Pada 1 April 1994, Brigjen TNI Slamet Singgih dilantik menjadi Dansat Intel BIA (Komandan Kesatuan Intel Badan Intelijen ABRI) menggantikan Brigjen TNI Farid Zainudin. Dia kemudian ditelepon Pak Catim dari Dara yang menyampaikan bahwa Jenderal TNI (Purn.) Benny Moerdani ingin berkenalan dengan Dansat BIA yang baru.
Slamet agak kaget dan mempertanyakan apakah benar Benny ingin berkenalan dengannya. Dalam karier militernya, dia tiga kali melihat Benny, yaitu ketika masih menjadi taruna AMN (Akademi Militer Nasional) di magelang, ketika menjabat Komandan Kodim di Bangka yang menerima pengarahan di markas Kodam IV/Sriwijaya, dan waktu mengikuti kursus reguler Lemhanas tahun 1992.
“Sudah sekian lama saya bertugas di Bais (Badan Intelijen Strategis) dan BIA, mungkin juga pernah melaksanakan tugas-tugas dari beliau yang bersifat tertutup/classified melalui Pak Mayjen TNI Sutaryo (Wakil Kepala Bais), namun saya belum pernah bertemu langsung maupun bersalaman dengan Pak Benny Moerdani sebelum beliau pensiun,” kata Slamet dalam Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu.
Baca juga: Cerita di Balik Pembentukan Badan Intelijen Strategis
Dalam perjalanan dari Ragunan ke Tebet, Slamet masih berpikir apa benar omongan Pak Catim bahwa Benny Moerdani ingin berkenalan dengannya. Setiba Slamet di Tebet, Pak Catim melaporkan kedatangannya kepada Benny.
Begitu Slamet sampai di depan pintu, secara otomatis pintu ruangan Benny terbuka. Slamet langsung menuju meja dan menghormat. Benny berdiri sambil tersenyum dan menyalami Slamet. Mereka mengobrol santai. Benny menanyakan asal Slamet dan tahun berapa lulus AMN.
“Beliau juga mengatakan kepada saya kalau mau menemui atau menghubungi beliau agar melalui Dara,” kata Slamet.
Baca juga: Kepala Intelijen Indonesia Kehilangan Dokumen
Benny pernah menyampaikan sesuatu kepada Slamet melalui Dara. Suatu ketika, menjelang diadakannya pemilihan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Slamet didatangi Brigjen TNI FX Bachtiar, utusan Benny.
Setelah berbincang agak lama, Bachtiar mengatakan, “Mas dapat salam dari LBM (Leonardus Benny Moerdani) dan titip Matori Abdul Djalil.”
“Wah kok baru sekarang ngomongnya, saya sudah dapat tugas Ismail Hasan Metareum,” kata Slamet.
“Ya saya hanya menyampaikan itu saja,” kata Bachtiar yang pernah memimpin Dara.
Menurut Slamet, Dara merupakan Unit Komunikasi Khusus di luar struktur BIA maupun Bais. Berada langsung di bawah kendali Benny Moerdani, Dara menangani komunikasi dan intelijen teknik.
Baca juga: Benny Moerdani Raja Intel Salah Parkir
Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno mengatakan bahwa Benny Moerdani membangun Dara sebagai suatu instalasi tertutup (rahasia) yang menjadi sentral komunikasi. Sehingga ABRI dapat tetap berkomunikasi dalam keadaan apa pun.
“Dulu, kalau satelit mati, tidak ada hubungan. Tapi ABRI masih tetap bisa berkomunikasi. Itu karena Dara," kata mantan Wakil Presiden itu. "Dara juga punya peralatan yang dapat terus berhubungan kemana saja Pak Harto pergi." Penulis mewawancarai Try Sutrisno pada 5 Februari 2018 dalam rangka meminta testimoni untuk biografi Letjen TNI (Purn.) Achmad Wiranatakusumah: Komandan Siluman Merah.
Baca juga: Achmad Wiranatakusumah Menak di Garis Depan
Slamet punya cerita terkait peran Dara dalam perjalanan Presiden Soeharto. Letkol CZI FX Bachtiar memimpin tim Dara untuk mem-back up komunikasi dalam rangka KTT di Beogard pada September 1989. Setelah itu, Presiden Soeharto berkunjung ke Uni Soviet. Ternyata sewaktu di Uni Soviet, alat komunikasi Paspampres kalah canggih sehingga tidak dapat berfungsi karena di-jam oleh Uni Soviet.
“Pada saat itulah Letkol CZI FX Bachtiar tidak kehilangan akal. Dia ‘mencuri’ atau meminjam tanpa izin satelit Amerika yang dapat menembus komunikasi Uni Soviet dan tidak dapat di-jam,” kata Slamet.
Baca juga: Benny Moerdani Raja Intel Jadi Panglima ABRI
Try Sutrisno mengatakan bahwa Dara sangat strategis. Sehingga para pekerjanya adalah orang-orang buta demi menjaga kerahasiaan.
“Zaman saya (sebagai Panglima ABRI), saya jadikan pergawai negeri semua. Badan Kepegawaian Negara menolak karena mereka orang cacat. Saya minta pengecualian karena orang-orang buta ini berjuang di tempat saya, memegang rahasia. Akhirnya, seratus orang menjadi pegawai negeri. Mungkin sekarang mereka sudah habis. Jika Dara mau dilanjutkan sekarang, di zaman IT modern ini, harus ditambah lebih lengkap lagi,” kata Try Sutrisno.