SATU per satu prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) gugur di Papua. Setelah Prajurit Satu Miftahul Arifin ditemukan jasadnya, tim gabungan TNI-Polrikembali menemukan tiga jenazah prajurit lain yang gugur diserang Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Disrtik Mugi-Mam, Nduga, Papua, 15 April 2023.
Akibat serangan itu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono meningkatkan status di Papua menjadi “Siaga Tempur” di wilayah-wilayah dengan kerawanan tinggi. Pendekatan “soft approach” yang dipilih selama ini dinilai mantan KSAL itu tidak efektif.
Salah satu faktor terpenting yang membuat KKB sulit ditaklukkan adalah kondisi geografis. Sebagaimana dialami para prajurit TNI terdahulu, musuh utama para prajurit bukanlah prajurit lawan melainkan alam. Alam Papua, terutama di bagian tengah, yang pegunungan dengan “selimut” hutan lebat membuat siapapun leluasa bersembunyi tanpa mudah diketahui.
Baca juga: Ketika Hatta Menolak Papua
Kesulitan alam juga dialami para prajurit militer Indonesia 60 tahun silam. Saat itu mereka mengalaminya dalam kampanye Trikora.
Salah satu yang mengalaminya yakni Sersan Mayor Toekidjo. Umurnya 25 tahun dan berasal dari Yogyakarta. Dia salah satu anggota pasukan payung TNI yang dikirimkan dalam operasi perebutan Irian Barat “Trikora” pada pertengahan 1962. Pasukannya ditugaskan melakukan perlawanan di daratan Papua.
Toekidjo adalah satu dari lima orang yang terjun di sekitar Waigeo. Tugas mereka di antaranya mengorganisir penduduk asli Papua untuk membebaskan Papua Barat dari penguasa Belanda.
Baca juga: Mayor Untung di Palagan Irian Barat
Toekijdo dan penerjun lain kekurangan bahan makanan ketika sudah berada di daerah penerjunan. Mereka berhari-hari mengembara di sekitar Waigeo tanpa makanan. Koran Nieuw Guinea Koerier, 5 Mei 1962 menyebut mereka kemudian menyerahkan diri kepada penduduk. Oleh para penduduk mereka lalu diserahkan kepada polisi.
Mereka ditahan di Pulau Wundi dekat Biak. Pada Mei 1962, para wartawan asing diperbolehkan melihat mereka. Koran Nieuwe Eindhovense Krant, 4 Mei 1962 menyebut Pulau kecil itu jaraknya sekitar 3,5 jam berperahu dari Pulau Biak. Para prajurit TNI yang ditahan itu, menurut sumber Belanda, diberitahu oleh atasan mereka jika mereka tertangkap tentara Belanda di Papua, akan dibunuh atau disiksa. Di Wundi itu, setidaknya 96 orang Indonesia ditahan, 25 orang di antaranya adalah orang Papua. Orang-orang Papua yang ditahan ini ada yang sudah bekerja dan pernah bersekolah di Papua.
Baca juga: Sekamar dengan Letkol Untung Sjamsuri di Irian Barat
Sersan Mayor Toekidjo, seperti dicatat Nieuwe Eindhovense Krant, mengaku pernah belajar di sekolah menengah di Papua. Ia lalu ikut orangtuanya meninggalkan Sorong. Kemungkinan untuk kembali ke Jawa. Sebelum dikirim ke Papua, Toekidjo mengaku telah diberikan pelatihan militer selama empat bulan.
Dalam rombongan Toekidjo, ada prajurit yang lebih senior lagi, berumur 39 tahun. Dia adalah Sersan Mayor Suhendang. Dia mantan prajurit dalam tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) dan kemudian tergabung dalam pasukan terjun payung TNI. Sebagai prajurit yang dituakan para tahanan, Suhendang berusaha menjaga disiplin mereka. Mereka diperbolehkan berolahraga di sana.
"Masih banyak yang harus mereka pelajari," kata Sersan Mayor Suhendang.
Suhendang menyebut dia dan penerjun lainnya diberangkatkan dari Jakarta ke Ambon dahulu sebelum diterjunkan ke Papua. Suhendang, Toekidjo, dan lainnya sampai di Pulau Gebe sekitar 14 April 1962. Mereka kemudian tiba di Waigeo dengan kapal.
Baca juga: Ongkos Pembebasan Irian Barat
Ketika kapal mereka dipantau pesawat Belanda, mereka ke Pulau Gag. Di pedalaman pulau itu mereka bergerilya dan membangun benteng pertahanan. Pengintai dari Papoea Vrijwilligers Korps (PVK) alias Korps Relawan Papua menemukan mereka. Benteng itu pun diserang oleh artileri udara Belanda. Ada yang kabur ke laut dan naik rakit namun malah bertemu Angkatan Laut Belanda.
Tak semua tawanan perang itu hancur morilnya hingga kapok terjun lagi ke Papua. Menurut Nieuwe Eindhovense Krant, banyak yang kapok terjun lagi di Papua. Namun ada pula yang siap jika ditugaskan kembali.
“Saya di militer dan jika saya diperintahkan untuk melakukannya saya akan pergi lagi,” kata salah satu prajurit Indonesia.
Masa menjadi tawanan perang di Papua itu tidaklah lama. Sebab, pada 15 Agustus 1962 ada Perjanjian New York yang meredakan ketegangan RI-Belanda di Papua dan kemudian Papua juga menjadi wilayah kekuasaan RI.*