Pesawat Garuda DC-9 “Woyla” rute penerbangan Jakarta-Palembang-Medan dibajak pada Sabtu, 28 Maret 1981, sekira pukul 10.00. Pesawat itu diterbangkan oleh kapten pilot Herman Rante dengan lima awak pesawat, 48 penumpang, lima orang di antaranya warga negara asing. Diperkirakan pembajak akan membawa pesawat itu ke Timur Tengah, dengan rute Penang, Malaysia–Bangkok,Thailand–Colombo, Srilanka–Libya.
Saat pesawat mendarat di bendara Penang, Malaysia, pejabat militer Indonesia meminta kepada pemerintah Malaysia agar menahan pesawat itu, tidak di-refuel, dan tidak diberi bantuan lainnya. Karena hubungan yang baik, mereka menganggap permohonannya akan dipenuhi.
“Tetapi apa yang terjadi? Kami tidak punya teman di Malaysia. Kami kecewa dan beberapa kawan bahkan berkata, ‘persahabatan kita dikhianati oleh teman lama kita’. Ada juga yang mengira ada keterlibatan kelompok tertentu di negara tetangga,” kata Laksdya TNI (Purn.) Soedibyo Rahardjo dalam The Admiral.
Pesawat yang dibajak itu diberi bantuan bahan bakar dan dukungan logistik lainnya oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan perjalanan. “Sikap tersebut menyakitkan!” kata Soedibyo yang saat itu menjabat Paban (Perwira Diperbantukan) II Asintel ABRI.
Letjen TNI L.B. Moerdani, Asintel Hankam/Kepala Pusintelstrat/Asintel Kopkamtib, juga sangat kecewa karena jika pesawat semakin jauh meninggalkan Jakarta akan semakin sulit operasi pembebasan sandera. Namun, dia tetap berusaha menenangkan para pembantunya.
“Oke, saya mengerti perasaan Anda, tapi itu faktanya. Jangan sampai tenggelam oleh pengalaman yang tidak menyenangkan ini. Kita akan menangani dengan cara kita sendiri, dengan atau tanpa bantuan orang lain,” kata Benny.
Baca juga: Teroris Membajak Pesawat Garuda Woyla
Pada Minggu pagi, 29 Maret 1981, Benny ditelepon oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Edward Masters. Dia sudah mendengar bahwa pemerintah Indonesia akan melancarkan operasi militer. Dia khawatir atas keselamatan warga negaranya yang juga menjadi sandera.
“Maaf, tuan, tapi ini sepenuhnya masalah Indonesia. Ini adalah pesawat Indonesia. Kami tidak menjamin apa pun,” kata Benny dalam biografinya, Profil Prajurit Negarawan, karya Julius Pour.
Pesawat yang dibajak kemudian mendarat di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand.
Benny dan pembantunya bersama pasukan Kopassandha (kini, Kopassus) yang dipimpin oleh Kolonel Sintong Panjaitan berangkat ke Bangkok dengan pesawat Garuda DC-10 “Sumatra”.
Letjen TNI Yoga Sugomo, kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin, kini BIN) lebih dulu berangkat ke Bangkok dengan pesawat Garuda DC-9 “Digul”, untuk melakukan negosiasi dengan pembajak. Pembajak meminta pemerintah membebaskan rekan-rekannya, 80 orang yang ditahan karena melakukan aksi teror. Mereka juga menuntut uang tebusan sebesar 1,5 juta dolar dan pesawat untuk tujuan yang diperkirakan Libya.
Baca juga: Pramugari Hadapi Pembajak Garuda Woyla
Setelah tiba di Bangkok, Benny dan Yoga bertemu Perdana Menteri Thailand Prem Tinsulanonda di kediaman resminya di kawasan Sisao Thesve, Bangkok. Benny menjelaskan latar belakang pembajakan. Mengenai tuntutan pembajak, Benny menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak mungkin menyetujuinya. Oleh karena itu, dia meminta izin untuk melakukan operasi militer.
Namun, perdana menteri Thailand enggan mengizinkan. Sebagai negara berdaulat, pemerintah Thailand tentu saja keberatan, sebuah pasukan asing melakukan operasi militer di wilayahnya. Di samping itu, pemerintah Thailand masih mengharapkan pembajakan itu diselesaikan secara damai seperti peristiwa tahun 1972. Aksi kelompok Black September menduduki Kedutaan Besar Israel di Bangkok berhasil ditangani tanpa pertumpahan darah, setelah memenuhi beberapa tuntutan mereka dan mereka lolos dengan aman dari Thailand.
Benny kembali menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan memenuhi tuntutan pembajak. Dia juga mengemukakan alasan bahwa yang dibajak adalah pesawat terbang Indonesia, para penumpang sebagian besar orang Indonesia, dan para pembajak juga orang Indonesia. “Yang mulia, izinkanlah kami menangani pembajakan ini,” kata Benny.
Perdana menteri Thailand meminta waktu. Dia akan memberikan jawaban sekitar jam sebelas siang.
Benny Didekati CIA
Setelah pertemuan itu, Benny masih sempat mengajak sarapan pagi di rumah makan. Dia tak ingin melepaskan kesempatan menikmati nasi goreng Bangkok yang menurutnya terenak di dunia. Karena yang lain ingin langsung ke Bandara Don Muang, Benny hanya ditemani Kolonel Rosadi, atase pertahanan di Bangkok.
Tiba-tiba seorang bule menghampiri mereka. Rosadi memperkenalkannya sebagai pejabat dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Benny tahu orang itu bukan Morton Abramowitz, duta besar Amerika Serikat, yang sudah dikenalnya.
