Meski penduduknya belum padat, orang-orang zaman kuno sudah membutuhkan perluasan lahan pertanian. Namun, perluasan lahan pertanian tidak bisa sembarangan.
“Dalam masyarakat agraris, tanah menjadi sangat penting karena merupakan lahan olahan,” kata I Gusti Made Suarbhawa, kepala Balai Arkeologi Bali, dalam webinar “Pertanian di Bali: Dulu, Kini, dan Akan Datang” yang diadakan Balai Arkeologi Bali via zoom, Selasa, 30 Juni 2020.
Pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk Bali Kuno. Ketika membutuhkan lahan lebih luas, mereka memanfaatkan hutan kerajaan atau hutan larangan. Namun, ada prosedur yang harus dipatuhi.
“Tak bisa seenaknya bawa parang, golok, tebang pohon menjadi lahan pertanian, tempat berkebun. Di sini terlihat peran pemerintah,” kata Suarbhawa.
Pertanian Tulang Punggung
Pertanian dipercaya berkaitan dengan penutur bahasa Austronesia sekitar 4.500–3.000 tahun lalu. Kegiatan mengolah lahan itu menyebar dari Taiwan ke Filipina, Kalimantan utara, Jawa timur, Indonesia timur, dan Bali. Pada waktu itu, pertanian dianggap tulang punggung kehidupan orang zaman kuno.
Suarbhawa menguraikan, orang Bali Kuno memanfaatkan lahan untuk berladang (parlak) dan berkebun (mmal, ngmal, kbwan/kbwan, kebon, gaga/pagagan). Keduanya telah disebut sejak masa penulisan Prasasti Sukawana I (882), yakni prasasti pertama Bali Kuno yang memuat angka tahun, hingga prasasti dari abad ke-12, salah satunya Prasasti Kintamani E.
“Pertanian lahan kering merupakan praktik pertanian tua di muka bumi, terdiri atas beberapa jenis yakni pertanian di ladang, pertanian di tegalan (tgal), dan pertanian di kebun,” kata Suarbhawa.
Baca juga: Bertani Zaman Kuno
Dalam Prasasti Batur Pura Abang A (1011) disebutkan tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian kering: Gangan (sayur-sayuran); mulaphala (umbi-ubian) seperti jahe (pipakan), bawang putih (rasuna), bawang merah (bawang bang), dan talas (tals); buah-buahan (sarwaphala); dan kasumba.
Dari beberapa prasasti diketahui tanaman lain, seperti nyu/tirisan (kelapa), blu (pisang), jirk (jeruk), mende (mundu), kapulaga, wungkudu (mengkudu), pinang, kemiri, sirih, hano (enau), pring/tihing/amplal/petung (bambu), kapas, biji-bijian, seperti kacang hijau (hartak), jagung, ketumber, ketela rambat, dan cabya (cabai).
Berdasarkan Prasasti Sukawana I (882), pertanian di lahan basah juga sudah dilakukan. “Bahkan, diduga sudah dipraktikkan jauh sebelumnya,” kata Suarbhawa.
Baca juga: Bunga dan Buah pada Zaman Kuno
Dalam prasasti itu disebut kata huma yang berarti sawah. Kata sawah itu dapat berarti sawah tadah hujan atau sawah irigasi. Kata huma juga terdapat dalam Prasasti Bangli Pura Kehen A (935), Prasasti Dausa Pura Bukti Indrakila I (935), Prasasti Serai A I (966), dan beberapa Prasasti berbahasa Bali Kuno lainnya.
Sementara kata sawah yang artinya juga sawah, ditemukan pada prasasti berbahasa Bali Kuno, seperti Prasasti Batuan (1022), Prasasti Dawan (1053), Prasasti Tengkulak (1023), Prasasti Pandak Bandung (1071), Prasasti Klungkung (1072), Prasasti Buahan D dan E (1181), Prasasti Bugbug, Prasasti Sukawana B, Prasasti B, Prasasti Timpag, dan beberapa prasasti lainnya.
Memanfaatkan Hutan
Perluasan lahan pertanian basah dari hutan atau semak menjadi sawah termuat dalam Prasasti Sading A (1001), Prasasti Ujung (1020), Prasasti Batuan, Prasasti Dawan, Prasasti Buahan D dan E, Prasasti Sukawana B, Prasasti Timpag, Prasasri Bugbug, Prasasti Batujaya B (1181), dan Prasasti Langkan (tanpa tahun).
Prasasti-prasasti itu menerangkan, secara berurutan petani membersihkan lahan (amabaki), meratakan tanah (mangarapuh), membajak (amaluku), menanam (atanem/mamula), menyiangi padi (amatun/majakut), menuai padi (ahani/mangharanyi), dan menumbuk padi (anutu/manutu).
Baca juga: Menyibak Sejarah Subak
Masyarakat harus meminta izin karena perluasan lahan pertanian itu memanfaatkan hutan kerajaan atau hutan larangan. Prasasti Batur Pura Abang A menceritakan penduduk Desa Er(air) Hawang, sekarang identik dengan Desa Abang, memohon kepada Raja Udayana agar hutan tempatnya berburu dihibahkan dan dimasukkan ke dalam Desa Air Hawang. Hutan itu berdekatan dengan Desa Air Hawang.
