Pada Maret 1983, menjelang Sidang Umum MPR, Mayor Luhut Pandjaitan, Komandan Den 81/Antiteror, dikejutkan dengan laporan bahwa pasukannya disiagakan. Perintah itu datang dari wakilnya, Kapten Prabowo Subianto. Prabowo akan menangkap Letnan Jenderal TNI Benny Moerdani, Asintel Hankam/ABRI dan beberapa perwira tinggi ABRI.
Luhut segera memanggil Prabowo. Namun, Luhut langsung ditarik oleh Prabowo ke luar kantor. Alasannya, ruangan sudah disadap. Prabowo mengatakan bahwa Benny akan melakukan kudeta dan sudah memasukkan senjata.
Dalam biografi Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando karya Hendro Subroto, Luhut membenarkan bahwa Benny memasukkan senjata. Namun, senjata itu barang dagangan untuk Pakistan yang selanjutnya akan disalurkan kepada Mujahiddin di Afghanistan untuk melawan Uni Soviet.
“Operasi intelijen oleh L.B. Moerdani dilakukan dalam upaya mencari dana dan memberi peran Indonesia dalam perjuangan di Asia,” tulis Hendro.
Pengiriman senjata kepada Mujahiddin Afghanistan bermula dari pertemuan Benny Moerdani didampingi Kolonel Udara Teddy Rusdy, Paban (Perwira Diperbantukan) VIII Staf Intel Hankam, dengan Kepala Intelijen Pakistan (Inter-Service Intelligence/ISI), di Islamabad pada 18 Februari 1981.
Pertemuan rahasia itu membahas permintaan Mujahiddin Afghanistan dan intelijen Pakistan kepada Indonesia untuk membantu logistik, obat-obatan, dan persenjataan.
Baca juga: Isu Senjata untuk Kudeta
“Saat itulah awal dari operasi khusus L.B. Moerdani dan Teddy Rusdy memasok senjata ke Mujahiddin Afghanistan,” tulis Servas Pandur dalam biografi Teddy Rusdy, Think A Head.
Keputusan itu diambil karena persenjataan dan logistik yang ideal untuk melanjutkan perang gerilya Mujahiddin Afghanistan melawan Uni Soviet adalah jenis persenjataan yang sama dengan yang digunakan lawan. Oleh karena itu, Mujahiddin sangat membutuhkan senjata-senjata buatan Uni Soviet, yang kebetulan banyak dimiliki ABRI sebagai inventaris masa Trikora (Tri Komando Rakyat) dan Dwikora (Dwi Komando Rakyat).
“Dengan persetujuan Presiden Soeharto, dikumpulkan jenis senjata buatan Uni Soviet dari gudang-gudang seluruh Indonesia, dan terkumpul persenjataan untuk kelengkapan dua batalion infanteri,” tulis Servas.
Senjata dan logistik tersebut selama beberapa bulan diangkut ke Jakarta, dikumpulkan di gudang-gudang khusus milik Staf Intel Hankam, Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Baca juga: Persahabatan Indonesia-Afghanistan
Pekerjaan pertama yang memakan waktu lama adalah menghapus semua nomor seri yang tertera pada setiap senjata untuk mengaburkan asal senjata tersebut.
Setelah selesai semua persiapan yang sangat teliti, ketat, dan tertutup, pada Juni 1981 dipersiapkan cara dan sarana pengangkutan dari Jakarta ke Afghanistan. Semua senjata itu dimasukkan ke dalam peti dan diberi tanda palang merah, dicampur dengan peti obat-obatan dan selimut.
Peti-peti itu diangkut dengan pesawat jenis Boeing 707. Pilotnya dipilih yang biasa terlibat dalam operasi intelijen, yaitu Kapten Arifin, Kapten Abdullah, dan Kapten Danur. Rute penerbangannya dari Jakarta ke Kepulauan Diego Garcia di Samudera Hindia, selanjutnya ke Rawalpindi di Pakistan Utara.
“Penerbangan operasi intelijen di wilayah udara internasional di-cover sebagai penerbangan bantuan kemanusiaan, dikendalikan melalui peralatan komunikasi khusus (scrambler) di pesawat oleh Teddy Rusdy dan di markas Staf Intel Hankam oleh L.B. Moerdani,” tulis Servas.
Pesawat tiba di Rawalpindi, pangkalan Angkatan Udara Pakistan, menjelang tengah malam. Tim penerima telah siap dengan tank dan personel bongkar muat dan angkutan disiapkan oleh intelijen Pakistan.
Baca juga: Alasan Indonesia Mendukung Pakistan daripada India
Tengah malam menjelang pagi, konvoi bantuan kemanusian pemerintah Indonesia untuk pengungsi dan korban perang Afghanistan bergerak ke Barat, melalui Attock, Nowshera, Peshawar, melalui lembah yang terkenal Khyber Pass, memasuki Afghanistan. Sesampainya di sana, peti-peti berisi senjata yang dicampur obat-obatan dan selimut diserahkan kepada pimpinan Mujahiddin di Nangarhar.
Perang yang berlangsung sejak 1979 berakhir tahun 1989. Pasukan Uni Soviet ditarik mundur dari Afghanistan disusul jatuhnya rezim Mohammad Najibullah tahun 1992. Perang itu mengakibatkan Uni Soviet kehilangan 14.453 tewas, 53.753 luka-luka, dan 264 hilang. Sedangkan Mujahiddin kehilangan 57.000 tewas dan Pakistan kehilangan lebih dari 300 tewas.