Masuk Daftar
My Getplus

Mempertanyakan Eksistensi Sriwijaya

Satu abad sudah Sriwijaya dinyatakan sebagai negeri di Sumatra. Ia berbentuk kadatuan, bukan kerajaan.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 08 Sep 2019
Candi Astano, salah satu candi di kompleks percandian Muarojambi, Jambi. Kompleks Candi Muarojambi dipercaya sebagai kawasan yang dimaksud I-Tsing sebagai "kota berbenteng" dalam catatannya. (Dok. Kemendikbud).

Baru pada permulaan abad ke-20, pengetahuan tentang Sriwijaya lahir. Itu belum lama sampai akhirnya kadatuan itu dinyatakan fiktif oleh budayawan Betawi, Ridwan Saidi, lewat video yang diunggah di kanal YouTube “Macan Idealis” baru-baru ini.

Awalnya, Sriwijaya baru berupa negeri dengan sebutan Tionghoa yang belum diketahui nama aslinya. Negeri itu tadinya belum dipanggil Sriwijaya tapi Shili Foshi.

Kebetulan orang Tiongkok-lah yang pertama mencatatnya. Adalah I-Tsing yang menuliskan pengalamannya menetap di negeri itu selama sepuluh tahun. Dia seorang biksu yang sempat mengunjungi Shili Foshi dua kali pada sekira abad ke-7 dalam pengembaraannya belajar agama di Nalanda, India.

Advertising
Advertising

Baca juga: Membantah Sriwijaya Fiktif

Dalam catatan I-Tsing, nama Shili Foshi, kerap pula disingkat Foshi. Nama itu digunakan untuk menyebut negara, ibukota, dan sungai yang muaranya digunakan sebagai pelabuhan.

Slamet Muljana dalam Sriwijaya menjelaskan bukan hanya I-Tsing yang menyebutnya begitu. Pada masa Dinasti T’ang, itulah sebutan bagi Sriwijaya dalam catatan resmi kerajaannya.

Sarjana Jepang, Takakusu, yang menerjemahkan karya I-Tsing, Nan-hai-chi-kuei-nai fa-ch’uan ke dalam bahasa Inggris (A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago) pada 1896 pun belum mengenal Sriwijaya. Nama itu dikira transkrip Tionghoa dari nama asli Sribhoja.

Baca juga: I-Tsing Mencatat Letak Ibu Kota Sriwijaya

Bahkan sampai pada 1913, Sriwijaya juga belum dikenali sebagai negeri. Namanya malah sempat hanya dianggap sebagai nama seorang raja. Itu dugaan Hendrik Kern, orientalis dan ahli bahasa Sanskerta dari Belanda. Dia menyimpulkannya setelah menerjemahkan Prasasti Kota Kapur, salah satu prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Bangka dari tahun 686. Prasasti itu menurutnya adalah maklumat Sri Paduka Vijaya yang mengutuk para penjahat dan yang berani merusak prasasti, serta mereka yang tak setia.

“Dia masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum dalam prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Sri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja, diikuti nama raja yang bersangkutan,” tulis Slamet Muljana.

Sriwijaya sebagai Negeri

Bisa dibilang berkat George Cœdes masyarakat Indonesia bisa mengenal Sriwijaya sebagai sebuah negeri di Sumatra. Arkeolog asal Prancis itu didaulat sebagai penemu negeri Sriwijaya pada 1918 lewat karangannya “Le Royaume de Çrīvijaya”.

Terjemahan oleh Kern di mana nama Sriwijaya muncul; ditambah karya I-Tsing di mana nama Shili Foshi dicatat; lalu data epigrafi termasuk beberapa prasasti bangsa Cola, India, seperti Prasasti Tanjore dari 1030 di mana nama Sriwijaya juga disebutkan; memungkinkan Cœdes untuk menetapkan Sriwijaya adalah nama negeri di Sumatra Selatan. Nama itulah yang kemudian ditranskripsikan ke dalam tulisan Tionghoa menjadi Shili Foshi.

“Prasasti Bangka itu tak berasal dari Sri Paduka Vijaya, melainkan seorang tokoh yang tak disebut namanya, kepala dari sebuah negara Melayu yang telah mengenal peradaban India dan bernama Srivijaya,” tulis Cœdes dalam artikelnya.

Baca juga: Bentuk Kerajaan Sriwijaya Berdasarkan Catatan I-Tsing

Prasasti-prasasti Sriwijaya kemudian menawarkan terminologi yang lebih spesifik untuk menyebut apa itu Sriwijaya. Dalam prasasti-prasasti awal Sriwijaya, khususnya prasasti Kota Kapur dan Telaga Batu yang ditemukan di Palembang, Sriwijaya disebut sebagai kadatuan.

