf gabungan (JCS) memeriksa keinginan mengarahkan tembakan artileri terhadap barak pasukan keamanan Komisi Gencatan Senjata Militer (Military Armistice Commission/MAC) Korut bersamaan dengan operasi penebangan pohon. Namun, JCS lebih memilih opsi lain seperti penggunaan amunisi udara berpemandu presisi, rudal permukaan-ke-permukaan, dan peperangan non-konvensional tim Sea, Air, Land (SEAL) untuk menghancurkan instalasi militer atau infrastruktur penting Korea Utara, serta kemungkinan menghancurkan Bridge of No Return.

Esoknya, 19 Agustus, status siaga AS-ROK dinaikkan menjadi Defence Condition (DEFCON) 3. Status pengintaian juga dinaikkan menjadi Watch Condition (WATCHCON) 3.

Di Pyongyang pada hari yang sama, Panglima Tertinggi Korean Peoples Army (KPA) Kim Il Sung memerintahkan seluruh unit KPA dan seluruh anggota Pengawal Merah Buruh-Tani dan milisi Pengawal Merah Muda mengambil pos masing-masing dalam kesiapan tempur.

Pada 19 Agustus, JCS memerintahkan pengiriman 20 F-111 dari daratan Amerika Serikat ke Korea Selatan di samping pengiriman Gugus Tugas angkatan laut –berisi kapal induk Midway, satu kapal perusak, dan empat fregat– dari Yokosuka ke perairan Korea, pesawat pengebom B-52 dari Guam ke Korea Selatan, dan 1.800 personel Divisi Marinir Ketiga AS dari Okinawa ke Korea Selatan.

Pada 20 Agustus, Presiden AS Gerald Ford menyetujui rencana operasi penebangan pohon yang direncakan (Operasi Paul Bunyan). Pada 21 Agustus, Operasi Paul Bunyan dilaksanakan dengan menyelesaikan pamangkasan pohon yang belum selesai dilakukan tiga hari sebelumnya. Pasukan Korut yang berada di JSA tak memberi respon terhadap show of force singkat pasukan UNC itu.

Di hari yang sama, Pemimpin Korut Kim Il Sung menyampaikan penyesalannya atas insiden yang terjadi. Perang besar di depan mata pun berhasil dihindari.

TAG

perang dingin

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pesindo Sukses Ibu dan Kakek Jenifer Jill Pieter Sambo Om Ferdy Sambo Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Serdadu Ambon Gelisah di Bandung M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado