Masuk Daftar
My Getplus

Meluruskan Mitos Candi Plaosan

Benarkah bangunan era Wangsa Syailendra ini jadi bukti kekuatan cinta pasangan beda agama?

Oleh: Randy Wirayudha | 26 Jan 2023
Kompleks Candi Plaosan Lor dengan candi induk kembar dan reruntuhan sebagian candi pendampingnya (Randy Wirayudha/Historia)

BERBEKAL selembar tiket seharga Rp10 ribu untuk tarif wisatawan Nusantara, langkah kaki terus berayun menyusuri jalan setapak tanah berpasir. Di sisi kiri tampak pepohonan rindang dan di sisi kanan terhampar candi-candi baik yang masih berdiri kokoh maupun reruntuhan. Candi kembar di komplek Candi Plaosan Lor jadi view utama yang tak hanya sekadar dikunjungi untuk dikagumi tapi juga acap jadi backround apik untuk bersesi foto pra-nikah.

Meski dekat Komplek Candi Prambanan yang hanya berjarak sekitar 2,6 kilometer, lokasi kompleks Candi Plaosan Lor sudah berbeda wilayah administrasi. Candi Plaosan Lor maupun Candi Plaosan Kidul terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Di halaman muka kompleks, mayoritas candi kecil sudah jadi reruntuhan. Namun di belakang candi kembar bertingkat dua, barisan candi kecil berdiri dengan susunan rapi.

Advertising
Advertising

“Kalau yang (candi) kecil-kecil ini dinamakan perwara. Seperti candi pendamping, begitu. Kalau yang di Plaosan Kidul, candi besarnya (candi induk) belum ketemu, baru pondasi saja. Itu sayangnya juga masih jadi permukiman warga juga. Tetapi sudah ada pembicaraan (relokasi),” terang Ancah Yosi Cahyono, tenaga pembantu pemugaran Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X, kepada Historia.

Baca juga: Candi-candi Kerajaan Sunda Kuno

Menurut Edi Sedyawati, Hariani Santiko, dan Hasan Djafar dalam Candi Indonesia: Seri Jawa, Candi Plaosan Lor memiliki sedikitnya 174 candi perwara yang mengeliling kedua candi induk atau candi kembarnya. Baru sebagian kecil yang bisa dipugar kembali.

“Baris pertama (candi perwara) terdiri dari 50 candi perwara berbentuk caitya, baris kedua terdiri dari 54 bangunan stupa dan empat bangunan caitya, dan baris ketiga terdiri dari 62 bangunan stupa dan empat bangunan caitya,” tulis Edi, dkk.

Candi induk selatan dari tampak depan (Randy Wirayudha/Historia)

Sepasang candi kembarnya, baik candi induk utara maupun candi induk selatan, menghadap ke Barat. Setiap pengunjung yang ingin masuk mesti lebih dulu melewati gerbang yang hanya cukup untuk dilewati satu orang. Sepasang arca Dvarapala sebagai penjaga gerbangnya akan “menyapa” pengunjung yang hendak masuk.

Di undakan kanan maupun kiri candi utama utara tampak beberapa pengunjung sedang berteduh. Beberapa lainnya tampak mendaki anak tangga yang tentu lebih dulu mesti melepas alas kaki.

Baca juga: Mencari Candi Pemujaan Ken Angrok

Teduh dan sejuk hawa di dalam candi. Ada dua aula di dalamnya yang nyaris gulita. Diharuskan menyalakan senter untuk melihat seisi ruangan yang terdapat beberapa relief dan arca. Namun di candi utama utara beberapa arcanya sudah tak utuh lagi.

“Iya yang kiri (candi utama utara) arca-arca kepalanya sudah enggak ada semua. Kebanyakan patah bagian leher, tangan. Kalau kena reruntuhan (akibat gempa, red.) kan langsung patah. Setelah patah bagian kepala akhirnya orang-orang dulu dibuat souvenir, ya orang-orang Eropa bawa pulang. Jadi sebenarnya ada yang memang dipungut walau ada juga yang dijarah. Kebanyakan sih memang sudah patah terus dipungut,” sambung Yosi.

Sepasang arca Bodhisattva di salah satu ruangan di candi induk selatan, kompleks Candi Plaosan Lor (Riyono Rusli/Historia)

Berbeda sekali dari candi utama selatan yang terpisah tembok yang juga memiliki pintu gerbang penghubung, di sini arca-arcanya masih utuh. Sepasang sosok mirip Buddha tampak masih ada di aula sebelah kirinya yang tiga bidang dindingnya juga berhias sejumlah relief.