Prasasti Telaga Batu yang baru dipublikasikan J.G. de Casparis, peneliti dari Belanda pada 1956 bahkan mengungkapkan jabatan-jabatan dan pangkat yang mungkin sekali ada di dalam struktur pemerintahan dan kemasyarakatan Sriwijaya. Itu mulai dari putra raja (rajaputra), menteri (kumaramatya), bupati (bhupati), panglima (senapati), pembesar atau tokoh lokal terkemuka (nayaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (haji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja atau buruh (tuha an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyaksi nijavarna), ahli senjata (vasikarana), tentara (catabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kayastha), pengrajin (sthapaka), kapten kapal (puhavam), peniaga (vaniyaga), pelayan raja (marsi haji), dan budak raja (hulun haji).

Kendati disebutkan ada putra raja, pelayan raja, budak raja di prasasti itu, dengan semua data yang ada sejumlah ahli menyimpulkan Sriwijaya bukanlah berbentuk kerajaan. Sistemnya berupa kadatuan. Ini paling tidak berlaku pada akhir abad ke-7 hingga ke-8.

Hermann Kulke, ahli sejarah Asia Tenggara dan India berkebangsaan Jerman, mempublikasikan tulisannya, “Kadatuan Srivijaya, Imperium atau Kraton Sriwijaya?” pada 1993. Lewat tulisan yang kini diterbitkan ulang dalam Kedatuan Sriwijaya, dia berpendapat Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan yang membawahi wilayah lain yang mengakui kedaulatannya. Dia buktikan berdasarkan kajian epigrafi.

Baca juga: Kekuatan yang Mengancam Sriwijaya

Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, pun sepakat bahwa Sriwijaya tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Di Sriwijaya terdapat sejumlah wanua-wanua atau permukiman-permukiman yang dikepalai oleh seorang datu. Semuanya berada dalam kendali kadatuan “pusat” yang dipimpin oleh datu pula.

“Jadi bukan suatu imperium, masyarakat ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh para datu yang otonom dan memiliki privasi,” kata Ninie.

Sejauh ini letak pusat Kadatuan Sriwijaya masih menjadi persoalan. Kemungkinan ibu kotanya sempat berpindah. Sejarawan India, Ramesh Chandra Majumdar, berpendapat kalau Sriwijaya harus dicari di Jawa. Sarjana Belanda, J.L. Moens menduga Sriwijaya berpusat di Kedah (Malaysia) dan pindah ke Muara Jambi (Jambi). Sementara sejarawan lainnya, George Coedes, Slamet Muljana, dan O.W. Wolters, lebih memilih Palembang.

Umumnya, Palembang memang lokasi yang banyak disepakati sebagai awal pusat pemerintahan Sriwijaya. Itu berdasarkan prasasti-prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Palembang. Prasasti Kedukan Bukit misalnya, yang bertanggal 16 Juni 682 M menandai dibangunnya sebuah perkampungan. Prasasti Talang Tuo, bertanggal 23 Maret 684 M, menandai dibangunnya Taman Sri Ksetra, dan Prasasti Telaga Batu menandai pejabat-pejabat yang disumpah.

Baca juga: Sistem Politik yang Membuat Sriwijaya Bertahan Lebih dari Lima Abad

“Semuanya ditemukan di Palembang, merupakan suatu bukti bahwa Palembang merupakan pusat Sriwijaya,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival tahun lalu, di Hotel Manohara, Magelang.

Sampai kini sudah 101 tahun sejak Cœdes menemukan keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah negeri. Berbagai penelitian dan penggalian sudah dilakukan untuk mengungkap lebih dalam soal Sriwijaya. Namun, rupanya masih banyak hal yang masih perlu dipastikan, termasuk soal pusat pemerintahannya dan soal siapa saja penguasanya. Termasuk juga soal bukti eksistensinya sebagai kesatuan politik di Sumatra. Untuk yang ini, setidaknya Ridwan Saidi masih memerlukannya.

TAG

Sriwijaya

ARTIKEL TERKAIT

Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Sungai yang Membangun Peradaban di Sumatra Angin Muson, Mesin Perkembangan Budaya Menjemput Berkah dari Situs Percandian Muarajambi Jejak Peradaban di Sepanjang Sungai Batanghari Saksi Bisu Dua Kekuatan Besar Sumatra Temuan Baru di Situs Muarajambi Mengingat Lagi Muarajambi Ketika Sumatra Menjadi Pusat Peribadatan Tantrayana Prasasti Kutukan Sriwijaya di Wilayah Taklukkan