Penduduk berharap hutan itu bisa dimanfaatkan untuk kebun atau lahan pertanian dengan ditanami sayur-sayuran, umbi-umbian, padi gaga, dan berbagai jenis tanaman yang dapat menyejahterakan masyarakat.
Masyarakat Bali Kuno juga pernah membeli sebagian lahan hutan buruan milik raja karena mereka kekurangan lahan untuk mencari pakan sapi dan mengambil kayu.
Baca juga: Kebakaran Hutan Masa Majapahit
I Wayan Ardika, Guru Besar Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, menjelaskan bahwa berdasarkan Prasasti Bwahan B (1025) dari masa Raja Marakata, hutan perburuan yang ingin dibeli penduduk letaknya dekat dengan desa. Hutan itu dibeli 10 suwarna mas dan pilih mas-nya 10 masaka.
“Meningkatnya kebutuhan manusia akan sumber-sumber alam adalah satu sebab timbulnya keresahan dalam masyarakat,” tulis Ardika dalam “Pengambilan Keputusan Raja-Raja Bali Abad X-XI”, yang terbit di Pertemuan Ilmiah Arkeologi III.
Baca juga: Para Penjaga Hutan Zaman Kuno
Ekstensifikasi lahan berlanjut pada masa Kerajaan Bali Pertengahan. Pada pertengahan abad ke-19, Kerajaan Mengwi mencetak sawah-sawah baru di utara Desa Blahkiuh sampai Desa Plaga, Desa Gerana, dan Desa Abiansemal.
Kerajaan itu juga melakukan ekstensifikasi lahan untuk penanaman kopi di utara Desa Petang sampai Desa Plaga. Demikian pula dengan wilayah pegunungan Kerajaan Tabanan, Gianyar, Buleleng, dan Bangli sekira 1855–1875.
“Sangat pesat perluasan penanaman kopi. Komoditas kopi menjadi salah satu primadona kerajaan-kerajaan saat itu termasuk juga penanamannya, diekspor melalui pelabuhan Bali Utara, di Buleleng,” kata Suarbhawa.
Semua Tanah Milik Raja
Ahli epigrafi, Boechari dalam “Kerajaan Mataram dari Prasasti” yang terbit di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, menyebut bahwa pemerintah pusat memegang catatan tentang luas dan berbagai macam tanah yang ada di seluruh kerajaan. Pun berapa penghasilan pajak yang dapat diterima.
Tanah yang dikenai pajak adalah sawah, pegagan atau sawah kering, kebun, sungai, rawa, dan lembah sungai. Pajaknya ditetapkan berdasarkan luas, terutama sawah dan kebun. Penetapan ini sering menimbulkan sengketa akibat standar ukuran yang berbeda.
Baca juga: Pejabat Pajak Menyeleweng
Menurut arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djoko Dwiyanto dalam “Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa pada Abad IX-XV Masehi” dalam jurnal Humaniora, I/1995, dalam bahasa Jawa Kuno pajak disebut drabya haji. Selain berarti pajak secara umum, ia juga bermakna “milik raja”.
Pengertian itu muncul dari anggapan rajalah yang punya hak atas tanah dan segala aktivitas di atas tanah itu. Sementara rakyat hanya punya hak menggarap dan mengelola.
“Hak raja atas sebagian pembagian hasil itu diwujudkan dalam bentuk iuran sejumlah emas dan perak. Iuran ini harus diserahkan ke kas kerajaan,” tulis Djoko.
Sanksi Bagi Pelanggar
Karena dianggap milik raja, maka pengalihan fungsi hutan menjadi tanah garapan menjadi lebih ketat. Ada sanksi berat bagi yang membabat alas secara liar.
Sektiadi, dosen arkeologi UGM dalam “Pengelolaan Risiko Bencana Kerajawian: Tinjauan Atas Beberapa Prasasti” termuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, menjelaskan bahwa pada masa lalu tak hanya penanaman pohon, ada juga larangan penebangan pohon. Seperti di Bali terdapat jenis-jenis pohon yang tidak boleh ditebang.
Baca juga: Hukuman Bagi Perusak Hutan
Prasasti Tengkulak A memberitakan, pohon-pohon yang dilarang boleh ditebang hanya dalam kondisi tertentu. Pohon kemiri, Bodhi, beringin, sekar kuning, mende, jirek, kemukus, kapulaga, enau, wungkudu, dan semua jenis kayu larangan diizinkan ditebang apabila kayu itu tumbuh di tengah lahan pembuatan saluran irigasi atau kali, menaungi sawah, rumah, dan tempat suci. Terutama pohon kelapa, penebangannya tidak dikenakan denda.
“Penanaman pohon dan larangan penebangan pohon merupakan salah satu upaya untuk mengonservasi lahan sehingga tidak terjadi berbagai bencana, terutama yang berkaitan dengan kekeringan, banjir, dan tanah longsor,” tulis Sektiadi.