“Sebetulnya ini bukan Buddha. Yang dua itu Bodhisattva. Kalau Buddha kan sudah meninggalkan hal-hal duniawi. Kalau Bodhisattva masih melindungi semua yang ada di dunia. Makanya arcanya tergambar lengkap dengan pakaian seperti raja dan memakai mahkota di kepalanya. Dan sebetulnya di tengahnya, di antara arcanya, ada patung Buddha dari perunggu tapi sudah diamankan terlebih dulu,” lanjutnya.

Baca juga: Candi-candi di Mata Naturalis Inggris

Pada medio 1813, utusan Gubernur Jenderal Thomas Raffles, Kolonel Colin Mackenzie, mengungkap sejumlah bangunan candi Buddha. Candi Plaosan termasuk di dalamnya bersama Candi Sewu, Candi Kalasan, dan Candi Sojiwan. Kompleks Candi Plaosan Lor, menurut Edi dkk., sudah masuk ke daftar inventaris Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala Hindia Belanda) pada 1891 yang catatannya disusun peneliti candi Belanda RDM Verbeek.

“(Kompleks) ini dulu semak-semak, tertutup alang-alang. Terus bagian atas candinya juga runtuh karena gempa. Candi kan tidak ada perekat, cuman ada lock system. Jadi setiap ada gempa, batunya pasti bergeser. Lama-lama pergeseran berulang selama ratusan tahun akhirnya ambruk juga. Yang menemukan kalau enggak salah Mackenzie. Candi ini sudah dikenal masyarakat setmpat tapi cuman dibiarin begitu saja. Baru dicatat kembali oleh orang-orang Eropa,” jelas Yosi.

Ancah Yosi Cahyono, tenaga pembantu pemugaran BPK Wilayah X (Randy Wirayudha/Historia)

Mitos Mas Kawin Pasangan Beda Agama

Konon, sepasang candi kembar nan elok itu punya makna mendalam perihal cinta dan perbedaan. Mitos yang berkembang menyebutkan Candi Plaosan menjadi bukti cinta beda agama dan saksi bisu nyata kekuatan cinta dapat menyatukan perbedaan keyakinan.

Candi Plaosan dikatakan dibangun Rakai Pikatan, sang Raja Medang (Mataram Kuno), sebagai mas kawin untuk meminang Pramodhawardhani dari Wangsa Syailendra. Candi itu sekaligus dikatakan sebagai bukti toleransi antara Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dengan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha.

Mitos tersebut di kemudian hari melahirkan mitos baru bahwa setiap orang yang yang membawa pasangan, baik itu suami-istri atau masih pacaran, bakal langgeng jika mengunjungi Candi Plaosan. Sebaliknya, jika pasangan dibawa ke Candi Prambanan, hubungannya malah takkan langgeng.

Baca juga: Bukti Toleransi dari Candi

Menurut Yosi, cerita-cerita itu tak lebih dari mitos atau hoaks belaka. Mitos itu mulai populer sejak disuarakan orientalis dan pengakaji Indologi Belanda, Johannes Gijsbertus de Casparis. Casparis melakoni turnya ke Jawa Tengah dan Jawa Timur medio 1939 sebagai epigrafer Oudheidkundige Dienst. Pasca-kemerdekaan, Casparis yang sudah punya kompetensi arkeologi pun kembali ke Jawa Tengah.

“Memang teori populer (mitos bukti cinta beda agama) sekarang kan punyanya Casparis sekitar tahun 1952. Kalau dari versinya Casparis, dia bercerita kalau ini bukti cinta Rakai Pikatan sama Pramodhawardhani. Rakai Pikatan ini dikatakan beragama Hindu tapi Pramodhawardhani (beragama) Buddha. Terus mereka menikah dan rekonsiliasi kenegaraan dan candi ini dijadikan mas kawin. Tapi teori itupun sudah banyak yang membantahnya. Soalnya pada waktu itu memang tidak ada peperangan antara Hindu dan Buddha,” tambah Yosi.

Candi induk utara dan selatan yang dimitoskan sebagai bukti cinta beda keyakinan di masa Dinasti Syailendra (Randy Wirayudha/Historia)

Meski beberapa ornamen atau hiasan ukirannya mirip gaya Hindu, sambung Yosi, Candi Plaosan tetaplah Candi Buddha. Ia dibangun para penguasa Dinasti Syailendra pada awal abad ke-8 dan sezaman dengan Candi Borobudur dan Candi Ratu Boko.

Otto Sukatno dan Untung Mulyono mengisahkan dalam Pararaton, Kitab Para Raja: Menguak Jejak Genealogi Sejarah Wangsa Jawa dari Tarumanegara hingga Majapahit, De Casparis dalam disertasinya yang berjudul Inscripties uit de Çailendra-tijd memegang pendapat itu setelah menafsirkan isi Prasasti Çrī Kahulunnan (842 Masehi) yang ditulis dalam bahasa Sanskerta bahwa Candi Plaosan dibangun Ratu Sri Kahulunan yang dibantu suaminya. De Casparis menafsirkan Sri Kahulunan adalah Pramodhawardhani, putri mahkota penerus Raja Samarattungga dari Wangsa Syailendra.