Benny pun langsung bertanya, “Apakah Anda kepala stasiun?”
Tentu saja orang itu tergagap. “Ya, dan siapa nama Anda?”
“Moerdani. Duta besar Anda mengenal saya,” kata Benny.
“Dalam pembicaraan yang segera berkembang itu, Benny meminjam flak jacket, baju antipeluru. Dia meminta baju tersebut karena dia lupa membawanya dari Jakarta,” tulis Julius Pour.
Baca juga: Agen CIA Merampok Bank Indonesia
Menurut Sintong Panjaitan dalam biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Benny tidak memakai rompi antipeluru itu karena ketika masuk ke pesawat DC-10 –tempat pasukan antiteror Kopassandha menunggu perintah penyerangan–, dia melihat tersedia banyak rompi antipeluru yang dipinjam dari Angkatan Bersenjata Thailand. Maka, rompi antipeluru yang dipinjamkan oleh kepala stasiun CIA itu segera dikembalikan.
“Namun, tanpa dia sadari, masalah ini kemudian memunculkan isu seolah-olah pemerintah Amerika Serikat memberikan bantuan peralatan militer kepada pasukan Indonesia saat operasi menumpas pembajakan Woyla,” tulis Julius Pour.
Selain meminjamkan jaket antipeluru, ada bantuan lain yang diberikan CIA yang tidak disebut dalam biografi Benny.
Kenneth J. Conboy dalam Kopassus: Inside Indonesia’s Special Forces, menyebut kepala stasiun CIA itu juga memberikan peralatan audio khusus yang memungkinkan percakapan di dalam pesawat dapat dipantau dari jarak jauh. Bantuan itu diberikan karena ada dua warga negara Amerika Serikat di antara para sandera. Washington berkepentingan penyelamatan itu berhasil –dua penumpang warga negara asing berhasil melarikan diri, salah satunya tertembak.
Bantuan alat pendengar itu mengingatkan pada dukungan CIA kepada Kepolisian Amsterdam, Belanda, dalam pembebasan sandera di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Amsterdam yang diduduki pemuda Republik Maluku Selatan pada Desember 1975.
Baca juga: CIA dalam Penyanderaan Konsulat Indonesia
Selepas tengah hari, perdana menteri Thailand memberikan persetujuan. “Pemerintah Thailand akan menyetujui operasi militer Indonesia. Sebagai imbalannya, pemerintah Thailand meminta hak untuk menyampaikan siaran pers setelah serangan itu. Dan dalam langkah menyelamatkan muka, tim kontrateroris Royal Thai Air dikerahkan untuk meningkatkan keamanan di sepanjang pangkalan udara,” tulis Conboy.
Menjelang sore, 30 Maret 1981, Benny menyampaikan pesan kepada Sintong untuk siap beraksi malam itu. Sementara itu, Yoga menyampaikan kepada para pembajak bahwa Jakarta telah mengalah dan 80 tahanan akan dibebaskan pada hari berikutnya. Mendengar hal ini, para pembajak setuju untuk memperpanjang tenggat waktu dan berjanji semua sandera, kecuali kru, akan dibebaskan begitu para tahanan yang dibebaskan tiba di Thailand. Sebagai tanda iktikad baik, mereka mengizinkan makanan dikirim ke para sandera untuk pertama kalinya sejak mendarat di Bangkok.
Menurut Julius Pour, awalnya serbuan akan dilakukan sekitar pukul 04.30 pada 31 Maret 1981. Perhitungannya sederhana bahwa dalam istilah militer ada serangan fajar yang dilakukan sebelum fajar menyingsing, diperkirakan pukul 04.30.
Namun, Benny dan Sintong memperhitungkan kemungkinan lain. Mereka sedang berhadapan dengan komplotan pembajak yang bisa nekat bila terpojok. Para pembajak diduga memiliki kebiasaan bangun pagi karena harus berjaga-jaga. Benny pun memutuskan serangan dilakukan pada pukul 03.00 dengan perhitungan mereka belum bangun.
Baca juga: Pengeboman Gereja di Jawa Timur
Keputusan serangan pukul 03.00 juga diambil setelah mendengarkan percakapan para pembajak. “Dengan perangkat audio CIA di tempatnya, dia (Benny, red.) mendengarkan para pembajak memberi selamat kepada diri mereka sendiri atas kemenangan nyata mereka, [suasana] makan, dan kemudian terdiam. Menebak bahwa mereka tertidur setelah dua hari yang tegang, dia ingin memukul mereka sebelum mereka memiliki kesempatan untuk menyelesaikan istirahatnya. Dia putuskan misi harus dilaksanakan paling lambat pukul 03.00,” tulis Conboy.
Ketika tiba waktunya, Sintong dan pasukannya bergerak cepat. Operasi pembebasan sandera berjalan dengan baik. Semua penumpang selamat. Lima pembajak tewas: Mahrizal (pemimpin pembajakan), Abu Sofyan atau Sofyan Effendi, Abdullah Mulyono, Zulfikar T. Djohan Mirza, dan Wendy Mochammad Zein.
Korban dari tim antiteror adalah Capa Achmad Kirang yang meninggal di rumah sakit Angkatan Udara King Bhumibol, Bangkok, dua hari setelah operasi pembebasan sandera. Sedangkan pihak Garuda kehilangan kapten pilot Herman Rante yang meninggal di rumah sakit yang sama enam hari kemudian. Mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.