Masuk Daftar
My Getplus

Setetes Air di Tanah Gersang

Dewi Hāritī terpahat pada ambang pintu masuk Candi Banyunibo. Siapapun yang memasukinya mendapat karunia dan kesuburan.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 27 Apr 2021
Penanaman semak berbunga di area Candi Banyunibo, Yogyakarta. (Dok. Candi Darling).

DAHULU kala, sekelompok masyarakat tinggal di kawasan gersang yang kini menjadi Dusun Cepit, Desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Tanah mereka dikelilingi perbukitan karst. Kalau musim kemarau angin menjadi lebih kering dari biasanya. Di area sekitarnya pun tak ada mata air. Padahal mereka hidup dari bercocok tanam.

Orang-orang Cepit di masa lalu mengandalkan rumah peribadatan yang kini dikenal sebagai Candi Banyunibo. Nama itu dalam bahasa Jawa bisa diartikan air (banyu) yang jatuh atau menetes (nibo).

Keberadaan candi ini diharapkan bisa mendatangkan hujan yang membuat sawah dan kebun mereka terus bersemi. Agar tanah subur dan keluarga mereka hidup sejahtera, mereka juga mengandalkan Hāritī (Dewi Kesuburan) dan Kuvera atau Atavaka (Dewa Kemakmuran). Kedua sosok ini terpahat di dinding candi.

Advertising
Advertising

Baca juga: Bertahan di Tanah Tandus

Candi Banyunibo merupakan sebuah gugusan candi. Terdiri dari satu candi induk beratap stupika pada puncaknya. Lalu enam candi perwara (pendamping) berupa stupa berderet di sisi selatan dan timur.

Untuk masuk ke ruang candi, orang harus menaiki 14 anak tangga dengan ragam hias kala-makara. Ruang candi sudah kosong. Terdapat tiga relung di dinding utara, timur, dan selatan. Relung sebelah timur ukurannya paling besar dan dihias dengan ukiran kala-makara dengan bingkai berbentuk tapal kuda.

“Apa fungsi ketiga relung tersebut, kemungkinan untuk menempatkan arca-arca. Arca di relung timur mungkin arca utama, diapit oleh dua arca dalam relung utara dan selatan. Dugaan ini diperkuat karena tidak ada pentas persajian seperti lazimnya candi-candi Buddha untuk menempatkan singgasana arcanya,” jelas arkeolog Edy Sedyawati dalam Candi Indonesia: Seri Jawa.

Hāritī dan Kuvera tak diletakkan pada relung-relung utama itu. Tapi di ambang pintu masuk candi; seakan memberkati siapapun yang masuk.

Baca juga: Singgah di Rumah Dewa Siwa

Pemujaan Kuno

Dewi Ibu atau Dewi Kesuburan sudah dipuja manusia sejak Zaman Batu Akhir (Paleolitikum). Ia dipercaya punya andil dalam segala hal di alam semesta. Ketika manusia mulai bercocok  tanam, keberadaannya menjadi semakin penting. Pemujaan terhadapnya bisa ditemui di beberapa belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Di Indonesia, Dewi Ibu atau Dewi Kesuburan seringkali diidentikkan dengan Dewi Sri. Padahal, ada sosok perempuan lain yang memiliki peran yang sama, yakni Dewi Hāritī.

Menurut Dewi Fadhilah Soemanagara dalam tugas akhirnya berjudul “Penggambaran Hariti di Jawa dan Bali (Abad ke-7-15 M)”, dalam kajian arkeologis, Hāritī tergolong dewa-dewi pendukung (minor), bukan dewa-dewi yang punya kedudukan tinggi (mayor). Gambaran tentangnya tersua dalam agama Buddha dan Hindu.

Menurut versi agama Buddha aliran Sarvvāstivāda, Hāritī adalah seorang yaksi (manusia setengah dewa) bernama Huanshi dari Rajagrha. Ia memiliki 500 anak. Karena mengalami keguguran, Huanshi menjadi bengis dan suka memangsa anak-anak. Tindakannya membuat penduduk Rajagrha gelisah dan memohon pertolongan Buddha.

Baca juga: Yang Terkubur Amukan Merapi

Agar Huanshi bertobat, Buddha membawa pergi dan menyembunyikan putra bungsu sekaligus anak kesayangannya, Priyankara. Sampai akhirnya datanglah Huanshi yang memohon agar anaknya dikembalikan. Buddha memberi pelajaran kepada Huanshi bahwa kehilangan anak adalah petaka bagi ibu manapun.

Huanshi akhirnya bertobat. Ia kemudian ditasbihkan Buddha menjadi Hāritī dan ditugaskan menjadi Dewi Kesuburan dan pelindung anak.

Versi agama Hindu menyebut Hāritī dengan nama Vrddhi, yang dalam bahasa Sansekerta artinya berkembang. Ia merupakan istri dari Dewa Kuvera, penjaga arah mata angin utara. Hāritī menjalankan peran sebagai Dewi Kesuburan karena menjadi pendamping dari Dewa Kesuburan pula.

