PENEGAKKAN syariat Islam di Aceh membuat warganya kerap kena razia. Mereka terjaring karena mengenakan pakaian ketat. Kaum lelaki karena memakai celana pendek di atas lutut. Razia dilakukan sebagai implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah, Syiar Islam. Biasanya laki-laki yang terjaring diberi sarung dan perempuan diberi jilbab. Mereka juga dibina supaya berpakaian sesuai peraturan.
Islam sudah ada di Aceh paling tidak sejak abad 13. Namun, bukan berarti penerapan aturannya sudah sama sejak masa itu. Orang-orang asing yang datang ke Aceh menggambarkan bagaimana mereka berpakaian dan merias diri.
Francois de Vitre, penjelajah Prancis yang datang ke Aceh pada 26 Juli 1602 mengungkapkan, kebanyakan orang Aceh mengenakan ikat pinggang yang dililitkan pada tubuh untuk menutupi kemaluan. Bagian tubuh lain dibiarkan terbuka.
Sementara para bangsawan dan pedagang menggunakan kain katun atau sutera yang dililitkan pada tubuh hingga lutut. Mereka juga memakai sejenis topi yang sangat lebar, dengan lengan yang juga lebar dan terbuka di bagian depan.
Vitre mencatat, orang Aceh juga biasanya memakai pakaian dari belacu biru, warnanya merah lembayung. Menurutnya, kebiasaan mereka yang suka memakai sorban sungguh aneh. Sorban itu diikat seperti gulungan sedemikian rupa hingga ujung kepalanya tak tertutup.
Di pundak mereka memakai baju atau rompi dengan lengan yang lebarnya bukan kepalang lalu ketat di bagian pergelangannya. Sebuah “lunghee” melilit pinggang, pedang panjang di sisi, yang bergantung pada sabuk yang diselempangkan.
Berdasarkan sketsa seorang pedagang Inggris, Peter Mundy pada 1637 sabuk itu diselempangkan di bahu kiri, senjata yang masuk dalam sarung itu panjang sekali. Senjata ini digantungkan di bawah lengan dan pegangan senjata itu tertahan di bawah ketiak. Selain pedang panjang tadi, mereka juga memakai keris. Ini semacam pisau belati.
Semua laki-laki mencukur habis kumis dan jenggot mereka. Semua berjalan tanpa alas kaki, dari raja sampai orang paling kere sekalipun.
“Mereka tak berkulit sehitam orang Guinea. Hidungnya juga tak sepesek mereka. Mereka berkulit kuning atau coklat. Berperawakan cukup tinggi,” catat Vitre.
Adapun perempuan umumnya mengenakan kain katun dari pinggang hingga lutut. Sepotong kain lain menutupi bagian dada hingga pinggang. Meskipun demikian ada pula perempuan yang bertelanjang dada, hanya mengenakan selendang yang disampirkan di bahu menutupi sebagian dada. Kepala mereka tak ditutup dan membiarkan rambut dipotong pendek.
Setiap perempuan telinganya dilubangi dan diselipi benda selebar empat jari. Selain itu pada tulang rawan telinganya terdapat juga lubang-lubang kecil yang diselipi bunga-bunga. Mereka mengenakan gelang tembaga, timah putih, atau perak. Beberapa di antara mereka juga mengenakan cincin di jari manisnya.
Agar tubuhnya wangi, para perempuan biasanya menumbuk rempah wangi dan merendamnya dalam air, seperti batang lidah buaya, cendana, dan jeruk purut. Mereka menggosokkan bahan-bahan itu ke bagian tubuh.
Para gadis kalau tidak diikat rambutnya di belakang kepala, mereka berambut pendek. Sehingga membuat mereka sulit dibedakan dari lelaki, kecuali karena buah dadanya.
Sementara itu, pejelajah Inggris lainnya, William Dampier pada 1688 memberikan gambaran sedikit berbeda. Katanya, masyarakat Aceh yang berkedudukan tinggi biasanya memakai kupiah di kepala dari kain wol berwarna merah atau warna lain. Mereka memakai celana pendek. Bangsawan memakai sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak. Sementara rakyat kecil telanjang dari pinggang ke atas. Mereka juga tidak memakai kaos kaki atau sepatu. Hanya orang kaya yang memakai sandal.
Penari
Dalam dunia hiburan, dandanan para penarinya pun begitu semarak. Penari perempuan misalnya, sebagaimana diungkapkan Augustin de Beaulieu. Di atas rambut mereka ada sebentuk topi yang terdiri dari gulungan emas dengan jambul-jambul sepanjang 1,5 kaki juga dari gulungan emas. Topi itu ditelengkan ke sebelah telinga. Mereka memakai anting-anting besar yang juga terdiri dari untaian emas. Untaian itu menggantung hingga bahu.
Bahunya ditutupi sejenis hiasan ketat yang melingkari leher dan melebar membentuk lidah lancip melengkung seperti gambaran sinar matahari. Seluruhnya dari lempeng emas yang diukir aneh sekali.
Di tubuh bagian atasnya, mereka mengenakan kemeja atau baju dari kain emas dengan sutera merah yang menutupi dada dengan ikan pinggang besar yang sangat lebar. Bahannya dari untingan-untingan emas. Pinggul mereka diikat ketat dengan selajur kain emas, sebagaimana kebiasaan di negeri itu. Di bawahnya, celana juga dari kain emas. Panjangnya tak lebih dari lutut. Di bagian bawahnya digantungi beberapa kerincing emas kecil. Lengan dan kakinya telanjang. Namun, dari pergelangan tangan hingga siku tertutup berbagai renda emas berpermata. Itu seperti juga di atas siku dan dari pergelangan kaki sampai betis.
Di pinggang, masing-masing ada keris atau pedang yang pegangan dan sarungnya bertahtakan permata. Tangan mereka juga memegang kipas besar dari emas dengan beberapa kerincing kecil di pinggirnya.
Bagi Beaulieu pakaian yang dikenakan gadis-gadis penari itu aneh, namun mereka sangat cantik. “Tak kukira ada yang seputih itu di negeri sepanas ini, sedangkan dandanannya belum pernah saya lihat sedemikian … sukar bagi saya menerangkannya, sebab seluruhnya dari emas belaka,” kata Beaulieu.
Kuku dan Keris
Rupanya, selain emas dan permata, orang-orang Aceh masa lalu juga menjadikan kuku sebagai tanda status sosial. Orang kaya bisa dibedakan dari rakyat biasa lewat kukunya. Seringkali orang kaya membiarkan kuku ibu jari dan kelingkingnya tumbuh panjang. “Ini tanda kalau mereka tak melakukan pekerjaan kasar dengan tangannya,” tulis Danys Lombard.
Keris juga menambah kekuasaan bagi pemiliknya. Lombard mencatat, keris pada masanya merupakan lambang kekuasaan, selain cap. Tanpa keris, tak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah raja. Para pegawai istana membawa keris kalau menyambut orang asing untuk mengantar mereka menghadap raja.
John Davis, seorang juru mudi Inggris, pada 1599 menjelaskan keris semacam badik yang mata dan pegangannya terbuat dari logam yang oleh raja dinilai lebih berharga dibanding emas. Pegangannya bertakhtakan batu-batu delima.
Memakai keris sembarangan sangat dilarang dan terancam hukuman mati. Namun, jika raja yang memberikan keris itu, dengan hanya memegangnya dia mampu mengambil makanan tanpa membayar dan memerintah orang lain layaknya kepada budak.
“Semua penjelajah atau hampir semuanya, memberi gambaran yang sama dari kekuasaan yang berkat keris itu melekat pada si pemakai,” tulis Lombard.