Baca juga: Siksa Neraka dalam Relief Candi Jago

Pendapat itu dibantah arkeolog Boechari dalam “Epigrafi dan Sejarah Indonesia” yang dimuat dalam majalah Arkeologi Tahun I, No. 2, 1977. Boechari menafsirkan, Sri Kahulunnan yang dimaksud bukanlah permaisurinya Rakai Pikatan alias Pramodhawardhani. Pramoddhawardhani memang tercatat pernah dinikahi Rakai Pikatan, namun ia bukan istri satu-satunya. Sri Kahulunnan yang dimaksud tak lain merujuk kepada ibu suri atau ibundanya Pramodawardhani, yakni Dewi Tara alias puteri Dharmasetu.

Sumber lain juga menyebutkan bahwa Candi Plaosan sudah dibangun di masa Raja Medang kedua, Rakai Panangkaran (746-784 M). Sementara candi yang dibangun Rakai Pikatan sebagai raja Medang ketujuh adalah Candi Loro Jonggrang, mengingat Rakai Pikatan beragama Hindu Siwa. Rakai Pikatan kemudian memang menambahkan beberapa bangunan dan tulisan prasasti di Candi Plaosan Lor.

“Untuk menunjukkan bahwa ia (Rakai Pikatan) tidak ingin sama sekali mengabaikan candi kerajaan yang dibangun Rakai Panangkaran, yaitu Candi Plaosan Lor, dan mungkin juga untuk menjaga perasaan permaisurinya, Pramodhawardhani yang beragama Buddha, ia menambahkan dua candi perwara berupa bangunan stupa. Bahwa bangunan stupa itu merupakan tambahan dapat dilihat dari perbedaan tulisannya dengan tulisan pada candi perwara yang lain. Kenyataan ini tidak dibicarakan oleh J.G. de Casparis,” ungkap Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno.

Bangunan stupa (kiri) dan sejumlah candi perwara yang mengelilingi dua candi induk Plaosan Lor (Randy Wirayudha/Historia)

Bangunan tambahan itu, lanjut Edi dkk., adalah wakaf sebagai anumoda atau persembahan dharma Rakai Pikatan untuk bangunan suci kebudhaan. Bangunan-bangunan tambahan itu pun bukan hanya diwakafkan Rakai Pikatan tapi juga beberapa pejabat kerajaan lainnya.

“Di antara candi-candi perwara terdapat prasasti berupa tulisan-tulisan pendek yang menyebutkan nama para penyumbang atau pemberi wakaf. Di antaranya dharmma sri maharaja (drama sang maharaja), ashtupa sri maharaja rakai pikatan (stupa persembahan Rakai Pikatan), anumoda sang kalung warak Pu Daksa (persembahan Sang Kalungwarak Pu Daksa), anumoda sri kahulunnan (persembahan Sri Kahulunnan), dan anumoda da pankur pu agam (persembahan Sang Da Pangkur Pu Agam),” sambung Edi dkk.

Sementara, mengenai dua candi induk Kompleks Candi Plaosan, imbuh Yosi, tak lain dibangun untuk ibadah para biksu dan biksuni (pemuka agama Buddha). Terutama yang datang dari luar Nusantara.

“Sebenarnya ada di prasasti lain bahwa candi ini dipersembahkan untuk Tri Ratna dari kepercayaan Buddhis. Jadi untuk para bhikkhu dari Sri Lanka. Para guru-guru yang di sana didatangkan ke sini. Di sini dibangunkan wihara untuk mengajar di sini. Jadi (candi) ini dulu semacam wihara. Teori lain, kalau yang kiri (candi induk utara) untuk para bhikkhuni. Yang kanan untuk para bhikkhu. Sampai sekarang setiap Waisak masih ada upacara. Biasanya mereka jalan dari Candi Sewu ke sini sambil Namaskara, setiap tiga langkah bersujud,” tandas Yosi.

Baca juga: Motif di Balik Pembangunan Candi Borobudur

TAG

candi sejarah candi sejarah-hindu-buddha hindu buddha buddha

ARTIKEL TERKAIT

Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air Candi Singhasari dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Perjalanan Arca Candi Singhasari Kembali ke Indonesia Menemukan Kembali Peradaban yang Hilang dengan Lidar Teknologi Pemindai Muarajambi Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri Jambi Kota Seribu Biksu Pemujaan di Bukit Tandus Bukti Toleransi dari Candi Setetes Air di Tanah Gersang