Di Indonesia, penggambaran Hāritī dituangkan dalam bentuk arca maupun relief candi dan dapat dijumpai di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

Di Candi Banyunibo, relief Hāritī dipahatkan di dinding lorong pintu masuk sebelah utara. Relief ini terdiri dari tiga bagian yang terpisah diagonal. Perkiraan ukuran panil utuh memiliki panjang 174 cm dan lebar 103 cm. Kondisi sudah tidak utuh dan banyak bagian yang terpotong.

Hāritī digambarkan dengan posisi duduk virasana (bersila) dan sikap tangan varamudra (memberi anugerah). Di dekat kakinya, lima anak duduk berjejer; seorang di kanan dan empat di sebelah kiri. Anak-anak itu berjongkok dan merapat satu sama lain, kecuali seorang anak di sebelah kanan yang duduk miring bersandar pada Hāritī. Ada dua anak lain sedang memanjat pohon.

Baca juga: Senja di Atas Bukit Kapur

Menurut Dewi Fadhilah Soemanagara, penggambaran tersebut mewakili peran serta kedudukan Hāritī sebagai dewi kesuburan dan pelindung anak. Masyarakat Jawa Kuno mungkin juga menyamakannya dengan Dewi Sri.

Sebagian besar masyarakat waktu itu bercocok tanam. Agar lahan pertanian subur dan panen melimpah, peran Hāritī pun dibutuhkan. “Tidak hanya untuk kesuburan perempuan dan kesejahteraan keluarga tetapi juga kesuburan tanah pertanian dan hasil panen,” tulis dia.

Jika Hāritī dipahatkan di dinding sisi utara lorong pintu masuk candi, relief Kuvera atau Atavaka yang merupakan Dewa Kemakmuran dipahatkan di dinding sisi selatan lorong pintu masuknya.

Maka, lengkap sudah harapan masyarakat Cepit di masa lalu dengan keberadaan dua sosok itu di Candi Banyunibo. Lahan pertanian mereka subur. Anak-anak mereka terlindungi. Hidup mereka makmur dan sejahtera.

Baca juga: Tanaman untuk Penghijauan dari Relief Candi

Pemugaran yang Sulit

Candi Banyunibo ditemukan pada 1932 dalam keadaan runtuh. Sebagian besar batu lepas, berserakan, dan tertimbun tanah. Banyak batu asli yang tak bisa ditemukan kembali. Ketika ditemukan, ruang candinya kosong. Tak ada arca pada relung-relungnya. Stupa-stupa pendampingnya pun tak lagi berdiri tegak. Pemugaran sulit dilakukan dan memakan waktu lama. Pemugaran dilakukan dua kali dan selesai pada 1978.

Siapa yang membangun Candi Banyunibo belum jelas. Sebab, tak ada prasasti yang menyebut keberadaan candi ini. Namun, menurut Edy Sedyawati, bentuk atap candinya mirip dengan Candi Semar di Kompleks Candi Dieng, candi perwara Candi Gedongsongo III, dan Candi Plaosan Lor. Karenanya, “Diperkirakan Candi Banyunibo berasal dari abad ke-9, yaitu masa pemerintahan Dinasti Sailendra.”

Baca juga: Mempercantik Candi-candi di Yogyakarta dengan Semak Berbunga

Candi Banyunibo telah kembali tegak. Keberadaannya melengkapi khazanah budaya Nusantara yang bisa dinikmati beragam generasi untuk bersantai sekaligus mempelajari sejarah dan kearifan masa lalu.

Saat ini di sekeliling Candi Banyunibo terhampar perkebunan tebu dan persawahan yang luas. Jika ingin melihat dan merasakan langsung bagaimana suasana di Candi Banyunibo, Siap Darling (Siap Sadar Lingkungan) yang diiniasi oleh Bakti Lingkungan Djarum Foundation tengah menggelar Candi Darling From Home. Anda bisa menyaksikan penananaman pohon di arena candi dan virtual tour Candi Darling melalui video di channel youtube Siapdarling dan informasi mengenai kegiatan ini di website siapdarling.id dan instagram @siapdarling.

Kalau sudah lebih rimbun, candi ini pasti akan semakin nyaman dikunjungi. Maka, Candi Banyunibo pun akan sesuai namanya. Ia seakan menjadi setetes air di tanah yang gersang.

Baca juga: Membangun Candi Borobudur

TAG

candi darling siap darling darling squad bakti lingkungan djarum foundation

ARTIKEL TERKAIT

Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Menapak Tilas Ken Angrok Ratu Kalinyamat Menjadi Pahlawan Nasional Zhagung dan Tikus versi Pram versus Karmawibhangga Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air Candi Singhasari dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Perjalanan Arca Candi Singhasari Kembali ke Indonesia Menyita Harta Pejabat Kaya Raya Kurug, Pakaian Istimewa Masyarakat Jawa Kuno