Kota Berenike di pantai Laut Merah didirikan antara 275 dan 260 SM. Penduduknya meninggalkan kota pesisir itu pada 220 hingga 200 SM, sebelum dihuni kembali selama berabad-abad kemudian. Kekeringan parah memaksa mereka mencari tempat tinggal baru.
Marek A. Wozniak, arkeolog dari Akademi Ilmu Pengetahuan Polandia Institut Kebudayaan Mediterania dan Oriental, dan James A. Harrell, profesor emeritus dari Departemen Ilmu Lingkungan Universitas Toledo, Amerika Serikat, mendapatkan bukti setelah mengekskavasi situs Berenike pada 2004. Hasil penelitiannya, “When the well runs dry: climatic instability and the abandonment of early Hellenistic Berenike”, terbit di laman Cambridge University Press, Jumat (19/03).
“Bukti menunjukkan, penduduk pindah pada akhir abad ke-3 SM mungkin karena kekeringan selama beberapa tahun dan membuat sumber air tawar kota itu mengering,” tulis Wozniak dan Harrell.
Baca juga: Melihat Kehidupan Orang Romawi Lewat Lubang Jamban
Mereka menemukan sisa-sisa gerbang dan menara di dinding benteng. Di bawah lantai sebuah gedung, mereka menemukan sumur yang masih menyimpan air sampai sekarang. Sumur ini mengering antara 220 dan 200 SM, lalu terisi pasir yang tertiup angin. Pasir ini terawetkan di dalam sumur.
Di dalam sumur ditemukan dua koin perunggu dari dekade sebelum 199 SM. Sementara di tempat lain di benteng, hanya ditemukan sedikit artefak dari masa itu. Ini menunjukkan Berenike sudah ditinggalkan penduduknya.
“Pasti terjadi kekeringan selama beberapa tahun yang membuat sumur mengering,” tulis Wozniak dan Harrell. Mereka memperkirakan kekeringan itu dipicu oleh letusan gunung berapi pada 209 SM.
Baca juga: Ratu Mesir di Antara Temuan Baru Saqqara
Penelitian Jennifer Marlon dari Universitas Yale yang dipublikasikan di jurnal Nature pada 2017, menemukan bahwa pada 209 SM, letusan gunung berapi melepaskan banyak aerosol sulfat ke atmosfer bumi. Inilah yang menyebabkan curah hujan turun pada musim panas di atas hulu Sungai Nil. Akibatnya, sungai itu kekeringan yang berbuntut pada pemberontakan penduduk yang kelaparan pada 207–186 SM di Mesir Hulu.
Namun, belum jelas gunung berapi mana yang meletus. Wozniak dan Harrell menyebut empat kemungkinan, yaitu Gunung Popocatepetl di Meksiko, Pelee di pulau Martinique di Lesser Antilles, Tsurumi dan Hakusan di Jepang.
Kendati demikian, penggalian di Berenike tidak hanya mengungkap keberadaan kota era Helenistik pertama di pantai Afrika Timur, melainkan juga berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik mengenai efek bencana alam pada masyarakat kuno.
Pusat Kerajaan Mataram Kuno Pindah
Peristiwa serupa terjadi di Jawa. Peninggalan candi di Yogyakarta, seperti Candi Sambisari, Candi Kedulan, Candi Kimpulan, dan Candi Losari, ditemukan terkubur material muntahan Gunung Merapi.
Asumsi lama menyebutkan letusan besar Gunung Merapi pada 1006 menyebabkan Kerajaan Mataram Kuno pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pendapat ini dikemukakan geolog Belanda, Reinout Willem van Bemmelen dan D.H. Labberton.
Mereka menduga penyebab runtuhnya Mataram Kuno adalah letusan Merapi yang dipicu gempa tektonik. Gempa ini merusak sebagian Candi Borobudur dan Candi Mendut di Magelang, Jawa Tengah, yang dibangun pada abad ke-9. Sementara materi letusan menutup banyak bangunan candi di sekitarnya, termasuk menghancurkan Mataram Kuno.
Mereka mendasarkan pendapatnya pada Prasasti Kalkuta atau Prasasti Pucangan tahun 963 Saka (1041). Prasasti ini menyebutkan adanya bencana besar (pralaya) pada 928 Saka (1006).
Baca juga: Bencana Gunung Api Menghantui Majapahit
Pendapat mereka disanggah oleh epigraf Boechari dalam makalah “Some consideration of the problem of the shift of Mataram’s center of government from Central to East Java in the 10th Century A.D.”, yang termuat dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Boechari menyebutkan bahwa Mataram Kuno telah pindah ke Jawa Timur sejak 928. Mpu Sindok, penguasa Mataram Kuno, telah memerintah di Delta Brantas, wilayah Jawa Timur sekarang.
Pendapat Boechari dibuktikan Prasasti Anjukladang yang dibuat Mpu Sindok pada 937. Prasasti ini merupakan prasasti Mataram Kuno pertama setelah pindah ke Jawa Timur.
Dalam Prasasti Pucangan juga jelas disebutkan bahwa pralaya di Mataram Kuno pada 1016 disebabkan oleh serangan Raja Wurawari dari Lwaram pada zaman pemerintahan Raja Dharmawangsa Tguh (991–1016).
Baca juga: Bertahan Hidup di Tanah Bencana
Supriati Dwi Andreastuti, peneliti Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, Yogyakarta, dkk. dalam makalah “Menelusuri Kebenaran Letusan Gunung Merapi 1006”, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 4 Desember 2006, menyebutkan bahwa catatan rinci yang menjelaskan letusan Gunung Merapi pada 1006 tidak ditemukan. Karenanya kebenaran letusan besar pada tahun itu diperdebatkan.
“Bukti-bukti ini menyimpulkan bahwa letusan besar Gunung Merapi pada 1006 tidak pernah terjadi,” tulis Supriati, dkk.
Supriati, dkk. menjelaskan dari penemuan endapan Selo tefra dan berdasarkan fakta bahwa Mpu Sindok memerintah pada 928/929–948, kemungkinan letusan Merapi cukup besar terjadi pada 765–911. Letusan ini yang mendorong penduduk Mataram Kuno mulai pindah ke Jawa Timur.
Selain intensitas letusan Merapi yang tinggi, perpindahan pusat kerajaan juga untuk menghindari serangan Kerajaan Sriwijaya. Masyarakat Mataram Kuno memperhitungkan lokasi perdagangan yang lebih strategis di daerah Delta Brantas.