Clifford Geertz tiba di sebuah desa kecil di Bali awal April 1958 bersama istrinya, Hildred Geertz. Sebagai antropolog, mereka bermaksud meneliti budaya dan masyarakat di sana. Pada hari ke-10 kunjungan, mereka pergi ke sudut desa yang tersembunyi. Di sana, puluhan orang telah berkumpul. Adu ayam tengah dihelat. Geertz dan istrinya menyaksikan dengan seksama. Tiba-tiba seseorang berteriak: “Polisi, polisi!” Orang-orang berlarian. Tak terkecuali Geertz dan istrinya.
Geertz menuangkan pengalamannya dalam karyanya “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting”, termuat dalam Intrepetation of Cultures. Karya itu mengupas aspek antropologis adu ayam (tajen) di Bali. Geertz mengungkapkan, bagi kebanyakan lelaki Bali, tajen menjadi simbol maskulinitas. “Pada arena adu ayam, yang terlihat bertarung memang ayam, tapi ayam-ayam tersebut merupakan perwakilan dari kaum pria di Bali,” tulis Geertz. Namun polisi beranggapan lain. Tajen adalah judi. Kriminal. Jauh dari tujuan awalnya.
Baca juga: Adu Jangkrik dari Tiongkok ke Nusantara
Dalam rentang sejarah Bali, adu ayam tercatat dipraktikan masyarakat Bali sejak abad ke-10. Prasasti Sukawana memuat keterangan ritual keagamaan (yadnya) yang mendasari tajen. Selanjutnya, dalam Prasasti Batur Abang (1011) terjabar keterangan terkait tajen. Menurut Andrik Hendrianto dalam “Perjudian Sabung Ayam di Bali”, tesis pada Universitas Indonesia, adu ayam tak memerlukan izin dari pihak berwenang seperti raja. Namun ritual ini tak boleh dilakukan serampangan.
Kala itu, masyarakat memasang taji (tajen) atau benda tajam di kaki salah satu ayam jantan yang diadu. Untuk ayam lainnya hanya dipasangkan bambu atau kayu di kakinya. Pertarungan ayam dalam ritual itu disebut perang seta. Tujuannya agar ada ayam yang mati sehingga darahnya membasahi bumi.
Baca juga: Mengilik Sejarah Adu Jangkrik
Darah itu lalu dicampur dengan tiga macam cairan berwarna: putih (tuak), kuning (arak), dan hitam (berem). Percampuran ini sebagai simbol pengingat agar umat manusia menjaga keseimbangan bhuwana alit (manusia) dengan bhuwana agung (semesta). Ritual keagamaan ini disebut tabuh rah.
Adu ayam dalam Tabuh rah bukanlah tujuan utama. Adu ayam hanya menjadi salah satu cara menabuhkan (menuangkan) darah ayam. Dengan demikian, ayam sejatinya tak diadu sungguh-sungguh. Tabuh rah bisa dilaksanakan tanpa mengadu ayam. Sebagai gantinya, orang bisa langsung menyembelih ayamnya. Keterangan ini termuat dalam Prasasti Batuan (1022).
Meski di pedesaan adu ayam ditujukan sebagai ritual keagamaan, raja-raja di Bali memiliki hak istimewa menggelar adu ayam tanpa tujuan sakral. “Di pusat-pusat istana, hal itu merupakan hak istimewa raja sebagaimana acara-acara adu hewan lainnya,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga. Mereka menghelat adu ayam untuk kesenangan pribadi –seringkali dengan bertaruh sesuatu– dan simbol kebesaran raja. Tak heran, ayam menjadi hewan kegemaran raja-raja di Bali. Keadaan seperti ini berlangsung pula di luar Bali, terutama di Jawa.
Di Jawa, adu ayam dapat dilacak melalui kisah-kisah sastra yang mengambil latar masa Kerajaan Jenggala (1042). Menurut Mariana Anggraeni dalam skripsinya pada Universitas Indonesia, “Hakikat dan Fungsi Permainan Sabung Ayam dalam Serat Jago”, kisah yang tersohor mengenai adu ayam dapat ditemukan dalam kisah Cindelaras.
Cerita Cindelaras menceritakan anak yang dibuang bersama ibunya ke dalam hutan. Ketika besar, dia ingin membuktikan bahwa dia anak raja terdahulu. Raja yang berkuasa, Raden Putra, tak lantas percaya. Raja mengajak Cindelaras mengadu ayam. Jika Cindelaras menang, barulah raja percaya. Sedangkan jika raja menang, Cindelaras harus dipancung.
Baca juga: Merampog Harimau dengan Manusia
Cindelaras tak keberatan. Keduanya mengadu ayam terbaiknya. Kala itu, tak sembarang orang bisa mempunyai ayam terbaik. Usai pertarungan, ayam Cindelaras keluar sebagai pemenang. Raja pun percaya. Kisah ini menggambarkan pertaruhan manusia. Ada yang dipertaruhkan dalam adu ayam di Jawa sejak berabad-abad silam. Lebih jauh, adu ayam masih menjadi permainan terbatas untuk kalangan raja dan orang tertentu.
Ketika kendali kerajaan-kerajaan di Bali dan Jawa mengendur akibat invasi Eropa, adu ayam mulai digemari masyarakat. Raja, bangsawan, dan kaum agamawan tak lagi memegang hak eksklusif atas adu ayam. “Pengawasan atas acara-acara demikian, oleh kerajaan, mungkin telah mengendur pada abad ke-18,” tulis Anthony Reid. Hingga seabad kemudian, adu ayam menjadi permainan rakyat dengan dibalut perjudian.
Baca juga: Bilangan Nol, Apple, Kari Ayam dan Soal Keyakinan Asli
Catatan R. Friedrich, seorang cendekiawan Jerman yang mengunjungi Bali dalam 1846, agak berbeda. Dia menyatakan adu ayam masih merupakan bagian dari upacara keagamaan. “Selain perayaan-perayaan, ada juga adu ayam jantan yang tidak hanya dianggap sebagai hiburan oleh masyarakat, tetapi juga sebagai bagian dari upacara keagamaan,” tulis Friedrich dalam “Hindu Bali”, termuat dalam Bali Tempo Doeloe.
Memasuki 1900-an, unsur ritual keagamaan dalam adu ayam meluntur. Sebaliknya, sifat profannya menguat lantaran banyaknya masyarakat yang bertaruh. Acara ini tak lagi digelar di tempat umum atau sakral, melainkan di tempat-tempat tersembunyi. Pemerintah kolonial segera melarang adu ayam kecuali yang berizin dan ditujukan sebagai ritual keagamaan. Istilah sabung pun mulai muncul menggantikan perang seta. Sabung berarti pahlawan, jejaka, atau pemenang.
Baca juga: Henriëtte Sang Induk Ayam Belanda yang Tua
Louis Coperus, penulis novel terkenal De Stille Kracht (Kekuatan Tersembunyi), menggambarkan keadaan kacau tersebut pada 1921. “Pertarungan ini menjadi ajang perjudian yang melibatkan uang yang jumlahnya tentu saja tidak sedikit. Mata uang yang dipertaruhkan adalah ‘dollar’ alias koin yang umum dipakai di Bali pada masa itu.”
Setelah kemerdekaan, larangan terhadap sabung ayam dipertahankan. Polisi gencar melakukan razia para penjudi sabung ayam seperti diceritakan Geertz.